Uskup Labuan Bajo, Monsinyur (Mgr) Maksimus Regus, mengajak umat Katolik untuk melakukan pertobatan ekologis menjelang Pesta Paskah 2025. Ajakan itu disampaikan dalam Surat Gembala Prapaskah/Paskah 2025 yang diterbitkan Sabtu (5/4/2025).
"Gereja, dalam perjalanan Prapaskah, menjelang Pesta Paskah 2025, mengajak kita merenungkan panggilan untuk pertobatan ekologis," kata Mgr. Maksi.
Menurutnya, gagasan pertobatan ekologis telah menjadi bagian utama perjalanan Gereja Katolik global selama satu dekade terakhir. Ia merujuk pada ensiklik Laudato Si' (2015) dari Paus Fransiskus sebagai titik awal dari panggilan moral tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sepuluh tahun kemudian, lanjut Mgr. Maksi, semangat yang sama digaungkan kembali dalam Surat Pastoral Federasi Konferensi Waligereja Asia (Federation of Asian Bishops' Conferences/FABC) tahun 2025.
"Dalam keheningan perjalanan Puasa dan suka cita menyambut terang Paskah, kita dipanggil untuk mengisi pertobatan ekologis ini dengan merawat ciptaan sekaligus menghadirkan harapan di tengah ancaman krisis ekologis dan kehidupan yang semakin nyata," tegasnya.
Seruan Aksi Nyata
Mgr. Maksi menegaskan bahwa pertobatan ekologis bukan hanya konsep spiritual, tetapi juga panggilan nyata. Dalam Laudate Deum (2023), kata dia, Paus Fransiskus menyebut pertobatan ekologis menuntut perubahan gaya hidup, solidaritas sosial, dan keterlibatan dalam aksi konkret.
"Gereja sinodal mesti mewujud dalam terbangunnya kesadaran bersama dalam menggagas dan membumikan pertobatan ekologis," ujarnya.
Ia kemudian mengajak umat untuk melakukan lima aksi konkret:
- Menolak beban eksploitasi sumber daya yang tidak seimbang di wilayah kecil seperti Flores.
- Menolak eksploitasi energi dan sumber daya alam tanpa batas, termasuk rencana eksplorasi geothermal.
- Mendukung langkah pemerintah daerah dalam memperjuangkan keadilan ekonomi dari industri pariwisata.
- Menjaga lingkungan hidup melalui aksi nyata seperti menanam pohon, mengurangi sampah, dan melindungi sumber air.
- Mengedukasi generasi muda agar memiliki kesadaran ekologis yang tinggi.
Soroti Dampak Pariwisata Labuan Bajo
Dalam suratnya, Mgr. Maksi juga mengingatkan agar pengelolaan pariwisata Labuan Bajo tidak mengabaikan keseimbangan ekologis. Ia mewanti-wanti bahwa pariwisata yang hanya mengejar keuntungan ekonomi akan membawa dampak buruk.
"Pariwisata yang mengabaikan kelestarian alam akan membawa bencana, baik dalam bentuk kerusakan lingkungan, meluasnya ketidakadilan ekonomi, maupun konflik sosial," kata Mgr. Maksi.
Labuan Bajo telah ditetapkan sebagai kawasan pariwisata unggulan. Namun, menurut Uskup pertama Keuskupan Labuan Bajo ini, pengembangan pariwisata hanya bisa bertahan jika ditopang oleh ekosistem yang sehat dan berkelanjutan.
"Dalam konteks pariwisata, orientasi profitisasi ekonomis semata, tanpa memerkuat basis keberlanjutan ekologis, hanya akan mempersiapkan bahaya bagi generasi masa depan," ujarnya.
Ia mengutip Kitab Kejadian 1:31 bahwa Allah menciptakan dunia dalam kebaikan dan mempercayakannya kepada manusia. Keindahan alam Flores dan Labuan Bajo, tegasnya, adalah berkah yang harus dijaga bersama.
Seperti ditegaskan Paus Fransiskus dalam Laudato Si' (LS 95), "Lingkungan adalah anugerah kolektif yang harus kita jaga bersama."
Tolak Eksploitasi Energi Geothermal
Mgr. Maksi juga menyuarakan penolakan terhadap eksploitasi energi geothermal di Pulau Flores. Ia menyebut wilayah Flores yang kecil dan rentan secara ekologis akan terdampak negatif jika eksplorasi dilakukan tanpa batas.
"Wilayah kita kecil dan rapuh secara ekologis. Jika eksploitasi sumber daya dilakukan tanpa batas, maka akan timbul kerusakan lingkungan, hilangnya sumber pangan, dan terkikisnya harmoni sosial," katanya.
Ia menilai meskipun geothermal disebut sebagai energi terbarukan, namun eksplorasinya bisa merusak keseimbangan ekologis dan budaya lokal.
" Kami menegaskan kembali sikap Gereja untuk menolak eksploitasi geothermal dan mendorong pemerintah untuk mencari alternatif energi yang lebih ramah lingkungan, seperti tenaga surya," tandasnya.
(dpw/dpw)