Perempuan bertubuh agak tambun dengan apron cokelat di dada itu tampak bersahaja ketika pengunjung restoran datang. Ni Ketut Dela Apriani namanya. Penyandang disabilitas dengan kelainan genetik atau down syndrom itu adalah salah satu pegawai di Piduh Charity Cafe, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, Bali.
Dela bertugas di dapur sebagai koki. Siang itu, Dela memasak pasta yang dipesan oleh pengunjung kafe. Ia mulai menyalakan kompor dan merebus air. Setelah mendidih, ia memasukkan pasta dan menunggu beberapa menit hingga matang.
"Ini Pasta Piduh, menu best seller di sini," ujar Dela seusai menghidangkan pasta buatannya di Piduh Cafe, Rabu (11/12/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat awal-awal menjadi koki, masakannya sering gosong karena terlalu lama dimasak. Meski berkebutuhan khusus dan tidak bisa terlalu cekatan, Dela menjalankan pekerjaannya itu dengan penuh tanggung jawab hingga pesanan pelanggan tersaji di atas meja makan.
Dela menuturkan dirinya menemukan gairah hidup sejak bekerja di Piduh Charity Cafe. Perempuan berusia 20 tahun itu ingin terus bekerja agar bisa mendapat penghasilan.
"Semangat kerja karena ada teman. Nggak mau diam, mau kerja dan dapat gaji biar bisa beli HP, beli lemari," imbuhnya sembari tersenyum.
Made Sati setali tiga uang. Sati yang juga seorang difabel sudah bekerja selama dua tahun sebagai kasir di Piduh Cafe. Sebelum bekerja di sana, Sati dan keluarganya membuka warung kecil-kecilan di rumah mereka. Namun, warung tersebut gulung tikar pada 2017.
"Setelah Made kerja di sini, Made sudah bisa buka warung lagi karena dapat gaji. Warung sekarang dijaga oleh bapak dan kakak," ujar Siti di sela-sela bekerjanya bekerja.
Senada dengan Dela, Sati juga pernah membuat kesalahan saat bekerja di sana. Suatu hari, ia salah menghitung uang sehingga kafe tempatnya bekerja merugi.
Sati sempat terpukul dan nyaris putus asa akibat kesalahannya itu. Namun, kepercayaan dirinya mulai tumbuh setelah pemilik kafe dan orang-orang terdekat memberikan semangat.
![]() |
"Harus fokus dan nggak boleh grogi sama sekali," imbuh perempuan tunadaksa yang lahir prematur itu.
Kisah penyandang disabilitas menjadi sorotan sejak pria difabel berinisial IWAS ditetapkan sebagai tersangka kasus pelecehan seksual terhadap mahasiswi di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Kasus itu mencuat tak lama setelah peringatan Hari Disabilitas Internasional yang diperingati setiap 3 Desember.
Namun, tak semua difabel seperti IWAS. Dela dan Sati membuktikan keterbatasan fisik yang mereka miliki tak menjadi penghalang untuk dapat berguna bagi diri sendiri maupun orang lain.
Berdayakan Para Difabel
Piduh Charity Cafe, tempat Dela dan Sati bekerja, merupakan salah satu kafe yang memberikan kesempatan bekerja bagi penyandang disabilitas. Seluruh pegawai di sana adalah para difabel down syndrome, autis, hingga tunadaksa.
Para disabilitas di kafe itu diawasi seorang manajer, Kadek Swartini (25). Perempuan yang biasa dipanggil Kace itu bertugas untuk menjalankan operasional kafe. Ia berperan sebagai pengarah bagi para difabel agar tetap bekerja sesuai sistem perusahaan. Jika tidak diawasi dan dituntun, mereka akan kesulitan saat melayani tamu.
"Kalau nggak ada saya, proses kerjanya jadi lebih lama. Misalkan Dela. Kadang-kadang dia (bekerja) sambil liatin orang. Ketemu lagi temannya. Pas awal-awal kami training mereka," tutur Kace.
Menu yang ditawarkan di Piduh Kafe berbeda dari restoran pada umumnya. Bukannya berisi gambar makanan, daftar menu di kafe itu menampilkan foto-foto para difabel yang bekerja di sana.
Para pekerja di sana tidak bisa membaca dan menulis. Foto yang dicantumkan di menu dirancang sebagai pengingat makanan dan minuman yang dipesan para tamu. Pelanggan akan "memesan" Made Mira jika ingin nasi goreng atau Putu Dewi jika ingin menyantap ayam madu.
Pelanggan harus mencentang nama para difabel beserta fotonya tersebut di kolom menu sesuai dengan pesanan. Setelah memilih menu, pelanggan hanya perlu menekan bel yang telah disiapkan agar pelayan datang mengambil pesanannya.
![]() |
Piduh Charity Cafe didirikan pasangan suami istri (pasutri) Ketut Satya (52) dan Nyoman Sri Wahyuni (42) pada Februari 2022. Pasutri sekaligus pendiri Yayasan Widya Guna itu terbersit membangun kafe itu setelah melihat anak-anak disabilitas belum berdaya selepas menyelesaikan pendidikan di yayasan tersebut.
Yayasan Widya Guna Bali yang didirikan Satya dan Wahyuni memiliki program belajar untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Mereka menyediakan empat kelas belajar dan satu kelas vokasional.
Kelas A untuk anak-anak autis hiperaktif, Kelas B untuk pengidap keterbelakangan mental dan tuli bisu. Kemudian, Kelas C untuk anak-anak cerebral palsy dan Kelas D untuk anak-anak down syndrom.
Satya dan Wahyuni pun memberikan kesempatan bagi anak-anak disabilitas yang cukup umur untuk bekerja dan berpenghasilan dengan menjadi pegawai di Piduh Charity Cafe. "Jadi, kami harus buat suatu program supaya mereka bisa bekerja. Itu alasan kami buat Piduh Cafe," terang Satya.
Baca juga: Koreografer Tari dalam Sunyi |
Piduh Charity Cafe kini menampung sembilan pegawai difabel. Mereka memiliki tugas berbeda-beda. Ada yang bertugas di dapur sebagai juru masak, pelayan, dan kasir.
Satya dan Wahyuni mengaku masih harus menutup kerugian dari usaha yang mereka jalankan. Sebab, sistem pengelolaan kafe tersebut lebih memprioritaskan para difabel sebagai pegawai dibandingkan keuntungan yang didapat.
"Setiap bulan, 50 persen dari profit kami bayarkan untuk gaji anak-anak disabilitas. Sebanyak 20 persen dialokasikan untuk gaji guru-gurunya, 15 persen untuk biaya makan siang anak-anak, dan 15 persen untuk peralatan Piduh Cafe," ujar Satya.
"Teman-teman disabilitas makan siang gratis karena diberikan oleh yayasan. Bahkan, kami masih support (dana pribadi) supaya mereka bisa bekerja di sini," imbuhnya.
![]() |
Para pegawai Piduh Charity Cafe mendapatkan gaji Rp 1,5 juta per bulan. Jika dihitung, mereka mendapatkan Rp 68.182 per hari. Mereka bekerja dari Senin hingga Jumat selama empat jam dalam sehari.
Piduh Charity Cafe buka dari Senin hingga Jumat mulai pukul 10.00 Wita hingga 15.00 Wita. Satya dan Wahyuni berharap bisa membuka cabang di daerah-daerah lain untuk membantu memberdayakan para difabel.
"Kami ingin suatu ketika bisa buka cabang supaya anak-anak disabilitas yang berumur 20 tahun ke atas bisa terserap menjadi di dunia kerja," pungkas Satya.
Baca juga: Ojol Difabel di Pulau Dewata |
Kepala Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A) Luh Ayu Aryani mengungkapkan pemerintah terus berupaya menciptakan lingkungan yang inklusif bagi penyandang disabilitas. Ia menyebut data terbaru tahun 2023 menunjukkan jumlah difabel di Bali mencapai 22.782 orang.
Aryani merinci sebanyak 17 persen atau 3.913 difabel di Bali telah terserap ke dunia kerja, termasuk di sektor formal. Pemerintah, dia berujar, berkomitmen untuk memperbaiki hak-hak para penyandang disabilitas, baik dalam pendidikan, pekerjaan, maupun layanan publik.
"Kami terus mendorong keterlibatan disabilitas di berbagai sektor, termasuk UMKM," ungkap Aryani, Sabtu (14/12/2024).
Artikel ini ditulis oleh Firga Raditya Pamungkas dan Vincencia Januaria Molo, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(iws/iws)