Kepala Pelaksana (Kalak) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Nusa Tenggara Timur (NTT) Ambrosius Kodo menyebut wilayah NTT masih berstatus siaga darurat kekeringan. Sehingga hal tersebut tak terlalu mengkhawatirkan.
Ambrosius mengatakan sejauh ini belum ada laporan resmi yang signifikan dari Pusat Pengendali Operasi (Pusdalops) BPBD Kota/Kabupaten di NTT mengenai dampak kekeringan.
"Jadi sejauh ini belum ada laporan yang signifikan terkait dampak kekeringan. Karena bicara mengenai penanggulangan bencana itu, prinsipnya harus dilaporkan oleh Pusdalops BPBD Kabupaten/Kota ke Provinsi. Kemudian baru dilanjutkan ke BNPB," kata Ambrosius saat diwawancarai detikBali di ruang kerjanya, Kamis (5/10/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mengatakan memang sudah ada sejumlah instansi yang mendistribusikan air bersih kepada warga di sejumlah daerah. Namun, itu merupakan wilayah-wilayah yang memang susah air.
"Jadi kami harus pilah betul dengan dampak kekeringan, tapi kalau wilayah yang baru masuk Mei saja sudah susah air, apakah kami sebut mereka terdampak kekeringan? Kami harus selektif sehingga tidak terjebak," katanya.
Dia menjelaskan sejak awal April ketika BMKG merilis prakiraan musim kemarau, Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT langsung menyiapkan langkah antisipasi dengan menetapkan status siaga darurat bencana kekeringan, serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
"Sehingga pada 26 April 2023 kami langsung tetapkan siaga darurat bencana kekeringan. Kemudian diikuti dengan pembentukan satuan tugas penanganan kekeringan dan karhutla serta kelompok kerja (pokja) penanganan kekeringan," jelasnya.
Dia menyebut satgas yang telah dibentuk itu, bisa bekerja bila ada laporan dari BPBD Kabupaten/Kota. Tetapi dalam penanggulangan bencana, BPBD NTT selalu berkoordinasi untuk membantu sumber daya dalam penanganan.
Dia mengaku sekitar awal September masih dilakukan rapat koordinasi dengan menghadirkan semua stakeholder sehingga laporan dari Dinas Pertanian Kabupaten/Kota masih aman. Termasuk laporan dari Balai Wilayah Sungai (BWS), tinggi permukaan waduk masih juga aman.
"Jadi kriteria-kriteria itu masih dalam kategori aman. Tapi kita masih menunggu lagi perkembangan di lapangan agar dilakukan lagi rapat bersama Pokja penanganan kekeringan untuk evaluasi," terangnya.
Sebagai bentuk antipasi dampak kekeringan, Ambrosius melanjutkan, cadangan logistik dipastikan cukup. Sebab, cadangan beras pemerintah dari 22 kabupaten itu masing-masing 100 ton ditambah dari provinsi 200 ton.
"Sehingga totalnya 2.400 ton, itu aman di Bulog. Tinggal saja kalau dampak kekeringan semakin membahayakan, maka kami tetapkan status tanggap darurat sehingga setiap Kabupaten bisa mengakses beras itu untuk didistribusikan," sebutnya.
Dia menyentil di saat warga mulai konsumsi ubi, semua pada ribut. Padahal, itu merupakan makanan secara turun temurun. Tetapi dipaksakan untuk tanam jagung dan padi lalu disebut lapar.
"Siapa yang bilang mereka lapar? Itu makanan yang ditinggalkan oleh leluhur kita. Tetapi selama ini kita diarahkan bahwa makanan pokok itu adalah beras dan jagung," imbuhnya.
(dpw/gsp)