Tradisi Megobog di Tibubeneng Badung Sehari Jelang Nyepi

Tradisi Megobog di Tibubeneng Badung Sehari Jelang Nyepi

Nindy Tiara Hanandita - detikBali
Selasa, 21 Mar 2023 16:03 WIB
GIANYAR, BALI, INDONESIA - MARCH 20: Balinese young men carry the ogoh-ogoh, the giant menacing-looking dolls during the ogoh-ogoh parade on the eve of Nyepi, the Balinese Hindu Day of Silence that marks the arrival of the new Saka lunar year on March 20, 2023 in Tegalalang Village, Gianyar, Bali, Indonesia. Balinese Hindus perform a series of rituals in early March to celebrate the lunar new year, which culminates in the observance of Nyepi. The Ogoh-ogohΒ became a staple of the parade in the early 1980s. Prior to that, the participants roamed the streets carrying bamboo torches and making loud noises with percussion instruments to scare away the demons. In present-day Bali, the majority ofΒ ogoh-ogohΒ are built by members ofΒ seka terunaΒ teruni, the youth wing ofΒ banjar. Nyepi comes from the word sepi or sipeng which means lonely, quiet, silent, zero, empty, no crowd, no noise, and no activity. Since 1983, Nyepi has been a national holiday. The celebration of the Nyepi festivities for Balinese Hindus in Indonesia is an opportunity for self-reflection which is called mulat sarira. All residents and visitors are required to abide by the rules calledΒ Catur Brata Penyepian, consisting of:Β no open fires or flames,Β no pleasurable activities, no work or labor, andΒ no journeys.(Photo by Agung Parameswara/Getty Images)
Ilustrasi Nyepi. Foto: Getty Images/Agung Parameswara
Badung - Desa Tibubeneng, Badung, Bali melakukan tradisi Megobog yang dilaksanakan bertepatan pada saat hari Pengerupukan sehari sebelum Nyepi. Tradisi Megobog merupakan suatu prosesi pembersihan pekarangan rumah masing-masing penduduk desa dari sekala maupun niskala (keseimbangan hidup).

Pada hari itu masyarakat Hindu di Bali melaksanakan upacara bhuta yadnya yakni penetralisir kekuatan buruk seperti dengan melakukan pecaruan "Tawur kesanga".

Megobog atau di Jembrana dikenal dengan mebuwu-buwu yakni mengelilingi pekarangan rumah sambil membawa api perakpak (daun kelapa kering). Sarana yang digunakan dalam prosesi ini adalah seikat daun kelapa kering yang disulut dengan api.

Alat yang digunakan untuk mengiringi prosesi Megobog dapat berupa tutup panci, kulkul atau kentongan ataupun alat-alat yang ada dalam rumah tangga. Sambil membawa obor kemudian menyemburkan mesui dan memercikkan tirta, sebagai simbol nyomio (netralisir) kekuatan yang bersifat keburukan/ kejahatan.

Melansir dari desatibubeneng.badungkab.go.id, prosesi Megobog ini mulai punah dan pada tiap-tiap prosesinya mengalami perbedaan dari waktu ke waktu. Megobog sejatinya adalah sahut-sahutan suara kulkul yang dipukul oleh warga saat mengelilingi rumah.

Tradisi ini sudah diwariskan oleh leluhur sejak dahulu. Setelah megobog dilaksanakan, dilanjutkan keluar pekarangan membawa alat tersebut menuju jalan utama di Desa masing-masing, dan bergabung dengan para tetangga.

Umumnya anak anak muda melanjutkan acara megobog dengan cara berjalan menyusuri jalan utama, menyerupai pawai obor. Hal ini dilakukan mulai petang hingga malam sehingga jadi semacam hiburan masyarakat.

Artikel ini ditulis oleh Nindy Tiara Hanandita, peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom




(nor/irb)

Hide Ads