Kadek Radita Puspa, Difabel yang Terus Berkarya

Difabel Berdaya

Kadek Radita Puspa, Difabel yang Terus Berkarya

Firga Raditya Pamungkas - detikBali
Sabtu, 21 Des 2024 21:38 WIB
Kadek Radita Puspa Dewi menunjukkan kerajinan tangan buatannya di kediamannya di Denpasar, Bali, Selasa (10/12/2024). (Foto: Firga Raditya Pamungkas/detikBali)
Kadek Radita Puspa Dewi menunjukkan kerajinan tangan buatannya di kediamannya di Denpasar, Bali, Selasa (10/12/2024). (Foto: Firga Raditya Pamungkas/detikBali)
Denpasar -

Napas perempuan bertubuh mungil itu tersengal-sengal. Dengan cekatan, ia mengambil bagian-bagian dari kertas yang sudah dibentuk sedemikian rupa untuk ditempelkan menjadi kerajinan koran bekas. Siang itu, dia membuat kotak pensil artistik.

Kadek Radita Puspa namanya. Perempuan berusia 31 tahun itu terus berkarya di tengah keterbatasan yang dimilikinya. Ita, sapaannya, adalah seorang penyandang disabilitas sindrom marfan, skoliosis, dan tuli sedang.

"Kadang tiba-tiba capek. Kalau capek dan sesak, Ita pakai nebulizer untuk alat pernapasan biar stabil," tutur Ita saat ditemui detikBali di kediamannya di Denpasar, Bali, Selasa (10/12/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ita mulai belajar membuat kerajinan tangan dari koran bekas sejak 2017. Kala itu, ia belajar membuat bokor dan dulang melalui sebuah pelatihan yang digelar di balai banjar.

Sejak itu, Ita terus berkreasi membuat berbagai kerajinan tangan dari barang bekas. Ia terinspirasi dari sejumlah karakter kartun seperti Croppy, Hello Kitty, beruang Unicorn, hingga Totoro.

ADVERTISEMENT

Untuk membuat satu kotak pensil dari koran bekas, Ita mengerjakan kerangka wadahnya terlebih dahulu. Ia lantas mengelem satu per satu item tersebut dengan penuh ketelitian. Terkadang Ita juga dibantu oleh ibunya saat mengerjakan pernak-pernik seperti mata, hidung, dan mulut karakter yang hendak dibuat.

Buah tangan Ita kerap dipamerkan di berbagai kegiatan disabilitas di Bali, seperti Rumah Berdaya, Graha Nawasena, dan Dharma Negara Alaya, Denpasar. Para pengunjung pameran juga kerap membeli karyanya. Satu buah tangan Ita dihargai Rp 75 ribu.

"Kebetulan selalu ada peminatnya," imbuh perempuan kelahiran 13 September 1993 itu.

Ita tak hanya menjajakan kerajinan koran bekas itu dari pameran ke pameran. Belakangan, ia mulai menjual karya-karyanya melalui e-commerce dan mempromosikannya melalui media sosial (medsos), seperti YouTube, Facebook, blog, dan TikTok. Berbagai buah tangannya itu diberi nama Ita Karya.

"Saya pernah di TikTok FYP, tetapi di-bully sama netizen. Di komentar dibilang 'dasar tua bangka' atau dianggap produk saya mudah rusak," ungkap Ita.

"Sekarang Ita sudah enggak jawab-jawab comment buruk kayak gitu lagi," imbuhnya.

Ita mengakui susahnya berjualan. Ia pun mesti bersabar lantaran hanya memperoleh hasil Rp 75 ribu hingga Rp 250 ribu dalam enam bulan menjual produk-produk kerajinan tangan itu.

Kisah penyandang disabilitas menjadi sorotan sejak pria tunadaksa berinisial IWAS ditetapkan sebagai tersangka kasus pelecehan seksual terhadap mahasiswi di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Kasus itu mencuat tak lama setelah peringatan Hari Disabilitas Internasional yang diperingati setiap 3 Desember.

Kementerian Sosial (Kemensos) mengampanyekan #SetaraBerkarya untuk memperingati Hari Disabilitas Internasional 2024. Kampanye tersebut menekankan pentingnya kesetaraan dan pemberdayaan bagi kaum difabel.

Ita belajar tegar ketika mendapatkan perundungan. Sebagai seorang difabel, ia mengakui acap kali menjadi korban perundungan teman-temannya sejak kecil. Puncaknya terjadi ketika Ita duduk di bangku SMK. Ia akhirnya putus sekolah karena tidak tahan dengan perundungan yang dia terima.

"Ketika putus sekolah dia hancur sampai nggak mau liat bajunya. Saya sembunyikan baju sekolahnya biar dia nggak lihat," kata ibu Ita, Putu Sukareni.

Meski sempat putus sekolah, Ita akhirnya melanjutkan pendidikan lewat program Paket C. Suatu hari, Ita bermain ke perpustakaan. Gairahnya untuk belajar perlahan tumbuh. Ia begitu menghormati Dewi Saraswati, dewi ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan dalam ajaran Hindu.

"Ngapain saya benci? Nanti Dewi Saraswati marah kalau Ita benci sama buku dan ilmu pengetahuan," sambung Ita.

Kadek Radita Puspa Dewi membaca buku kumpulan cerita pendek (cerpen) berjudul Lihat dengan Rasa. (Foto: Firga Raditya Pamungkas/detikBali)Kadek Radita Puspa Dewi membaca buku kumpulan cerita pendek (cerpen) berjudul Lihat dengan Rasa. (Foto: Firga Raditya Pamungkas/detikBali)

Jadi Cerpenis

Selain piawai membuat kerajinan tangan, Ita juga rajin menuangkan pikirannya ke dalam tulisan. Bahkan, ia telah menerbitkan buku kumpulan cerita pendek (cerpen) berjudul Lihat dengan Rasa.

"Genrenya fiksi, ada horor, keluarga, percintaan," tutur Ita.

Insomnia membuat Ita sulit tidur. Ketika ibu dan keluarga lelap dalam istirahat, Ita mengambil laptopnya untuk mulai menulis. Aktivitas itu ia lakukan untuk mengisi kehidupan malamnya yang sunyi.

Ita pernah meraih juara 3 komba menulis dan karyanya dimuat dalam buku autobiografi disabilitas se-Bali. Karya-karyanya juga telah dipublikasikan dan dicetak sejumlah penerbit. Karya-karya Ita juga dipajang di perpustakaan SMP Pertiwi Nusantara.

Tak hanya menulis, Ita juga membuat gambar untuk ilustrasi karya-karyanya itu. Di lain waktu, Ita juga menjarit baju yang mirip dengan boneka-boneka kesayangannya.

Ibu Ita, Sukareni, bangga dengan kreativitas putrinya itu. "Kemauannya tinggi, lucu, dan kreatif. Tantangan paling besar kalau dia sakit," ujarnya.

Artikel ini ditulis oleh Firga Raditya Pamungkas, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(hsa/iws)

Koleksi Pilihan

Kumpulan artikel pilihan oleh redaksi detikbali

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads