Sabtu malam, 12 Oktober 2002, suasana di Legian, Bali, mulai ramai. Malam-malam begini, sederet kelab malam di sepanjang jalan itu pasti selalu ramai.
Pesta pora dan musik mengentak, bertalu-talu, membuat telinga nyaris pekak. Malam gemerlap, yang tanpa diketahui, akan berubah pirau.
Kala itu, Jatmiko Bambang Supeno sudah bersiap. Jari jemarinya sudah dilatih memutar botol, siap mengisi gelas tetamu yang datang. Musik di kelab malam tempatnya bekerja, Sari Club, tak kalah dengan musik beberapa bar yang ada di sana. Malam minggu, malam yang panjang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain sebagai bartender, Bambang juga rangkap jabatan sebagai asisten manajer di kelab malam itu. Pokoknya, malam itu sama seperti malam minggu yang lalu-lalu, dia pasti akan sangat sibuk.
Dia ingat betul, pada malam itu, 21 tahun lalu, suasana masih baik-baik saja. Bambang masih sibuk meracik minuman dari bar yang posisinya di tengah-tengah.
Tiba-tiba, sekitar pukul setengah sebelas malam, ada suara ledakan. Duar! Bambang pikir, itu hanyalah bunyi suara gardu listrik. Maklum, gardu listrik di sekitar situ sering meledak.
"Karena di depan Sari Club itu ada gardu listrik, biasa dari dulu sering meledak itu. Jadi kita anggap biasa," kata Bambang ketika ditemui detikBali di Kota Denpasar, Minggu (8/10/2023).
![]() |
Tapi, listrik di kelab itu malah tak padam. Belakangan, mereka baru tahu bahwa yang meledak itu bom! Tepatnya di Paddy's Pub, salah satu kelab malam yang cukup ramai di sana.
Sesaat sebelum mengetahui bahwa itu bom, Bambang masih meminta anak buahnya untuk menghidupkan genset. Jaga-jaga, siapa tahu listrik tiba-tiba padam.
Duar! Kali ini, suara ledakan lebih besar. Cahaya di kelab yang tadi gemerlap, berubah pirau, seketika hitam kelam. Bambang berdebar dan meraba di kegelapan. Tubuhnya masih tertindih reruntuhan bangunan kelab.
"Mas Bambang, Mas Bambang! Lari ke belakang!" Sayup-sayup dia mendengar ada yang berteriak memanggilnya. Ternyata, ada bom yang lebih besar, meledak di depan Sari Club. Peristiwa itu yang kemudian dikenal dengan tragedi Bom Bali I.
Merayap di tengah kegelapan. Baca selengkapnya di halaman selanjutnya...
Merayap di Tengah Kegelapan
Pria kelahiran 1966 itu segera bergegas bangun, melepas diri dari belenggu reruntuhan yang menindihnya. Kepanikan menyeruak dari segala penjuru kelab, termasuk di jalanan. Kala itu, suasana sudah gelap gulita.
Bambang berlari ke belakang, langsung naik ke lantai dua Sari Club. Perjuangan naik ke lantai dua bukan hal gampang, dia harus berhimpitan, sikut sana sikut sini dengan orang lain yang juga dirundung panik dan ingin selamat.
Saat di atas, mereka terbengong gemeteran. Api ada di mana-mana. Bukannya senang saat di lantai dua, mereka malah harus berputar otak agar selamat dari 'jebakan' itu.
"Ke mana kami mau lari? Di depan sudah terbakar semua," terang Bambang.
Bambang kemudian berinisiatif untuk meloncat dari lantai dua ke atap rumah warga di sebelah Sari Club. Pria asal Kabupaten Malang itu lalu merangkak lalu loncat ke bawah.
"Loncat otomatis jatuh ke bawah rumah sebelah itu saja. Ya, alhamdulillah kaki saya nggak apa-apa nggak sampai keseleo atau apa," ujarnya.
Pria yang saat itu berusia 36 tahun tersebut tetap nekat loncat dari bangunan ke bangunan meski penuh risiko. Dia tak punya alternatif pilihan selain meloncat atau mati konyol terpanggang di lantai dua kelab tempatnya bekerja.
![]() |
Setelah melompat, Bambang kemudian berusaha mencari jalan. Suasana mencekam, teriakan di tengah gelap malam masih terdengar.
Bambang terus berjalan. Gang-gang sempit disusurinya. Pikirannya saat itu adalah mencari jalan besar, bergegas ke rumah.
Bambang sempat menengok ke depan Sari Club. Tiba di sana melihat banyaknya mayat-mayat manusia. Bau gosong menyengat hidung. Mereka semua adalah korban ledakan bom.
"Banyak mayat manusia yang kebakar yang gosong-gosong di Sari Club itu yang belum sempat diambil. Saya sempat lihat karena bisa jalan," ucap Bambang.
Bambang berniat pulang dan mengambil sepeda motornya yang saat itu diparkir di depan Sari Club. Sayangnya motornya tidak bisa diambil karena tertimpa reruntuhan bangunan Sari Club.
Waktu bergerak sekitar pukul 03.30 Wita, Bambang tiba-tiba teringat dirinya pernah kos di Gang Poppies. Karena tak bisa pulang akibat sepeda motornya yang tertimpa bangunan, Bambang akhirnya memilih ke tempat kos lamanya itu dengan berjalan kaki.
"Dulu pernah kos di situ, waktu punya anak satu. Terus pas kejadian bom itu saya anak tiga waktu itu," jelas pria yang sudah berada di Bali sejak 1987 itu.
Setibanya di kos Gang Poppies, kedua tuan rumah kos di sana menangis sejadi-jadinya melihat kedatangan Bambang. Suami-istri tuan rumah kos itu mengira bekas anak kosnya yang bekerja di Sari Club itu sudah tewas karena tragedi mengerikan itu.
"Tuan rumahnya dua-duanya itu nangis lihat saya. Nangis semua. Dikira saya sudah mati." Pada cerita babak ini, tangan Bambang gemetar, bibirnya bergetar. Dia menyeka air mata dengan tisu.
Bambang lalu duduk di teras rumah milik tuan rumah kos. Napas masih terengah-engah. Seragam kerjanya kotor tak karuan. Celananya yang berwarna putih, tak terbilang lagi kotornya.
Sekitar pukul 05.30, bapak kos menelepon istri Bambang. Melalui pembicaraan jarak jauh itu, sang istri tak percaya kalau Bambang selamat.
Mendapatkan kabar masih hidup, Bambang lalu dijemput oleh adiknya dan diantarkan ke kediamannya di Jalan Waturenggong, Kota Denpasar. Sesampainya di rumah, Bambang baru sadar banyak sekali pecahan kaca menempel di kepalanya.
Bambang bersyukur bisa selamat dari tragedi terorisme yang menewaskan 203 orang itu. Apalagi, saat itu, anak ketiganya masih berusia 20 hari.
Meski bersyukur masih diberi keselamatan, sampai saat ini Bambang masih trauma. Rasa bersalah masih menyelimuti pria berusia 57 tahun itu.
Perasaan bersalah karena Bambang menugaskan salah satu anak buahnya untuk membantu di bar bagian depan sebelum kejadian. Anak buahnya yang bernama Mugik itu tak selamat.
"Kalau tanpa perintah saya, dia nggak akan mati," kisahnya.
Cerita pilu keluarga korban tewas. Baca selengkapnya di halaman selanjutnya...
Empat Bulan Menanti Kabar Suami
Berbeda dengan Bambang, Gede Badrawan tak selamat dari tragedi yang mengguncang dunia itu. Badrawan adalah salah satu korban tewas dalam aksi terorisme itu.
Ni Luh Erniati, istri Badrawan, menceritakan kisah pahit yang menimpa suaminya. Kala itu, suaminya bekerja sebagai kepala pelayan di Sari Club.
Menjelang tengah malam, dia dan dua putranya dikejutkan dengan suara ledakan dahsyat. Putra pertama mereka kala itu masih berusia 9 tahun, sementara yang kedua masih berusia 1 tahun 5 bulan.
Perempuan 52 tahun itu masih berpikir positif. Mungkin ada lagi gardu listrik yang meledak.
"Karena nggak kepikiran sama sekali bahwa di Bali bisa terjadi bom. Kami semua tahu kan Bali aman saat itu," ujar Erni di kediamannya di Sesetan, Denpasar Selatan, Sabtu (7/10/2023).
![]() |
Namun, suasa hening di sekitar kos mereka berubah ramai. Para tetangga berhamburan, kasak-kusuk penasaran dengan apa yang terjadi. Samar-sama Erni mendengar bahwa ada bom meledak di Sari Club, tempat suaminya bekerja.
Saat Erni keluar kamar kos, tetangganya pada diam. Mereka semua mafhum, suami Erni bekerja di kelab yang baru meledak itu.
"Mereka diam. Hanya nanya saya 'Bu, Bapak kerja?' Dan saya jawab iya karena mereka tahu suami saya kerja di Sari Club saat itu," ucap Erni.
Erni belum sepenuhnya paham apa yang terjadi. Dia kemudian masuk kamar, menengok anaknya.
Dari dalam kamar dia mendengar perbincangan para jiran. Daerah Legian disebut-sebut dipenuhi dengan potongan mayat berserakan karena bom!
"Itu membuat saya merasa khawatir. Tapi saya masih bilang (dalam hati) nggak mungkin itu bom," Erni optimistis.
Rasa penasaran membuat Erni kembali keluar kos. Dia melihat langit sudah berubah merah dari kejauhan. Dia tahu, langit merah itu dari daerah Kuta.
Sekitar pukul dua dini hari, Erni terbangun untuk menunggu suaminya pulang. Malam itu, sekitar dua jam dia menunggu. Dia berpikir, suaminya baru akan tiba pukul empat karena masih singgah ke pasar untuk berbelanja.
"Tapi sampai jam empat, bapak juga nggak pulang. Akhirnya saya semakin khawatir dan di situ saya berdoa, satu doa saya saat itu 'ya Tuhan bawa suami saya pulang'. Itu satu kalimat yang bisa saya ucapkan dalam doa," ucapnya. Erni merapal doa itu sembari memandangi kedua anaknya yang masih nyenyak.
Dia berniat keluar untuk mencari suaminya, tapi tak ada yang menjaga anaknya. Niat itu pun urung.
Erni sempat ditelepon oleh kerabat Gede yang menanyakan kabar pria itu. Erni hanya menjawab belum pulang, ia meminta kerabat suaminya itu untuk bantu mencari sang suami.
"Akhirnya saya tunggu sampai jam tujuh pagi tapi nggak pulang. Akhirnya ada teman kos cowok bilang sama saya 'bu saya anterin ibu ke Sari Club' 'terus gimana anak-anak' 'anak-anak biar dijaga teman-teman cewek di situ'," ujar Erni menjelaskan percakapan dengan tetangga kosnya.
![]() |
Di sepanjang jalan, Erni berlari melewati gang-gang kecil untuk menuju tempat bekerja sang suami. Jarak kos dengan Sari Club hanya sekitar satu kilometer. Saat berlari, Erni selalu bicara dalam hati bahwa suaminya masih hidup.
Sekitar pukul 08.00 Wita, saat sampai di Jalan Legian, betapa kagetnya Erni melihat bangunan-bangunan toko hancur lebur dan berserakan. Ia sempat kesal kepada orang-orang yang di sana hanya menonton dan melihat keadaan di kejadian. Sedangkan Erni, yang berusaha berlari menuju tempat kejadian untuk mencari suaminya.
Hati Erni seketika hancur melihat bangunan Sari Club yang hancur. Dia tak bisa berbuat banyak, tak bisa bergerak. Suaminya masih hidup atau tidak.
Sempat ia memaksa untuk masuk, namun ia dicegah oleh polisi dan diberitahu jika semua korban dibawa ke RSUP Sanglah. Tak berpikir lama, ia langsung menuju RS Sanglah diantar oleh tetangga kosnya. Di sepanjang jalan, ia selalu berhenti untuk mengecek rumah sakit, puskesmas yang ia lewati. Namun, usahanya nihil.
Pencarian terhadap Gede Badrawan di RS Sanglah berlangsung hingga tengah hari. Erni berkisah, hampir semua korban di sana sudah dalam kondisi gosong terbakar. Erni lantas pulang karena masih teringat akan anak-anaknya.
Setelah pencarian nihil di rumah sakit, Erni terpaksa memantau perkembangan tragedi itu lewat TV. Putra pertamanya yang masih sangat belia, juga ikut memantau pemberitaan di televisi.
Erni pasrah. Namun, kondisi ekonomi mereka saat itu sedang tak baik. Badrawan membawa semua uang karena akan ditukar oleh tamu turis asing suaminya.
"Akhirnya keluarga mengajak saya untuk pulang kampung. Selama dua minggu saya bolak-balik Denpasar-Singaraja untuk mencari informasi tentang suami saya, tapi nggak dapat," keluhnya.
Empat bulan berlalu, Erni mendapat kabar dari rumah sakit bahwa Badrawan sudah teridentifikasi. Erni terdiam seribu bahasa mendengar kabar itu. Empat bulan pencarian telah berakhir.
Dia kemudian menanyakan kondisi suaminya. Bagian tubuhnya tinggal 70 persen karena dihantam ledakan besar.
Suasana hatinya campur aduk. Perasaan senang dan sedih campur aduk. Tragedi itu berujung trauma bagi Erni. Meski suaminya telah ditemukan, tragedi itu tak bisa dilupakan begitu saja.
Hari-hari dilaluinya dengan tangisan. Erni harus menjalani proses pemulihan psikologis karena trauma berat yang dialaminya.
Simak Video "Video: Eks Napiter Umar Patek Buka Bisnis Kopi, Penyintas Bom Bali Protes"
[Gambas:Video 20detik]
(dpw/nor)