Serupa Kiamat saat Krakatau Meletus Tahun 1883

Serupa Kiamat saat Krakatau Meletus Tahun 1883

Triono Wahyu S - detikSumbagsel
Senin, 26 Agu 2024 07:00 WIB
Gunung anak krakatau erupsi semburkan abu vulkanik setinggi 1.157
Erupsi Gunung Anak Krakatau pada November 2023 (Foto: Dok Magma Indonesia)
Lampung -

Hari ini, Senin 26 Agustus 2024, adalah 141 tahun letusan Gunung Krakatau. Saat itu, pada Agustus 1883, letusan gunung di Selat Sunda tersebut menggemparkan dunia. Dampaknya terasa hingga Australia dan Eropa. Suasana seperti kiamat.

"Ada sebuah pemandangan yang mengerikan, di mana pesisir pantai Jawa dan Sumatra benar-benar hancur. Semua yang ada berwarna kelabu dan suram, desa-desa dan pepohonan menghilang; bahkan runtuhannya pun tidak bisa kita lihat. Gelombang telah merusak dan menghabiskan semua penghuninya, rumah, tanaman, dan binatang ternak mereka. Saat itu sulit untuk mengenali Anyer di mana tidak ada satu pun rumah yang berdiri di kota itu. Ini adalah sebuah pemandangan dari sebuah akhir zaman."

Demikian kesaksian RA van Sandick, mantan insinyur kepala di Hindia-Belanda, yang dicuplik Portal Informasi Indonesia, Selasa 8 Januari 2019, dari buku 'In het Rijk van Vulcaan: de Uitbarsting van Krakatau en Hare Gevolgen'. Saat Krakatau meletus, Sandick berada di atas kapal Loudon yang berlayar dari Batavia (Jakarta) menuju Teluk Betung (Lampung).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Krakatau meletus pada Minggu, 26 Agustus 1883 dan mencapai puncaknya pada Senin pagi 27 Agustus. Melontarkan 10 kilometer kubik material, baik awan panas maupun abu vulkanik. Letusan di hari kedua memicu tsunami setinggi kurang lebih 40 meter. Gelombang material panas menghantam pesisir Lampung dan Banten. Ratusan kampung hancur.

Disebut-sebut, masih menurut Portal Informasi Indonesia, gelombang efek letusan Krakatau mencapai Afrika. Sementara suara letusannya terdengar hingga Karachi (Pakistan) bagian barat dan Perth dan Sydney (Australia) di bagian timur.

ADVERTISEMENT

Budi Gustaman dalam Jurnal Sejarah Vol (2) 2, 2019, berjudul 'Binatang-binatang di Sekitar Letusan Krakatau' mengutip buku Herinneringen van Pangeran Aria Achmad Djajadinigrat (1936). Pangeran Aria Djajadingingrat mendapatkan cerita dari pamannya, seorang asisten wedana di Tadjoer (Tajur Bogor), korban selamat letusan Krakatau.

"Suatu pagi paman saya mendengar dentuman keras dan melihat cahaya api besar di atas Krakatau. Kemudian hari menjadi gelap. Pikirnya, bahwa dunia (akan) kiamat,..."

Pemadam kebakaran Amerika sampai-sampai harus bersiap, seolah menghadapi 'kiamat', simak di halaman selanjutnya.

Dampak ledakan terasa begitu mengerikan bagi penghuni bumi saat itu. Informasi berembus cepat via surat kabar, telegram bersliweran. Namun karena pengetahuan geologis masih kurang ditambah dogma agama sangat kuat, informasi tersebut memicu ketakutan berlebihan.

Simon Winchester dalam Krakatoa, Saat Dunia Meledak (2003), menyebutkan banyak warga dunia khawatir akan konsekuensi atas letusan Krakatoa (Krakatau) yang dianggap jauh lebih menakutkan dari sekadar letusan gunung saja.

"Mereka berpikir bahwa dunia akan tercabik-cabik dan mungkin seperti yang Kitab Suci sebutkan, hari kiamat telah tiba," tulis Winchester.

Di belahan bumi lain, pemadam kebakaran Amerika bahkan merasa perlu bersiap memerangi apa yang disebut 'menjelang kiamat'. Padahal mereka hanya melihat warna gelap pada matahari yang sedang tenggelam, suasana akibat debu vulkanik Krakatau beterbangan di langit. Dalam sebuah laporan disebutkan abu vulkanik Krakatau membubung hingga ketinggian 80 kilometer.

Ada beberapa versi soal jumlah korban letusan Krakatau. Berkisar antara 34 ribu hingga 36 ribu orang. Catatan Pemerintah Hindia Belanda, jumlahnya 36.417 orang. Sementara sumber lain menyebut jumlah korban mencapai 120 ribu orang.

Lahirnya Anak Krakatau

Badan Geologi mencatat usai letusan dahsyat tahun 1883, pada 28 Desember 1927 ada aktivitas vulkanik di kedalaman 188 meter di Selat Sunda. Kawah baru terbentuk. Anak Krakatau lahir. Lalu muncul ke permukaan laut pada 1929.

Terjadi erupsi ribuan kali sejak itu. Pada 2018 lalu, erupsi gunung tersebut memicu tsunami di Lampung dan Banten menyebabkan 450 korban tewas.

Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyebutkan di sela erupsi sporadis, hingga saat ini Anak Krakatau dalam fase konstruksi atau membangun. Terakhir kali berstatus Waspada atau level II, sebelumnya berstatus Siaga (level III).

"Tingkat aktivitas G. Anak Krakatau diturunkan dari Level III (Siaga) ke Level II (Waspada). Tingkat aktivitas boleh turun, kewaspadaan jangan sampai kendor!" tulis PVMBG dalam laman Instagram resminya, Jumat 19 April 2024.

Halaman 2 dari 2
(trw/sun)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads