Fakta baru terkait kasus dugaan pelecehan seksual seorang pria disabilitas berinisial IWAS (22) kembali terungkap. Selain mahasiswi berinisial MA, pria tunadaksa yang tak memiliki dua tangan itu juga melakukan pelecehan seksual terhadap dua orang lainnya.
Hal itu diungkapkan oleh pendamping korban dari Koalisi Anti Kekerasan Seksual Nusa Tenggara Barat (NTB), Rusdin Mardatillah. Ia menyebut ketiga korban pelecehan seksual tersebut sebagai korban 1 (MA), korban 2, dan korban 3. Ketiganya berstatus sebagai mahasiswi di Mataram.
"Seluruhnya mahasiswi di perguruan tinggi yang berada di Mataram telah hadir memberikan keterangan dan dituangkan dalam berita acara pemeriksaan (BAP) sebagai saksi," kata Rusdin saat konferensi pers di Mapolda NTB, Senin (2/12/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rusdin menjelaskan dua orang merupakan korban persetubuhan dan satu orang korban pencabulan. Dari ketiga korban, awalnya hanya MA yang berani melaporkan kasus dugaan tindak pidana kekerasan seksual tersebut ke Polda NTB pada 7 Oktober 2024.
Awalnya, Rusdin berujar, MA hendak membuat konten Instagram di Taman Udayana yang berdekatan dengan Restoran Dapoer Sasak. IWAS yang mengenakan jas almamater kemudian menghampiri MA dan memperkenalkan diri.
Ketika itu, IWAS menyebut dirinya merupakan mahasiswa di satu kampus yang sama dengan MA. Keduanya lantas mengobrol seputar keluarga hingga terkait kuliah.
Lama-lama, korban 1 mulai merasa tidak nyaman karena IWAS menanyakan hal yang bersifat pribadi hingga mengarah ke seksualitas. Awalnya, MA tidak merasa curiga terhadap pria difabel itu.
MA baru kaget ketika IWAS tiba-tiba melepas jas almamater yang dikenakannya dan melihat kondisi IWAS yang tak memiliki tangan. IWAS lantas mengaku telah berbohong karena sebenarnya dia adalah mahasiswa dari kampus yang berbeda.
Setelah itu, IWAS menyebut dirinya sebagai guru seni di salah satu sekolah menengah kejuruan (SMK) di Mataram. Dia kemudian menyuruh MA menoleh ke arah kiri dan mendapati ada sejoli yang sedang berbuat mesum di lokasi tersebut. MA kaget dan menangis.
IWAS mengajak MA pindah berjalan kaki ke belakang Taman Teras Udayana. Di sana, IWAS mengancam MA agar diam dan tidak macam-macam.
"Seolah IWAS memiliki kemampuan mistis dengan mengikat jiwa sehingga tahu semua keburukan dari korban 1 dan akan melaporkannya. Bahkan akan mendatangi orang tua korban 1, ancaman ini dilakukan secara berulang-ulang oleh IWAS dan korban 1 hanya bisa diam, sedih, dan merasa bersalah," tutur Rusdin.
Saat itulah IWAS menawarkan MA agar melakukan ritual mandi suci bersama dirinya. IWAS beralasan agar ikatan jiwa MA bisa terlepas, maka ritual mandi suci itu harus dilakukan di hotel.
Menurut Rusdin, korban berkali-berkali menolak ajakan IWAS tersebut. Namun, IWAS mengancam akan membongkar seluruh keburukan MA kepada orang tuanya dan menyebut hidupnya bakal hancur.
Sekitar pukul 11.50 Wita, MA akhirnya menuruti permintaan IWAS. Ia membonceng IWAS menggunakan sepeda motor menuju ke arah homestay yang ditunjukkan IWAS.
Tiba di Homestay Nang's, MA dipaksa turun dari sepeda motor dan disuruh membayar biaya kamar sebesar Rp 50 ribu kepada penjaga homestay tersebut. Di sanalah kemudian pelecehan seksual terhadap MA.
Kasus pelecehan seksual tersebut viral di media sosial setelah MA melaporkan kasus tersebut ke polisi. Dari unggahan tersebut, terdapat komentar yang menyebut ada korban lain dari kasus pelecehan seksual yang dilakukan IWAS.
Berangkat dari informasi itulah, pendamping korban akhirnya mendapatkan beberapa kontak yang berpotensi mengetahui atau pernah menjadi korban kekerasan seksual oleh IWAS. "Kemudian ditemukan banyak perempuan yang kuat dugaan pernah menjadi korban kekerasan seksual oleh terlapor dan akhirnya muncul korban 2 dan korban 3 yang berani bersuara. Selanjutnya diperiksa sebagai saksi berdasarkan laporan polisi korban 1," pungkasnya.
(iws/gsp)