Pada hari itu masyarakat Hindu di Bali melaksanakan upacara bhuta yadnya yakni penetralisir kekuatan buruk seperti dengan melakukan pecaruan "Tawur kesanga".
Megobog atau di Jembrana dikenal dengan mebuwu-buwu yakni mengelilingi pekarangan rumah sambil membawa api perakpak (daun kelapa kering). Sarana yang digunakan dalam prosesi ini adalah seikat daun kelapa kering yang disulut dengan api.
Alat yang digunakan untuk mengiringi prosesi Megobog dapat berupa tutup panci, kulkul atau kentongan ataupun alat-alat yang ada dalam rumah tangga. Sambil membawa obor kemudian menyemburkan mesui dan memercikkan tirta, sebagai simbol nyomio (netralisir) kekuatan yang bersifat keburukan/ kejahatan.
Melansir dari desatibubeneng.badungkab.go.id, prosesi Megobog ini mulai punah dan pada tiap-tiap prosesinya mengalami perbedaan dari waktu ke waktu. Megobog sejatinya adalah sahut-sahutan suara kulkul yang dipukul oleh warga saat mengelilingi rumah.
Tradisi ini sudah diwariskan oleh leluhur sejak dahulu. Setelah megobog dilaksanakan, dilanjutkan keluar pekarangan membawa alat tersebut menuju jalan utama di Desa masing-masing, dan bergabung dengan para tetangga.
Umumnya anak anak muda melanjutkan acara megobog dengan cara berjalan menyusuri jalan utama, menyerupai pawai obor. Hal ini dilakukan mulai petang hingga malam sehingga jadi semacam hiburan masyarakat.
Artikel ini ditulis oleh Nindy Tiara Hanandita, peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom
(nor/irb)