Warna biru Mesir (Egyptian blue) yang menghiasi patung, peti hingga mural di kebudayaan Mesir kuno diteliti. Orang Mesir kuno sudah bisa membuat pigmen sintetis warna biru 5.000 tahun lalu. Ilmuwan modern baru menyelidikinya kini.
Para peneliti dari Washington State University (WSU), bekerja sama dengan rekan-rekan mereka di Carnegie Museum of Natural History dan Smithsonian's Museum Conservation Institute, telah berhasil menciptakan kembali warna biru Mesir. Biru Mesir adalah pigmen sintetis tertua yang diketahui di dunia, yang telah mengungkap rahasia berusia berabad-abad di balik keahlian kuno, demikian dilansir dari Archaeology News, Senin (2/6/2025), dikutip dan ditulis Minggu (8/6/2025).
Tim peneliti mengembangkan 12 resep asli untuk membuat warna biru Mesir, pigmen yang pertama kali digunakan sekitar 3100 SM sebagai pengganti mineral mahal seperti lapis lazuli dan pirus. Pigmen sintetis tersebut menghiasi berbagai barang, mulai dari patung dan peti mati hingga mural di Mesir kuno. Penggunaannya kemudian menurun pada zaman Romawi dan kemudian akhirnya dilupakan selama Renaisans.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Peneliti mengukur struktur mikro pigmen biru Mesir kuno tersebut dengan spektrometri dan teknik mikroskopik canggih lainnya seperti difraksi sinar-X dan pemetaan fotoluminesensi inframerah dekat. Hasil pengukuran menunjukkan strukturnya sangat kompleks.
Ada fase kuprorivait, kaca silika, wollastonit, dan terkadang oksida tembaga yang tumbuh bersama di dalam setiap butiran. Ini artnya, pigmen biru Mesir bukanlah zat yang seragam, melainkan lebih merupakan material komposit. Heterogenitas ini berkontribusi pada variabilitas warnanya, tergantung pada kondisi pemrosesan dan metode aplikasi.
Teknik Pendinginan Hasilkan Biru Berbeda
Untuk mereplikasi pigmen tersebut, para peneliti mencoba menggabungkan silikon dioksida, tembaga, kalsium, dan natrium karbonat, bahan-bahan yang diyakini dapat diperoleh oleh para perajin Mesir kuno. Campuran ini kemudian dipanaskan pada suhu 1.000 derajat Celsius, sesuai dengan kemampuan tungku kuno, untuk jangka waktu yang bervariasi, dari satu hingga sebelas jam.
Setelah itu, mereka mendinginkan campuran tersebut pada kecepatan yang berbeda. Rupanya, pendinginan yang lambat menghasilkan rona biru yang lebih cerah.
Temuan paling mengejutkan dari penelitian ini adalah warna biru pekat yang diinginkan tidak harus diperoleh dengan hanya menggunakan pigmen yang terdiri dari kuprorivait, pigmen kristal biru yang menghasilkan warna khas biru Mesir. Para peneliti mencatat bahwa untuk mendapatkan warna paling biru hanya diperlukan sekitar 50% dari komponen berwarna biru.
Studi ini juga menawarkan data baru tentang bagaimana laju pendinginan memengaruhi warna akhir. Sampel yang didinginkan dengan lambat, yang mungkin telah dikubur di pasir atau abu agar tetap hangat, mengandung hingga 70% lebih banyak kuprorivait daripada sampel yang didinginkan cepat di udara. Warna yang dihasilkan lebih dalam dan lebih cerah.
Selain pentingnya dalam sejarah, warna biru Mesir telah menjadi minat ilmiah baru-baru ini. Sebab, aplikasi modernnya unik.
Saat terkena cahaya tampak, pigmen tersebut memancarkan radiasi inframerah, cahaya yang tidak terlihat oleh mata. Teknik ini kini digunakan untuk tinta pengaman, pencitraan biomedis, dan telekomunikasi.
Struktur kristalnya juga mirip dengan superkonduktor suhu tinggi. Karakteristik ini menjadikannya berpotensi penting bagi studi ilmu material.
Meskipun proyek ini dimulai sebagai cara untuk menghasilkan sampel pajangan museum, proyek ini berkembang menjadi eksplorasi terperinci teknologi kuno dengan relevansi kontemporer. Sampel pigmen yang dibuat ulang sekarang dipajang di Museum Sejarah Alam Carnegie di Pittsburgh sebagai bagian dari pameran baru tentang Mesir kuno.
Riset ini telah diterbitkan di jurnal Nature dengan judul "Assessment of process variability and color in synthesized and ancient Egyptian blue pigments" yang dipublikasikan pada 22 Mei 2025 lalu.
"Kami berharap ini akan menjadi studi kasus yang baik tentang apa yang dapat dibawa sains untuk mempelajari masa lalu manusia. Karya ini dimaksudkan untuk menyoroti bagaimana sains modern mengungkap kisah tersembunyi dalam benda-benda Mesir kuno," kata John McCloy, penulis pertama makalah tersebut dan direktur Sekolah Teknik Mekanik dan Material Washington State University (WSU), dilansir dari WSU.
(nwk/twu)