Mengapa Bangunan Romawi Kuno Tetap Kokoh Meski Berusia Ribuan Tahun?

ADVERTISEMENT

Mengapa Bangunan Romawi Kuno Tetap Kokoh Meski Berusia Ribuan Tahun?

Devita Savitri - detikEdu
Rabu, 10 Jan 2024 20:30 WIB
Turis menunggu dalam antrian untuk memasuki Colosseum di Roma, Italia, Jumat, 6 Agustus 2021. Apa yang disebut Green Pass, diperlukan mulai Jumat untuk mengakses makan dalam ruangan, teater, kolam renang dalam ruangan, pusat kebugaran, museum, dan pertemuan lainnya tempat dan diberikan kepada siapa pun yang memiliki setidaknya satu dosis vaksin dalam sembilan bulan terakhir, yang telah pulih dari COVID-19 dalam enam bulan terakhir atau dinyatakan negatif dalam 48 jam sebelumnya. (Foto AP/Riccardo De Luca)
Ilustrasi Colosseum. Foto: AP/Riccardo De Luca
Jakarta -

Siapa yang tak kenal dengan berbagai bangunan Romawi kuno yang masih berdiri kokoh hingga hari ini. Sebut saja Colosseum, Arch of Constantine, L'Arco atau Pantheon yang masih berdiri kokoh di Roma yang membuat kota tersebut memiliki julukkan Kota Abadi.

Pantheon disebut sebagai salah satu keajaiban dari masa Romawi kuno yang masih berdiri kokoh hingga saat ini meski telah berusia lebih dari 2.009 tahun. Berbeda dengan bangunan masa kini, arsitektur Romawi kuno punya rahasia tersendiri yang baru dibongkar melalui penelitian masa kini.

Ya, penelitian menunjukkan bila beton yang digunakan pada bangunan Romawi kuno mengandung bahan yang misterius namun menjadikannya inovatif. Sehingga beton tersebut berbeda dengan beton yang ada di bangunan masa kini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengandung Bahan Misterius

Dikutip dari arsip detikEdu, Rabu (10/1/2024) studi ini dilakukan oleh peneliti asal Amerika Serikat, Italia, dan Swiss. Awalnya mereka menganalisis sampel beton berusia 2.000 tahun yang diambil dari tembok kota di situs arkeologi Privernum, Italia tengah.

Siapa sangka komposisi tersebut mirip dengan beton lain yang ditemukan di seluruh bangunan Kekaisaran Romawi.

ADVERTISEMENT

Pada dasarnya, beton tersebut semacam bongkahan putih sederhana. Namun, didalamnya seperti ditambahkan campuran material yang membuatnya mampu bertahan lama.

Admir Masic, profesor teknik sipil dan lingkungan di Institut Teknologi Massachusetts yang termasuk dalam penelitian ini mengaku terkejut. Menurutnya, para insinyur Romawi kuno sangat berhati-hati dalam memproses bahan untuk membuat sebuah bangunan.

"Bagi saya, sangat sulit untuk percaya bahwa (insinyur) Romawi kuno tidak akan melakukan pekerjaan dengan baik karena mereka benar-benar berusaha dengan hati-hati saat memilih dan memproses bahan," ujarnya.

Mengutip Los Angeles Times, disebutkan bila kebanyakan beton modern memiliki bahan dasar semen portland komposit. Semen ini dibuat dengan memanaskan batu kapur dan tanah liat hingga suhu yang super tinggi dan menggilingnya.

Untuk menjadi beton, semen dicampur dengan air agar menjadi pasta reaktif secara kimia. Terakhir bongkahan material seperti batu dan kerikil ditambahkan. Nantinya, pasta semen itu akan mengikat seluruh bahan menjadi massa beton.

Ternyata, menurut catatan arsitek kuno seperti Vitruvius proses pembuatan beton di Romawi juga serupa. Beton dibuat dengan mencampurkan material seperti batu kapur yang terbakar dengan pasir vulkanik, air, dan kerikil.

Campuran ini menciptakan reaksi kimia untuk mengikat semuanya menjadi satu. Meski begitu, Masic menjelaskan penemuannya menghasilkan hal yang luar biasa.

Bagaimana tidak, beton Romawi dari Privernum dapat memicu kemampuan "penyembuhan diri" pada material tersebut. Sehingga ketika sebuah retakan terbentuk di beton, air bisa meresap dan mengaktifkan sisa kantong kapur.

Ketika kantong kapur aktif, reaksi kimia baru tercipta dan mengisi bagian yang rusak. Lebih lanjut, beton yang ditelitinya juga diketahui mengandung butiran kecil kalsium putih yang disebut klas kapur dan terus terperangkap di dalam beton.

Menurutnya, kandungan tersebut tidak ditemukan dalam formulasi beton modern. Peneliti menemukan pecahan kapur putih sebagai kunci beton Romawi kuno bisa memperbaiki diri.

Penggunaan Material Vulkanik

Marie Jackson ahli geologi di Universitas Utah menjelaskan bangunan Romawi kuno masih bertahan karena berkaitan dengan material vulkanik spesifik yang digunakan orang Romawi. Para pekerja mengumpulkan bantuan vulkanik yang tersisa setelah letusan gunung berapi untuk dicampurkan ke dalam beton.

Bahan reaktif alami ini bisa berubah seiring waktunya serta bisa berinteraksi dengan unsur-unsur lainnya. Sehingga memungkinkan bisa menutup sebuah retakan bila terjadi kerusakan.

"Kemampuan untuk terus beradaptasi dari waktu ke waktu benar-benar sebuah kejeniusan. Betonnya dirancang dengan sangat baik sehingga bisa menopang dirinya sendiri," tutup Jackson.




(det/pal)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads