Letusan Krakatau pada abad kelima disebut-sebut membelah Pulau Jawa. Kemudian erupsi pada 1883 membuat warga menyangka itu akan menjadi akhir kehidupan di dunia.
Pada abad kelima, namanya Krakatau Purba. Gunung yang berada di Pulau Jawa itu kemudian meletus dan membelah Pulau Jawa, sehingga belahan bagian barat menjadi Pulau Sumatera.
"Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada pula guncangan Bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian, datang angin dan hujan yang mengerikan dan badai menggelapkan seluruh dunia. Banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula. Ketika air menenggelamkannya, maka Pulau Jawa terpisah menjadi dua, yang menciptakan Pulau Sumatera," berikut isi naskah Pustaka Raja Parwa yang dikutip Asti Musman dalam buku Asal Muasal Orang Jawa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara RA van Sandick menggambarkan letusan Krakatau pada 27 Agustus 1883 seperti pemandangan dari sebuah akhir zaman. Ia merupakan mantan insinyur kepala di Hindia-Belanda. Saat Krakatau meletus, Sandick berada di atas kapal Loudon yang berlayar dari Batavia (Jakarta) menuju Teluk Betung (Lampung).
Kesaksian Sandick mengenai dahsyatnya letusan Krakatau 27 Agustus 1883 dicuplik Portal Informasi Indonesia pada Selasa 8 Januari 2019, dari buku In het Rijk van Vulcaan: de Uitbarsting van Krakatau en Hare Gevolgen. Letusan tersebut melontarkan 10 kilometer kubik material, baik awan panas maupun abu vulkanik. Letusan gunung memicu tsunami setinggi kurang lebih 40 meter. Gelombang material panas menghantam pesisir Lampung dan Banten. Ratusan kampung hancur.
Gelombang efek letusan Krakatau disebut-sebut mencapai Afrika. Sementara suara letusannya terdengar hingga Karachi (Pakistan) bagian barat, serta Perth dan Sydney (Australia) di bagian timur.
Kemudian dalam Jurnal Sejarah Vol (2) 2, 2019, berjudul 'Binatang-binatang di Sekitar Letusan Krakatau', Budi Gustaman menyebut Pangeran Aria Djajadingingrat mendapatkan cerita dari pamannya, seorang asisten wedana di Tadjoer (Tajur Bogor), korban selamat letusan Krakatau. Budi mengutip kisah itu dari buku Herinneringen van Pangeran Aria Achmad Djajadinigrat (1936).
"Suatu pagi paman saya mendengar dentuman keras dan melihat cahaya api besar di atas Krakatau. Kemudian hari menjadi gelap. Pikirnya, bahwa dunia (akan) kiamat,..."
Untuk mendapatkan ulasan lebih lengkap, detikers bisa membuka sederet link berita di bawah ini:
Baca juga: Asal-usul Nama Gunung Krakatau |
(sun/trw)