Cikal bakal hadirnya kampung Islam di Bali tidak lepas dari masa jaya Kerajaan Gelgel saat dipimpin oleh Dalem Ketut Ngelesir, memerintah pada 1380 hingga 1450-an. Hal itu diungkapkan oleh Sejarawan Bali dari Universitas Udayana, Anak Agung Bagus Wirawan.
Wirawan menerangkan Ketut Ngelesir pernah menghadiri sidang raja-raja di Majapahit. "Saat pulang ke Bali, 40 orang menyertai Raja ke Gelgel," paparnya kepada detikBali, di Denpasar, Selasa (9/4/2024).
Pengikut beragama Islam itu kemudian mendapatkan tempat khusus di lingkungan Puri Gelgel. Bahkan, Raja Ketut Ngelesir memberikan pilihan kepada para pengikut itu untuk kembali ke Jawa atau menetap di Bali.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka memilih tinggal di Pulau Dewata dan mendirikan permukiman. Tempat itu dikenal dengan Kampung Gelgel. Kampung yang berlokasi di Klungkung, Bali, itu merupakan kampung Islam tertua di Pulau Dewata.
Wirawan belum menemukan bukti tertulis terkait hal itu. Namun, kisah itu disampaikan turun-temurun oleh warga muslim Gelgel.
Islamisasi di Bali juga terjadi saat Ratu Gujarat menghadap Raja Gelgel Dalem Waturenggong, raja Gelgel periode 1480-1550. Dia lalu membujuk Waturenggong serta rakyat Gelgel memeluk Islam. Namun, Raja memilih untuk memeluk Hindu.
Wirawan menjelaskan bukti dari kisah itu terdapat di Desa Satra, Klungkung. Di desa itu terdapat sawah yang disebut Uma Jarat.
"Konon diambil dari nama utusan itu yang tewas di sana setelah diminta kembali oleh Raja ke Jawa," papar guru besar ilmu sejarah tersebut mengutip cerita rakyat setempat.
Kerajaan Gelgel runtuh pada 1651. Kemudian, bermunculan kerajaan-kerajaan yang dulu berada di bawah Kerajaan Gelgel seperti Kerajaan Karangasem, Buleleng, Badung, Tabanan, hingga Klungkung. Pada abad ke-17 ini, pemeluk Islam yang datang ke Pulau Dewata berasal dari berbagai wilayah.
![]() |
Misalkan, Kerajaan Karangasem yang mengekspansi Lombok. Sesuai perang, orang-orang Sasak ikut bersama raja ke Gumi Lahar -sebutan Karangasem- dan diberikan tempat bermukim di sejumlah wilayah.
"Seperti sekarang yang kita kenal ada Kampung Islam Kecicang, Saren, Sindu, dan lainnya yang sebagian warganya berasal dari Lombok," terang Wirawan.
Menyebarnya pemeluk Islam juga terjadi di wilayah Buleleng. Pada abad ke-17, Kerajaan Buleleng di bawah Raja I Gusti Anglurah Panji Sakti mengalahkan Kerajaan Blambangan.
Sebanyak 100 prajurit Kerajaan Blambangan yang beragama Islam dibawa ke Buleleng. Raja Panji Sakti memberikan tempat tinggal di hutan gayam. Nama itu yang kemudian menjadi nama Desa Pegayaman. Kini jumlah warga kampung Islam itu mencapai 8 ribu jiwa dengan 80-90 persen penduduk muslim.
Komunitas muslim di Bali juga hadir melalui suku Bugis. Mereka berlayar lalu menetap di Pulau Dewata atas seizin raja setempat. "Seperti warga di Kampung Bugis di wilayah Kerajaan Badung juga atas persetujuan raja," imbuh Wirawan.
Akulturasi Islam dan Budaya Bali
Akulturasi Islam dan Budaya Bali tak terhindarkan di kampung-kampung muslim yang ada di Pulau Dewata. Hal itu yang membuat komunitas Islam tetap eksis di Bali hingga kini.
Wirawan mengatakan eksistensi kampung muslim di Pulau Dewata tidak lepas dari keberhasilan mereka menyesuaikan diri dengan situasi, adat, dan budaya yang sudah lama ada di Bali. Walhasil, warga muslim tersebut bisa diterima.
"Lambat laun mereka mengadopsi sebagian dari tradisi yang sudah ada menjadi sebuah tradisi yang turut dijalankan tanpa menyimpang dari ajaran agama atau keyakinan yang mereka anut," tutur Wirawan.
Dampaknya, Bagus Wirawan menambahkan, alkuturasi terjadi. Misalkan, pemakaian urutan nama Bali oleh warga Islam di Desa Pegayaman dan ornamen khas Pulau Dewata di masjid-masjid.
Dosen Kajian Budaya Universitas Udayana Ida Bagus Jelantik Sutanegara Pidada menerangkan akulturasi terjadi karena orang Jawa, Bugis, dan Sasak yang berada di Pulau Dewata menikah dengan perempuan Bali. Walhasil, mereka juga fasih berbahasa Bali.
Hal tersebut terlihat di Kampung Kecicang Islam, Karangasem; Desa Pegayaman, Buleleng; dan Desa Air Kuning, Jembrana. Penduduk muslim di sana fasih berbahasa Bali.
Selain itu, Sutanegara melanjutkan, tradisi megibung atau makan bersama belakangan juga dilakukan oleh penduduk kampung Islam. Misalkan makan bersama atau megibung di Kampung Kecicang Islam, Karangasem, setelah salah Id.
(gsp/hsa)