Jaksa penuntut umum (JPU), Agus Prasetya Raharja, menuntut bekas wali kota Bima, Muhammad Lutfi, 9 tahun 6 bulan penjara. Tuntutan tersebut disampaikan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Mataram, Senin (6/5/2024).
"Meminta majelis hakim menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Muhammad Lutfi dengan 9 tahun 6 bulan penjara," kata Agus, Senin.
Sebelumnya, Lutfi diduga menerima suap dari sejumlah proyek pengadaan barang dan jasa di Kota Bima pada 2019-2022. Dia juga turut campur dalam pengadaan barang dan jasa di Kota Bima.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
JPU, Agus melanjutkan, juga menuntut Lutfi dicabut hak politiknya. Hal itu sesuai dengan Pasal 18 ayat 1 huruf D Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Kami minta hak politik terdakwa dicabut karena Lutfi dinilai terbukti menerima gratifikasi," tegas Agus.
Jaksa, Agus berujar, juga menuntut Lutfi membayar denda sebesar Rp 250 juta subsidair 6 bulan kurungan. Bekas wali kota tersebut juga dituntut membayar uang pengganti Rp 1,92 miliar.
Jika tidak membayar setelah putusan inkrah, Agus menambahkan, hartanya akan disita dan dilelang. "Jika hartanya tidak mencukupi, diganti satu tahun kurungan," tegas Agus.
Agus membeberkan sejumlah alasan yang memberatkan dan meringankan terdakwa Lutfi. Wali Kota Bima 2018-2023 dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. "Terdakwa merusak kepercayaan masyarakat dan berbelit-belit dalam memberikan keterangan," ucapnya.
Adapun hal yang meringankan adalah Lutfi sopan dalam persidangan. Selain itu, ia juga belum pernah dihukum.
Lutfi enggan mengomentari tuntutan JPU. Kuasa hukum Lutfi, Abdul Hanan, menilai dakwaan jaksa tidak konsisten.
Mulanya, jaksa mendakwa Lutfi merugikan negara Rp 1,9 miliar. Kemudian, berubah menjadi sekitar Rp 2 miliar.
Abdul berpendapat tuntutan jaksa tidak sesuai. Apalagi, bukti yang disodorkan di persidangan tidak menunjukkan bekas wali kota Bima itu menerima suap.
"Bukti sangat kurang. Ini (dugaan suap) kan tidak bisa dibuktikan oleh JPU," papar Abdul.
(gsp/iws)