Agus Setiawan mulai menemukan gairah hidupnya sejak bekerja sebagai ojek online (ojol) dua tahun terakhir. Pria dengan tinggi badan sekitar 115 sentimeter (cm) itu kini bisa mengirimkan uang untuk biaya perawatan ayahnya yang sedang mengidap strok di Banyuwangi, Jawa Timur.
"Saya sekarang kerja, ketika ingin makan nasi jinggo, saya bisa membeli. Dulu tidak bisa," kenang Agus saat ditemui detikBali di Denpasar, Bali, Sabtu (7/12/2024).
Agus merantau ke Bali seorang diri sejak 2003. Sebelum menjadi ojol, ia sempat bekerja sebagai buruh bangunan. Praktis, pria yang tidak memiliki tangan kiri dan bertubuh kerdil sejak lahir itu hanya mengandalkan tangan kanannya untuk melakukan berbagai aktivitas.
Kisah penyandang disabilitas menjadi sorotan sejak pria tunadaksa berinisial IWAS ditetapkan sebagai tersangka kasus pelecehan seksual terhadap mahasiswi di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Kasus itu mencuat tak lama setelah peringatan Hari Disabilitas Internasional yang diperingati setiap 3 Desember.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Koreografer Tari dalam Sunyi |
Kementerian Sosial (Kemensos) mengampanyekan #SetaraBerkarya untuk memperingati Hari Disabilitas Internasional 2024. Kampanye tersebut menekankan pentingnya kesetaraan dan pemberdayaan bagi kaum difabel.
Agus perlu memodifikasi motornya untuk ngojek. Motor matik bongsor itu dilengkapi dengan dua roda tambahan di belakang. Selain itu, rem kiri dan kanan motor tersebut juga dipindahkan ke bagian bawah.
Tuas rem itu juga dijadikan sebagai pijakan kaki saat Agus membawa penumpang. Pria kelahiran 1988 itu menghabiskan sekitar Rp 7 juta untuk memodifikasi motornya agar bisa ia kendarai.
Agus membeli motor Honda PCX hitam itu dengan dibantu oleh kenalanny, Hamdali. Agus mencicil motor itu melalui Hamdali.
![]() |
Agus pun merasa berutang budi kepada Hamdali. Bahkan, kawannya itu yang ditagih oleh dealer saat ia telat bayar cicilan.
"Saya kadang nggak enak karena orang dealer telepon dia (Hamdali) kalau saya terlambat bayar," tutur pria berkacamata tersebut.
Penghasilan Agus sebagai ojol tidak menentu. Ia bisa mendapat Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu per hari.
Baca juga: Cerita Difabel Bersahaja di Piduh |
Walhasil, pria difabel itu juga dituntut lebih bersabar untuk bisa pulang menengok ayahnya di Banyuwangi. Bahkan, ia belum mampu membeli batu nisan untuk makam ibunya. "Agustus kemarin ingin pulang untuk beli batu nisan ibu, tapi tidak terbeli karena di sini keperluan saya juga banyak," ungkapnya.
Meski tinggal di daerah Gianyar, Agus lebih memilih mengaspal di jalanan Denpasar. Selain karena sulit mendapatkan pelanggan di Gianyar, ia merasa ruas jalan di Denpasar lebih bersahabat dengan kondisi fisik dan motor yang dia gunakan.
Diremehkan Pelanggan hingga Tergelincir ke Sawah
Sebagai pengemudi ojek daring, Agus mengakui pernah merasa kesal saat ada yang pelanggan meremehkan kondisinya. Ia membantah anggapan seorang penyandang disabilitas seperti dirinya lebih mudah mendapat simpati dan tip dari orang lain.
Bahkan, Agus pernah mengantarkan makanan di lantai empat untuk pelanggannya. "Padahal, saya sudah menjelaskan kondisi saya. Namun, akhirnya tetap saya antar walaupun cukup susah saya bawanya," kenang Agus.
![]() |
Hal pilu lainnya yang dihadapi Agus sebagai ojol adalah ketika mengembalikan uang ke pelanggan. Seorang pelanggannya pernah mengambil uangnya Rp 10 ribu lantaran saat itu ia tidak memiliki Rp 1.000 untuk kembalian.
Agus harus berjuang di aspal Pulau Dewata. Dia beberapa kali terjatuh hingga tergelincir ke sawah saat mengendarai motor. "Kalau malam, pencahayaan kurang, jadi sering nyemplung," ungkap Agus.
Penyandang disabilitas, Agus berujar, juga memiliki cita-cita dan impian seperti orang pada umumnya. Ia berharap masyarakat tidak meremehkan atau menghina orang berkebutuhan khusus seperti dirinya.
"Saya ingin punya keluarga sendiri, ingin seperti teman-teman yang bisa pulang kapan saja dan memberi untuk orang tua. Itu yang bikin saya semangat," imbuh Agus dengan tatapan ke depan.
Artikel ini ditulis oleh Vincenia Januaria Molo peserta Magang bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(iws/iws)