Putu Wahyu Putra Sudianta bak seorang dirigen paduan suara saat melatih tari di Komunitas Larajiva. Tak ada musik pengiring dalam tari kontemporer yang diajarkan Wahyu. Mereka menari dalam sunyi.
Kedua tangan Wahyu memperagakan sejumlah isyarat. Mimik wajahnya juga dapat berubah dalam sekejap. Isyarat dan ekspresi Wahyu itulah yang kemudian diterjemahkan melalui gerakan tari oleh para penari tuli anggota Komunitas Larajiva.
"Saat menginstruksikan tari kontemporer, saya lebih banyak menggunakan rasa dari pada gestur," kata Wahyu seperti diinterpretasikan oleh juru bahasa isyarat, Stary Brosnan, saat ditemui detikBali di rumahnya, Banjar Telanga Darmasaba, Abiansemal, Badung, Bali, Sabtu (14/12/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kisah penyandang disabilitas menjadi sorotan sejak pria tunadaksa berinisial IWAS ditetapkan sebagai tersangka kasus pelecehan seksual terhadap mahasiswi, MA, di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Kasus itu mencuat tak lama setelah peringatan Hari Disabilitas Internasional yang diperingati setiap 3 Desember.
Kementerian Sosial (Kemensos) mengampanyekan #SetaraBerkarya untuk memperingati Hari Disabilitas Internasional 2024. Kampanye tersebut menekankan pentingnya kesetaraan dan pemberdayaan bagi difabel.
Di tengah riuh kasus IWAS, Wahyu memilih untuk larut berkarya dan berkesenian. Wahyu adalah pendiri Komunitas Larajiva yang mewadahi para tuli untuk belajar menari. Pria tuli lulusan sarjana tari Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar itu mulai tertarik mempelajari tari Bali sejak usia 10 tahun.
Kala itu, Wahyu kecil begitu tertegun menyaksikan pementasan tari di pura. Ia pun semakin tertarik mempelajari tari Bali setelah ibunya memberikan DVD tari. Dari situ, Wahyu mengamati gerakan dan mulai belajar menari.
"Di situlah tumbuh kecintaan pertama saya terhadap seni tari," ungkap Wahyu melalui isyarat.
Wahyu kecil juga belajar menari dengan isyarat kepada Ni Ketut Wati, guru tari. Ia belajar menari saat bersekolah di SLB Negeri 2 Denpasar.
Lambat laun, Wahyu mulai menciptakan sejumlah isyarat untuk teman-teman tuli agar bisa memahami tarian tersebut. Selain mempelajari tarian tradisi, pria berusia 23 tahun itu juga mendalami tari kontemporer sejak kuliah di ISI Denpasar. Tarian pertama yang dia ciptakan bertajuk Tari Larajiva.
Wahyu lebih banyak menampilkan gerakan ekspresif dalam tari yang dia ciptakan pada 2021 itu. Tari Larajiva menjadi semacam curahan hati Wahyu sebagai difabel tuli.
"Lara berarti sedih dan kecewa. Larajiva mencerminkan perasaan terdiskriminasi yang kami alami sebagai tuli," jelas Wahyu.
"Kami bisa membuat hal tersebut sebagai motivasi serta mengubah rasa sedih itu menjadi kebahagiaan melalui seni," imbuhnya.
![]() |
Wahyu mengungkapkan tak mudah menciptakan tarian. Bahkan, ia sempat kebingungan ketika menggunakan kode lantaran banyaknya gerakan dalam satu tari yang harus diingat.
Sejak itu, Wahyu mulai mencoba membuat bahasa isyarat agar gerakannya bisa ditirukan oleh teman tuli yang ingin belajar menari darinya. Salah satu tari Bali yang diajarkan oleh Wahyu adalah Tari Wirayuda. Ia pun mencoba menghayati tari tentang prajurit perang agar gerakannya bisa presisi dengan musik gamelan Bali yang mengiringinya.
"Sehingga meskipun tidak bisa mendengar, kami tetap bisa terhubung dengan lagu," jelasnya.
Baca juga: Ojol Difabel di Pulau Dewata |
Menurut Wahyu, gerakan tari Bali lebih banyak melibatkan gestur. Ia pun lebih tertantang karena harus memberikan banyak kode kepada sesama tuli di Komunitas Larajiva.
Misalkan saat tangan Wahyu bergerak dari bawah ke atas, artinya kaki harus diangkat. Jika tangan wahyu bergerak dari bawah ke atas berulang kali, maka murid-murid Wahyu harus melakukan gerakan tersebut secara berulang. Dalam tari Bali laki-laki, gerakan kaki berulang-ulang itu disebut malpal.
Masih banyak lagi kode yang harus disiapkan Wahyu secara konsisten untuk banyak tarian. Termasuk isyarat untuk gerakan tangan dan kepala.
Tari ciptaan Wahyu lainnya bertajuk Asah Asih Asuh. Pada tarian itu, Wahyu menggunakan memanfaatkan bebunyian dari tubuhnya untuk merasakan tempo. Hingga kini, koreografer tuli dengan tinggi semampai itu telah menciptakan lima karya, yakni Tari Larajiva, Tari Asah Asih Asuh, Tari Dewa Baruna, Tari Brumbun, dan Tari Sekatubi.
Meski dibawakan oleh sesama penari tuli, Wahyu juga melibatkan orang tak tuli yang bisa mendengar saat sesi latihan. Tujuannya untuk memastikan bahwa setiap gerakan dan ekspresi yang ditampilkan dapat terhubung dengan musik pengiringnya.
"Kami meminta bantuan dari orang yang mendengar untuk memberikan masukan dan revisi pada karya kami," kata Wahyu.
Kerap Diundang Pentas
Komunitas Larajiva tidak hanya menjadi tempat belajar tari, tetapi juga ruang bagi teman tuli untuk berbagi pengalaman dan saling mendukung. Saat ini, komunitas yang didirikan Wahyu itu memiliki 20 anggota.
"Kami tidak memiliki syarat khusus untuk bergabung, siapa saja yang tertarik dapat datang," ujar Wahyu.
"Mereka merasa terinspirasi karena ada guru tuli yang mengajarkan mereka," imbuhnya.
Wahyu menuturkan anak-anak Larajiva kerap diundang pentas di berbagai acara. Mereka mempunyai jadwal pentas rutin maupun pementasan khusus pada hari-hari tertentu. Sebagian hasil dari pementasan tari itu dibagikan untuk teman-teman tuli yang tampil dan sebagian untuk kas komunitas.
![]() |
detikBali sempat menyaksikan Wahyu dan anak-anak Larajiva pentas menari di Inklusiv Warung, Canggu, Kuta Utara, Badung, beberapa waktu lalu. Salah satu tarian yang dibawakan oleh mereka adalah Tari Trunajaya. Tari asal Buleleng yang dengan gerakan yang lincah dan bersahaja itu dibawakan apik oleh anak didik Wahyu.
Saat pementasan itu, Wahyu yang mengenakan pakaian adat Bali bertindak sebagai konduktor. Ia berdiri beberapa meter di depan panggung. Sementara itu, anak didik Wahyu telah bersiap di atas panggung.
Wahyu lantas memutar video Tari Trunajaya dari gawainya. Suara gamelan bertalu-talu. Pertunjukan pun dimulai. Dari kejauhan, Wahyu memberikan kode kepada sang penari yang berdiri di atas panggung. Meski tak dapat mendengar, gerakan sang penari tuli tetap presisi dengan musik pengiring berkat arahan Wahyu selaku konduktor.
Kiprah Wahyu dalam dunia tari diganjar beragam penghargaan. Antara lain, juara I lomba tari Baris Tunggal dalam rangka HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-68 pada 2013, juara II lomba tari Truna Jaya dalam rangka hari Disabilitas Internasional 2019, dan juara I lomba tari Dayak Melihat Dunia dalam acara Talenta Tunarungu/Tuli Indonesia Via Virtual 2021.
Salsa Bilah Regita Cahyani adalah salah satu anggota Komunitas Larajiva. Perempuan tuli berusia 23 tahun itu bahkan kini bisa menyalurkan bakat menari bersama sesama penyandang tuli setelah bergabung dengan komunitas yang didirikan Wahyu.
"Saya merasa senang dan nyaman bisa bergabung dengan Komunitas Larajiva karena bisa mengekspresikan keadaan saya. Saya dan Bli Wahyu sama-sama tuli, sehingga dapat saling memahami satu sama lain," ujar Salsa.
Artikel ini ditulis oleh Ni Komang Nartini peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(iws/gsp)