Nyanyi Sunyi Penerbit Indie di Bali

Nyanyi Sunyi Penerbit Indie di Bali

Widyartha Suryawan - detikBali
Kamis, 03 Apr 2025 21:45 WIB
Gde Aryantha Soethama menunjukkan beberapa buku karyanya yang diterbitkan melalui penerbit Prasasti. (Foto: Rizki Setyo Samudero/detikBali)
Gde Aryantha Soethama menunjukkan beberapa buku karyanya yang diterbitkan melalui penerbit Prasasti. (Foto: Rizki Setyo Samudero/detikBali)
Denpasar -

Sejumlah penerbit indie di Bali bertahan di tengah pergeseran perilaku pembaca dari buku fisik ke bahan bacaan digital. Mereka masih setia memfasilitasi penerbitan buku demi idealisme. Padahal, mereka menyadari usaha penerbitan kecil-kecilan itu tak bisa diharapkan sebagai sumber cuan yang berlimpah.

Gde Aryantha Soethama misalkan. Ia mulai merintis penerbit Prasasti pada 1992. Prasasti menjadi semacam respons Aryantha terhadap terbatasnya ruang berekspresi saat era Orde Baru. Kala itu, Aryantha masih aktif sebagai jurnalis salah satu koran lokal di Bali.

"Saya kecewa dengan pers karena aturan dan tekanan-tekanan itu. Akhirnya saya berhenti (menjadi wartawan) dan merintis penerbitan," ujar Aryantha saat ditemui di percetakan yang juga menjadi kantor penerbit Prasasti di Jalan Pulau Kawe, Denpasar, Bali, pertengahan Februari 2025.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tak begitu sulit bagi Aryantha untuk memulai usaha penerbitan. Latar belakang sebagai wartawan media cetak membuatnya lebih mudah menguasai ilmu tata letak dan perwajahan buku.

"Dulu, dunia cetak mencetak bisa menjamin hidup, fee-nya lumayan. Jauh dari gaji saat masih menjadi wartawan," tutur Aryantha.

Selain menerbitkan karya-karya sendri, Aryantha juga menerima karya tulis dari sejumlah penulis di Bali. Ia bahkan bersedia menerbitkan buku secara cuma-cuma asalkan tulisan yang dihasilkan layak. "Penulis di Bali itu nggak punya uang untuk menerbitkan buku, saya fasilitasi," ujarnya.

Aryantha tidak memiliki harapan muluk-muluk terkait usaha percetakan dan penerbitannya itu. "Apalagi yang mau saya lakukan? Saya nggak bisa hidup dengan cara lain. Bertani nggak bisa," imbuh cerpenis sekaligus penulis kumpulan esai Bolak-Balik Bali itu

Pengelola penerbit indie lainnya, Ida Bagus Arya Lawa Manuaba, juga punya kisah tersendiri. Ia mendirikan penerbit Nilacakra pada 2018 setelah naskah karyanya berjudul Alien Menurut Hindu ditolak beberapa kali oleh penerbit mayor.

Belakangan, Gus Arya juga mendapat kepercayaan dari sejumlah penulis di Bali yang hendak menerbitkan buku lewat Nilacakra. "Saya merangkul beberapa penulis dengan tipenya, dengan cirinya sendiri. Ada penulis sastra modern dan sebagian besar penulis yang datang kepada kami adalah para akademisi," ujarnya.

Ia tak berpikir bisa mendapat royalti dari buku-buku yang diterbitkan melalui Nilacakra. Gus Arya hanya ingin ekosistem perbukuan di Bali lebih terstruktur dan sesuai standar penerbitan.

Bagi dia, penyebaran buah pikiran melalui buku jauh lebih penting ketimbang royalti. Terlebih bagi penerbit berskala kecil yang dia kelola itu. "Hampir semua penerbit indie mengalami. Kami ingin buku itu terpublikasi. Apakah buku itu terindeks di mesin pencari atau tidak," imbuhnya.

Gus Arya mengakui tantangan usaha penerbitan saat ini adalah semakin meningkatnya kebutuhan buku digital di pasaran. Menukil hasil survei Perpustakaan Nasional 2023, dia menyebut permintaan buku digital naik hampir 150 persen. Walhasil, permintaan pencetakan buku fisik merosot.

Pendiri Nilacakra Publisher House, Ida Bagus Arya Lawa Manuaba. (Foto: Dok. Istimewa)Pendiri Nilacakra Publisher House, Ida Bagus Arya Lawa Manuaba. (Foto: Dok. Istimewa)

"Saya sendiri lebih suka buku cetak karena lebih nyaman dibaca. Ada seninya di situ. Ada nikmat tersendiri ketika kita membaca buku cetak itu," imbuh penulis novel Putih Biru (2019) yang masuk 8 besar ajang UNNES International Novel Writing Contest itu.

Gus Arya tak ingin berpangku tangan di tengah pergeseran perilaku pembaca yang mulai meninggalkan buku cetak. Belakangan, ia juga melayani penulis yang ingin menerbitkan buku digital melalui Nilacakra.

"Karena itu, saya sendiri juga menangani permintaan buku digital. Sehingga ini bisa menjawab eksistensi penerbit indie saat ini seperti apa," imbuh dosen bidang folklor di ITP Markandeya Bali itu.

Penjaga Tradisi Literasi

Penerbit indie menjadi garda terdepan bagi penerbitan buku karya penulis di Bali. Berbeda dengan penerbit mayor yang ditangani profesional dan seleksi naskah yang ketat, penerbit indie menjadi alternatif penerbitan buku dengan proses yang lebih fleksibel dan kontrol penuh oleh penulis.

Akademikus Universitas Udayana (Unud), I Nyoman Darma Putra, mengungkapkan penerbit indie di Bali memainkan peran krusial dalam mempertahankan eksistensi penulis di Pulau Dewata. Menurutnya, salah satu sumbangsih terpenting penerbit indie adalah penerbitan buku-buku sastra Bali modern.

"Jika tidak ada penerbit indie, mungkin sastra Bali modern tidak akan bertahan seperti sekarang," ujar Darma Putra saat ditemui di kediamannya di Denpasar, pertengahan Februari 2025.

Darma Putra mengungkapkan penerbit indie di Bali rata-rata menerbitkan 10-12 buku per tahun. Dia mengakui jumlah tersebut sangat kecil. Namun, jika dilihat dari jumlah penduduk Bali dan peminat sastra yang terbatas, jumlah buku yang terbit tersebut menurutnya cukup besar.

Dosen yang juga kritikus sastra itu mengatakan para pengelola penerbit indie tidak berorientasi pada keuntungan finansial. Mereka tergerak menerbitkan buku-buku dari penulis yang tak beken sekalipun demi mempertahankan tradisi literasi.

"Penerbit indie tidak perlu merasa rugi karena memang dia dihadirkan untuk tidak untung dan mengabdi. Jika suatu saat ada karya yang laris, hal itu sebaiknya tidak dijadikan alasan untuk berpindah ke arah penerbitan komersial," imbuh penulis buku Stigma Sastra Sayembara itu.

Hal itu diamini oleh Made Sugianto. Pengelola penerbit Pustaka Ekspresi itu mengaku tetap bertahan mengelola Pustaka Ekspresi sejak 2009 meski tak bisa meraup keuntungan banyak.

"Saya tidak mencari keuntungan di sana, tapi saya mencari kebanggaan. Misi saya, melestarikan bahasa Bali melalui tulisan," ujar Sugianto saat ditemui di kediamannya di Desa Kukuh, Tabanan.

I Made Sugianto bersama buku-buku terbitan Pustaka Ekspresi. (Foto: Ahmad Firizqi Irwan/detikBali)I Made Sugianto bersama buku-buku terbitan Pustaka Ekspresi. (Foto: Ahmad Firizqi Irwan/detikBali)

Pustaka Ekspresi lebih banyak menerbitkan buku-buku sastra Bali modern. Selain menerbitkan karya sendiri, Sugianto juga memfasilitasi penerbitan buku karya penulis Bali lainnya. Belakangan, Pustaka Ekspresi juga menerbitkan buku-buku berbahasa Indonesia.

"Terus terang, saya hanya ingin membantu teman, terutama yang membuat buku berbahasa Bali," pungkas peraih Hadiah Sastra Rancage pada 2012 dan 2013 itu.

Pembaca detikBali, kami merangkum sejumlah kisah tentang geliat penerbit indie di Bali. Selamat membaca!

1.




(iws/gsp)

Koleksi Pilihan

Kumpulan artikel pilihan oleh redaksi detikbali

Hide Ads