Sore menjelang malam, krama (warga) di Desa Adat Padangbulia, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali mulai keluar rumah. Mereka berkumpul di pinggir jalan desa untuk melaksanakan tradisi meamuk-amukan, pada Selasa (21/3/2023).
Tradisi meamuk-amukan atau perang api ini diadakan setahun sekali. Tepatnya setiap malam pengerupukan sehari menjelang Hari Raya Nyepi.
Tradisi ini diikuti oleh para lelaki di desa menggunakan sarana berupa danyuh atau daun kelapa kering yang diikat menyerupai sapu. Danyuh itu lalu disulut dengan api.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Begitu api berkobar para pemuda yang perhadapan akan langsung saling serang satu lawan satu menggunakan danyuh yang sudah terbakar layaknya berperang.
Meski saling pukul dengan api, tidak ada satu pun pemuda yang terluka. Mereka melaksanakan tradisi ini penuh sukacita.
Sebelum mulai krama akan memukul benda yang disebut gelinding (drum berukuran besar) sehingga menghasilkan suara nyaring di telinga. Gelinding itu pun terus dipukul selama tradisi berlangsung.
Para pria yang mengikuti tradisi ini juga bertelanjang dada, dengan menggunakan kain tridatu sebagai kamennya.
Kelian Desa Padangbulia I Gusti Ketut Semara mengatakan tradisi ini telah dilaksanakan sejak turun-temurun. Kendati tidak ada bukti tertulis, terkait dengan sejarah dari adanya tradisi ini. Namun, tradisi ini tetap rutin dilaksanakan oleh krama sehari sebelum Nyepi.
"Kalau secara tertulis tidak ada. Tapi tradisi ini kami sudah ada dan kami laksanakan sejak turun temurun," kata Kelian Desa Padangbulia I Gusti Ketut Semara ditemui detikBali, Selasa (21/3/2023).
Adapun makna tradisi perang api secara spiritual adalah untuk membersihkan diri atau bhuana alit dari sifat amarah atau hawa nafsu yang bersifat negatif. Sesuai dengan sarana yang digunakan yakni danyuh yang dibakar yang disimbolkan sebagai konsep peleburan amarah dan hawa nafsu.
Di mana tentunya bertujuan agar pelaksanaan catur brata penyepian esok harinya dapat berjalan dengan lancar.
"Bagaimana kami umat Hindu agar bisa mengekang hawa yang sifatnya bisa mengganggu catur brata penyepian," jelasnya.
"Di sini kami juga mengungkapkan rasa gembira bersama teman-teman," imbuhnya.
Salah seorang krama (warga) di Desa Padangbulia bernama Putu Yoga mengaku sudah mengikuti tradisi ini sejak masih duduk di bangku SMP. Selama mengikuti tradisi, ia tak pernah mengalami cedera.
Tujuannya mengikuti tradisi agar tradisi yang diwariskan leluhurnya itu dapat tetap lestari. "Tradisi ini diikuti seluruh krama Desa Padangbulia, semua banjar ikut. Sudah dari SMP, nggak pernah cedera," pungkasnya.
(nor/hsa)