Chusnul Chotimah (54), penyintas Bom Bali I was-was efisiensi anggaran di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) akan berdampak pada dirinya. Dia khawatir bantuan yang selama ini dia terima untuk pengobatan akan dihentikan.
"Saya khawatir dan cemas dengan efisiensi anggaran ini. Terutama untuk pengobatan. Karena perjanjiannya sampai 6 Agustus 2025, takutnya dengan adanya pemangkasan anggaran diputus pengobatannya," ujar Chusnul kepada detikJatim, Kamis (13/2/2025).
Ya, hingga saat ini Chusnul masih harus rutin menjalani pengobatan. Bom Bali I pada 12 Oktober 2002 silam membuat Chusnul mengalami luka bakar 70% di hampir di sekujur tubuhnya ditambah sejumlah serpihan logam yang masih melekat di kaki dan dadanya hingga syarafnya terganggu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kadang saya tiba-tiba susah jalan. Beberapa bagian tubuh rasanya juga sangat sensitif karena masih ada serpihan logam itu," katanya.
Atas bantuan LPSK biaya pengobatan Chusnul ditanggung negara di Rumah Sakit Siti Hajar Sidoarjo. Penanganan medis yang diberikan kepada dirinya berupa rawat jalan hingga rawat inap serta tindakan medis lain sesuai rekomendasi dokter.
"Untuk pengobatan rutin saya biasanya ke orthopedi, kulit, gigi, dan syaraf," jelas Chusnul.
Tak Ingin Terpuruk Lagi gegara Efisiensi
Seperti diketahui, Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1/2025 tentang efisiensi APBN dan APBD yang diperjelas dengan Surat Menkeu nomor S-37/ MK.02/2025 tentang Efisiensi Belanja Kementerian/Lembaga dalam Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2025.
Chusnul mengatakan meski ada efisiensi yang sedang dijalankan pemerintah, dia berharap bantuan pengobatan untuk dirinya tidak diputus. Tanpa bantuan dari LPSK itu dia akan kesulitan mengingat kondisi ekonominya terbatas dan harus merawat anak bungsunya yang menderita penyakit kronis von Willebrand.
"Selama negara belum hadir rasanya hidup saya sangat berat. Jadi saya sangat berharap bantuan dari LPSK tidak dicabut karena efisiensi anggaran," harapnya.
Bom Bali I tidak hanya menyisakan sakit yang tidak akan pernah hilang bagi dirinya tapi juga mengubah kondisi perekonomian dirinya dan keluarganya hingga begitu memprihatinkan.
Setelah peristiwaa mengerikan itu, Chusnusl kembali ke Sidoarjo. Suaminya yang putus asa tergiur menjadi kurir narkoba demi membiayai sekolah anak-anaknya. Ujungnya pahit, satu insiden membuat suaminya ditembak mati pada 2017.
Meski terpuruk, Chusnul tetap melanjutkan hidup. Kini dialah yang menjadi kepala rumah tangga. Demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dia berdagang sayur sambil bekerja serabutan.
"Jangan ditanya (Keadaan pascatragedi bom). Kondisi hancur-hancuran. Sekarang jualan sayur, sembako. Setiap hari jam 2 malam cari dagangan. Subuh dibuka," ujar Chusnul saat ditemui detikJatim di rumah kontrakannya di Sidoarjo Januari lalu.
Jika dihitung, rata-rata penghasilannya dari berdagang maupun bekerja serabutan hanya Rp 100 ribu sampai Rp 150 ribu per hari atau sekitar Rp 4 juta per bulan. Itu pun kalau ramai pembeli.
"(Kerja serabutan) bersih-bersih saya mau, ada pesanan katering juga mau, saya ambil semua pekerjaan selagi bisa," kata Chusnul.
Berjuang untuk Pengobatan Anak
Cobaan hidupnya bertambah pada 23 November 2022 saat anak bungsunya, MF (18) didiagnosis penyakit kronis Von Willebrand yang membuat darahnya sulit membeku bila mengalami pendarahan. Penyakit ini divonis tak bisa sembuh.
Demi membiayai pengobatan anaknya, sejumlah barang miliknya seperti 3 unit motor habis dijual demi membiayai satu-satunya harapan pengobatan untuk anaknya, yakni kemoterapi.
Sekali kemoterapi biayanya cukup fantastis, Chusnul menyebut itu mencapai kurang lebih Rp 14 juta. Jadwalnya, 13 Januari 2025 besok anaknya akan menjalani kemoterapi ketiga.
"Jika pendarahan, anak saya butuh 2 botol obat injeksi infus. Harga asli obat injeksi anak saya Rp 14.400.000 per 2 botol," tuturnya.
Chusnul pun pontang-panting mencari bantuan dari berbagai pihak. Mulai dari pengajuan khusus ke BPJS karena obat yang diperlukan anaknya tidak masuk subsidi pemerintah. Dia juga mencari bantuan dari sejumlah yayasan termasuk dari BNPT.
(dpe/iwd)