Desa Pegayaman, Buleleng, Bali, merupakan salah satu kampung Islam yang terbentuk pada abad ke-17. Meski hampir 90 persen penduduknya beragama Islam, budaya Pulau Dewata melekat di desa yang terletak di lereng Bukit Gitgit tersebut.
Tokoh masyarakat Desa Pegayaman, Ketut Muhammad Suharto, mengatakan warga muslim Pegayaman berakulturasi dengan budaya Bali. Selain fasih berkomunikasi dalam bahasa Bali, penduduk Pegayaman memiliki nama seperti nama warga Bali seperti Wayan, Made, Nyoman, dan Ketut.
Jangan heran jika detikers menemukan pemeluk Islam di Pegayaman bernama Nyoman Mafrudatil, Ketut Muhammad Suharto, Ketut Jahnatul Aliyah, dan lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bedanya di Pegayaman, nama depan anak setelah Ketut, dilanjutkan dengan Ketut terus meski memiliki 20 punya anak," ungkap Suharto kepada detikBali, Minggu (24/3/2024). Adapun di Bali, anak kelima akan kembali ke nama urutan pertama ditambahkan Tagel.
Komunitas muslim di Pegayaman terbentuk pada abad ke-17. Leluhur warga Pegayaman adalah 100 laskar Kerajaan Blambangan yang dibawa ke Pulau Dewata oleh Raja Buleleng I Gusti Anglurah Panji Sakti setelah menaklukan kerjaan yang berada di Pulau Jawa tersebut.
Mereka lalu tinggal di lahan yang diberikan Raja Panji Sakti yakni hutan gayam. Nama itu yang kemudian menjadi nama Desa Pegayaman.
Akulturasi budaya Islam dan Bali juga terlihat dari sistem tata kelola air di Pegayaman. Warga setempat menggunakan sistem subak untuk pertanian. Sebagian besar penduduk Pegayaman merupakan petani.
Warga muslim Pegayaman, Suharto melanjutkan, juga tak asing dengan penganan tradisional Bali seperti jaja uli, kaliadrem, dan tape. Kuliner itu biasanya dihidangkan saat hari raya keagamaan di desa tersebut.
Suharto menuturkan kebiasaan-kebiasaan warga muslim di Pegayaman sudah disesuaikan dengan ajaran atau syariat Islam. "Semua budaya Bali yang masuk ke Pegayaman itu ada karena nenek dan kakek kami dulu berbeda," terang pria berusia 57 tahun itu.
Kakek warga Pegayaman merupakan 100 laskar dari Blambangan, sedangkan nenek warga Pegayaman merupakan mualaf Bali. "Jadi, semua itu sudah terfilterisasi dengan adat berpangku syara bersandar kitabullah," imbuhnya.
![]() |
Ada satu tradisi di Desa Pegayaman yang masih dilaksanakan setiap bulan Ramadan, yakni salat Tarawih yang dimulai pukul 22.00 Wita. Berbeda dengan kebanyakan masjid yang biasanya menggelar Tarawih beberapa saat setelah salat Isya atau sekitar pukul 20.00 Wita.
Suharto mengungkapkan tradisi Tarawih dimulai lebih larut itu juga merupakan warisan leluhur warga Pegayaman. Adapun, salat Tarawih pukul 22.00 Wita di masjid itu dikhususkan untuk jemaah laki-laki. Sementara, jemaah perempuan melaksanakan salat Tarawih lebih dulu setelah salat Isya pukul 20.00 Wita di musala terdekat.
Sebenarnya, Suharto berujar, dua waktu salat Tarawih ini ada tujuan dan alasannya. Jemaah lelaki dan perempuan salat Tarawih bergantian agar ada yang menjaga rumah demi keamanan karena radius permukiman di Pegayaman mencapai 4 kilometer.
"Bayangkan, kalau dulu warga sembahyang ke sini jalan kaki," tutur Suharto.
Perbekel atau Kepala Desa Pegayaman Agus Asghar Ali menuturkan warga Pegayaman merawat toleransi di tengah perbedaan itu dengan meneladani nilai-nilai tradisi yang diwariskan para leluhur. Salah satunya, tradisi ngejot atau atau tradisi saling memberikan makanan saat hari raya.
Warga muslim Pegayaman, Ali melanjutkan, melaksanakan tradisi ngejot sebelum salat Idul Fitri. Tradisi tersebut dilestarikan untuk mengikat tali persaudaraan antarumat beragama. "Di sini toleransinya kuat sekali," imbuh Ali.
Ali menjelaskan nilai-nilai yang diwarsikan para leluhur itu hingga kini terus dilestarikan oleh warga Muslim Pegayaman. Tradisi itu semacam penegas bahwa jati diri warga Muslim Pegayaman adalah orang Bali.
![]() |
Sejarawan Bali dari Universitas Udayana, Anak Agung Bagus Wirawan, mengatakan eksistensi komunitas Islam di berbagai daerah di Pulau Dewata tidak lepas dari keberhasilan mereka menyesuaikan diri dengan situasi, adat, dan budaya yang sudah lama ada di Bali. Walhasil, warga muslim tersebut bisa diterima.
"Lambat laun mereka mengadopsi sebagian dari tradisi yang sudah ada menjadi sebuah tradisi yang turut dijalankan tanpa menyimpang dari ajaran agama atau keyakinan yang mereka anut," tutur guru besar ilmu sejarah tersebut, Selasa (9/4/2024).
Dampaknya, Bagus Wirawan menambahkan, alkuturasi terjadi. Misalkan, pemakaian urutan nama Bali oleh warga Islam dan ornamen khas Pulau Dewata di masjid-masjid.
(iws/gsp)