Trauma Mendalam Korban Bom Bali: Takut Nonton TV, Gemetar Lihat Ransel

Laporan Khusus 21 Tahun Bom Bali 1

Trauma Mendalam Korban Bom Bali: Takut Nonton TV, Gemetar Lihat Ransel

I Wayan Sui Suadnyana, Karsiani Putri - detikBali
Rabu, 11 Okt 2023 18:07 WIB
BALI, INDONESIA:  An injured tourist is evacuated moments after a bomb blast in Jimbaran, on Bali island, 01 October 2005.  At least 26 people were killed after a series of bomb attacks rocked the Indonesian resort island of Bali, as police are looking for three men suspected of involvement in the suicide blasts.  AFP PHOTO/Agung MULYAJAYA  (Photo credit should read AGUNG MULYAJAYA/AFP via Getty Images)
Upaya penyelematan korban Bom Bali. (Foto: AFP via Getty Images/AFP)
Legian -

"Kalau tanpa perintah saya, dia nggak akan mati," kenang Jatmiko Bambang Supeno di tengah obrolan dengan detikBali, akhir pekan lalu.

Rasa bersalah itu yang masih menghantui Bambang, meski tragedi Bom Bali I telah berlalu 21 tahun. Malam itu, Sabtu, 12 Oktober 2002, Bambang memerintahkan salah satu anak buahnya, Mugik untuk melayani tamu dari bar depan di Sari Club, Legian.

"Gik, tolong bantu di (bar) depan," perintahnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Itu adalah perintah terakhir yang disampaikan Bambang kepada Mugik. Setelah itu, mereka sibuk melayani tamu yang membeludak. Setiap malam minggu, pub atau kelab malam itu memang selalu ramai oleh wisatawan lokal maupun mancanegara yang hendak menikmati gemerlap kehidupan malam di Bali.

Salah satu korban selamat tragedi Bom Bali I, Jatmiko Bambang Supeno.Salah satu korban selamat tragedi Bom Bali I, Jatmiko Bambang Supeno. (Foto: I Wayan Sui Suadnyana/detikBali)


Beranjak tengah malam, sebuah bom meledak tepat di depan kelab malam itu. Bangunan kelab luluh lantak. Mugik tewas.

ADVERTISEMENT

Bambang yang malam itu bertugas sebagai bartender di bar tengah, berhasil selamat. Akibat ledakan itu, badannya tertindih reruntuhan. Kepala berdarah karena tertancap pecahan kaca.

Saat itu, yang ada dalam pikirannya adalah bagaimana untuk selamat. Kepanikan menyeruak dari segala penjuru. Ada bom meledak!

Dia bergegas ke lantai dua kelab. Sikut-sikutan dengan pegawai dan pengunjung lain yang juga ingin selamat. Api akibat ledakan, malah mengepung kelab itu.

Bambang tak punya pilihan lain. Dia melompat dari lantai dua ke atap rumah warga dengan tenaga tersisa. Lompatan berhasil.

Dia kemudian menyusuri lorong, ingin mengambil sepeda motor yang terparkir di depan. Hendak pulang.

Tiba di sana, motornya sudah hancur, terdindih pula. Suasana di depan kelab horor. Banyak mayat bergelimangan. Bambang risau. Dia ingat anak buahnya, Mugik. Apakah Mugik tewas? Ya!

21 tahun berlalu, tragedi mengenaskan itu masih menyayat hati Bambang. Rasa bersalah terus mengikutinya. Jika saja saat itu dia tak memerintahkan Mugik ke bar depan, pemuda baik itu mungkin masih hidup.

"Saya merasa bersalah. Kalau nggak saya yang nyuruh, mungkin Mugik masih hidup," tutur Bambang. Bibirnya bergetar, air matanya meleleh.

Orang-orang melihat lokasi pemboman di sebuah klub malam di Denpasar, Bali.Orang-orang melihat lokasi pemboman di sebuah klub malam di Denpasar, Bali. Foto: (AP Photo/Achmad Ibrahim)

Bambang adalah salah satu dari sekian banyak korban selamat Bom Bali I yang masih dirundung trauma. Banyak dari mereka yang harus menjalani serangkaian terapi untuk pulih dari trauma.

Sering Bambang menangis setelah melihat tayangan televisi yang berisi kekerasan hingga kecelakaan. Hatinya gampang rapuh akan cerita-cerita sedih.

"Saya kalau melihat orang atau cerita orang sedih itu nangis, nggak kuat. Ya, kendala di situ. Jadi emosi lihat TV yang model kekerasan nangis, enggak kuat lihat," akunya.

"Ya terus terang kalau saya lihat orang sedih saya enggak bakal kuat. Cerita sedih enggak kuat saya. Apapun itu, kekerasan rumah tangga kalau saya ngelihat itu langsung kebawa dah. Merasa kasihan terus nangis akhirnya," imbuhnya.

Ada korban yang takut lihat ransel. Baca kisahnya di halaman selanjutnya...

Takut Lihat Orang Pakai Ransel

Lain lagi dengan Arnol. Bartender, anak buah Bambang di Sari Club ini malah trauma melihat orang yang mengenakan tas ransel. Dia bilang, orang-orang itu seperti bomber.

Pria berusia 45 tahun ini harus berjuang selama beberapa tahun melawan traumatik. Selamat dari tragedi mengerikan itu, bukan berarti dia bisa melupakan.

Ketakutan malah mengikuti langkahnya. Setiap kali melihat orang memakai ransel, langsung dikira teroris, pembawa bom, atau orang yang meledakkan diri.

"Begitu melihat itu perasaan langsung takut,panik, suka bengong, dan tidak fokus. Itu berjalan sekitar lima tahunan," ungkap Arnol, Senin (9/10/2023).

Pria asal Sulawesi ini lantas menceritakan detik-detik tragedi Bom Bali I yang bikin trauma itu. Saat itu, dia sedang bertugas meracik aneka minuman di salah satu bar di Sari Club.

Puing-puing bangunan yang terdampak bom dari klub malam Sari di Kuta, Bali, Selasa (15/10/2002).Puing-puing bangunan yang terdampak bom di Sari Club di Kuta, Bali, Selasa (15/10/2002). Foto: (AP Photo/Achmad Ibrahim)

Pada ledakan pertama di Paddy's Pub, mereka masih tenang-tenang saja. Suara ledakan masih kalah dari suara musik di kelab tempatnya bekerja. Mereka pun berpikir bahwa itu ledakan gardu listrik, seperti yang terjadi sebelum-sebelumnya.

Tiba-tiba, sekitar pukul sebelas malam, ledakan dahsyat terjadi di depan Sari Club. Meja bar bergetar, hancur. Bangunan kelab itu hancur lebur. Arnol terpental lalu pingsan.

"Saya tersadar karena ada teriakan suara di sekitar yang memang sangat ramai sekali," ceritanya.

Sebagian atap kelab malam itu terbuat dari alang-alang. Tubuh Arnol tertimpa reruntuhan atap. Alang-alang menutupinya. Api mulai menyeliap, pelan-pelan membakar bangunan itu.

Arnol yang tersadar langsung berusaha bangkit. Tangan dan pelipis kirinya terbakar. Pakaiannya sudah tak berbentuk, compang-camping.

Saat beranjak ingin keluar dari reruntuhan bangunan Sari Club, Arnol mendengar teriakan rekannya, Ayu, yang juga selamat dari kejadian tersebut.

"Kami berdua mencari jalan untuk melarikan diri. Kami melewati banyak teriakan, jeritan minta tolong. Saat itu lebih banyak bule yang ada di dalam Sari Club," ungkapnya.

Selain mendengar teriakan hingga jeritan, Arnol juga melihat secara langsung banyaknya mayat korban ledakan bom di sana.

"Ada korban yang sudah kebakar badannya, terus ada yang masih berusaha merangkak dengan tanpa busana lagi," kata pria yang bekerja selama empat tahun di Sari Club itu.

Bersama Ayu, Arnol pun kemudian mencoba untuk kembali kosnya di Jalan Majapahit, kurang lebih 2 kilometer dari Sari Club. Dalam perjalanannya, mereka juga menemukan tetangga kosnya yang juga bekerja di Sari Club, yakni Kadek Widi.

Mereka kemudian memesan taksi untuk ke rumah sakit. Namun, beberapa rumah sakit yang mereka datangi, semuanya penuh, salah satunya Rumah Sakit Graha Asih.

"Sampai di sana (RS Graha Asih) sudah tidak ada tempat. Dokter pun sudah kewalahan, sepertinya lebih banyak pasien daripada petugasnya," tuturnya.

Mereka terus mencari, hingga sampai akhirnya mereka dapat tempat di RS Surya Husada. Waktu telah menunjukkan pukul 01.00 dini hari.

"Saya ada luka jahitan di lutut yang cukup lumayan besar dengan 4-5 jahitan, terus di tangan saya juga kan banyak terbakar. Di RS saya menginap satu malam dan besoknya langsung pulang," terangnya.

Seusai kejadian, Arnol memilih pulang ke Sulawesi. Itu dua pekan setelah dia nyaris tewas dalam tragedi bom.

Tragedi bom Bali 12 Oktober 2002 menjadi peristiwa kelam yang terjadi di Indonesia. Insiden bersejarah tersebut menewaskan ratusan jiwa.Tragedi bom Bali 12 Oktober 2002 menjadi peristiwa kelam yang terjadi di Indonesia. Insiden bersejarah tersebut menewaskan ratusan jiwa. Foto: Getty Images/Edy Purnomo

Butuh tiga tahun agar fisiknya benar-benar pulih. Namun, sampai saat ini, telinganya masih sering mendengung tanpa sebab yang jelas.

"Tetapi, dampaknya yang di telinga kiri saya sampai sekarang dan sewaktu-waktu mendengung. Kadang-kadang jelas mendengar, kadang tidak," ujar Arnol.

Bukan perkara fisik yang jadi masalah. Arnol harus melawan trauma. Karena sering menonton televisi yang menayangkan tragedi itu, dia malah ketakutan melihat orang pakai ransel.

"Ciri-cari pelaku yang digambarkan di televisi seperti itu," pungkas pria kelahiran Sulawesi, 18 Agustus 1978 ini.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video: Eks Napiter Umar Patek Buka Bisnis Kopi, Penyintas Bom Bali Protes"
[Gambas:Video 20detik]
(dpw/hsa)

Hide Ads