Tak ada rumah khas Bali yang berisi palinggih di Kampung Kecicang Islam, Desa Bungaya Kangin. Anak-anak perempuan berkerudung tampak bermain di kampung yang berlokasi di Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali, itu.
Kelian Adat Kampung Kecicang Islam, Hasmini, mengatakakan kampung Islam itu berdiri tak lepas dari peran Abdurrahman atau Balok Sakti pada abad ke-17. Saat itu, Kerajaan Karangasem mengalahkan Kerajaan Selaparang, Lombok.
Sejumlah orang sakti, termasuk Abdurrahman, dibawa oleh Kerajaan Karangasem ke Gumi Lahar, sebutan Karangasem, untuk memperkuat kerajaan itu. Abdurrahman yang memiliki kesakitan mendapat julukan Balok Sakti.
Balok Sakti lalu ditugaskan di Tohpati, Bebandem, Karangasem. "Balok Sakti ditempatkan di wilayah Tohpati untuk menjaga wilayah Karangasem dari serangan musuh dari jalur utara," kata Hasmini, Selasa (9/4/2024).
Balok Sakti kemudian menikah dengan seorang perempuan muslim dari Sibetan dan Karang Telu dan mempunyai beberapa keturunan. Keluarga dari istri Balok Sakti juga ikut tinggal di Tohpati sehingga terbentuklah komunitas muslim di daerah tersebut.
Buku 'Sejarah Masuknya Islam dan Perkembangan Pemukiman Islam di Desa Kecicang' menyebutkan Balok Sakit sangat dekat dengan raja Karangasem. Hal itu mengakibatkan kecemburuan dari lingkungan puri dan dan masyarakat Tohpati.
"Masyarakat mulai menyebar fitnah untuk menyingkirkan Balok Sakti," seperti dikutip dari buku tersebut.
Raja memberikan pilihan kepada Balok Sakti antara tinggal di kota, dekat raja, atau memilih suatu tempat. Balok Sakti memilih tempat baru yang masih berupa hutan lebat. Para pengikut Balok Sakti yang beragama harus merambah hutan untuk dijadikan tempat tinggal.
"Saat membuka hutan, warga menemukan ada banyak tumbuhan dan bunga kecicang karena wilayah tersebut belum punya nama akhirnya warga saat itu sepakat memberi nama Kecicang," kata Hasmini.
Balok Sakti meninggal dunia saat sedang mandi di sungai yang ada di wilayah Tohpati. Dia dimakamkan di Tohpati dan berdampingan dengan makan umat Hindu yang ada di sana. Hingga kini, makam Abdurrahman masih sering dikunjungi oleh para peziarah.
![]() |
Menurut Hasmini, penduduk Kecicang Islam merupakan warga asli Bali. Mereka sejak dulu juga berkomunikasi dengan bahasa Bali sebagai bahasa ibu. Tak heran jika banyak warga Kecicang bisa berkomunikasi dengan bahasa Bali halus.
"Sedangkan untuk pekerjaan dulu leluhur kami sebagian besar merupakan seorang petani karena di sini dulunya hutan, tapi sekarang sebagian besar merupakan pedagang," terang pria berusia 62 tahun tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seiring waktu, keragaman penduduk di Kampung Kecicang Islam bertambah. Sebagian warga Kecicang menikah dengan warga luar. Tak ada aturan ketat terkait pernikahan di kampung muslim tersebut.
Perbekel Desa Bungaya Kangin Irfan Ardiansyah menjelaskan jumlah penduduk Kampung Kecicang Islam sebanyak 4.081 orang. Terdiri dari 2.124 laki-laki dan 1.957 perempuan.
Sementara itu, berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Karangasem, jumlah penduduk Karangasem mencapai 533.742 orang. Dari jumlah tersebut, 4,2 persen atau 21.092 orang penduduk beragama Islam yang tersebar di tujuh kecamatan.
Tradisi Umat Hindu di Kampung Kecicang
Kampung Kecicang Islam, memiliki tradisi yang mirip dengan tradisi umat Hindu Bali. Salah satunya, saat Hari Raya Idul Fitri, ada tradisi menekan.
Hasmini menjelaskan saat tradisi menekan, seluruh masyarakat yang ada di Kampung Kecicang Islam membawa makanan dan buah-buahan ke masjid. Setelah salat Id, semuan jemaah akan langsung menyantap makanan yang dibawa tersebut secara bersama-sama atau megibung.
Tradisi itu juga sudah ada sejak awal Kampung Kecicang Islam berdiri dan sampai saat ini masih tetap dilestarikan.
Salah satu kuliner khas yang selalu ada saat Idul Fitri adalah rawon merah dan rawon putih. "Kedua jenis rawon ini ada perbedaan pada bumbu yang digunakan," terang Hasmini.
Rawon putih menggunakan bumbu yang didominasi bawang merah dan putih. Sehingga warna dan cita rasanya lebih lembut. Sedangkan, rawon merah menggunakan bumbu genap khas Bali. Aroma dan cita rasanya pun lebih kuat.
Kegiatan keagamaan di Kampung Kecicang Islam biasanya digelar di Masjid Jami Baiturrahim. Tempat ibadah itu makin ramai saat Ramadan dan Idul Fitri karena mereka yang merantau akan kembali ke kampung Islam itu.
Tokoh-tokoh Kampung Kecicang berupaya selalu menghidupkan masjid dan menjadikan tempat ibadah itu sebagai pusat kegiatan agama. Misalkan, pengajian untuk anak-anak, remaja, dan ibu-ibu.
![]() |
Hasmini menambahkan warga Kecicang Islam tetap berhubungan erat dengan umat Hindu di Karangasem. Hubungan harmonis itu sudah terjadi sejak zaman Kerajaan Karangasem.
Bahkan, sampai saat ini, Puri Agung Karangasem selalu mengundang warga Kecicang Islam ketika ada acara. Misalkan saat upacara pelebon atau ngaben di Puri Agung Karangasem.
"Kami selalu diundang untuk ikut mengiringi ke tempat upacara ngaben tersebut," kata Hasmini.
Peninggalan zaman Kerajaan Karangasem lain di Kampung Kecicang adalah kulkul atau kentongan yang terbuat dari kayu.
Hasmini mengungkapkan dulunya kulkul itu digunakan untuk mengumpulkan warga ketika ada pertemuan atau saat keadaan darurat. Namun, kulkul itu kini hanya disimpan dan tak pernah difungsikan lagi.
(gsp/iws)