Letusan Krakatau Purba Dipercaya Runtuhkan Peradaban Kuno Dunia

Lampung

Letusan Krakatau Purba Dipercaya Runtuhkan Peradaban Kuno Dunia

Tim detikSumbagsel - detikSumbagsel
Jumat, 30 Agu 2024 15:20 WIB
Polda Banten mengimbau masyarakat di pesisir untuk mewaspadai erupsi Gunung Anak Krakatau (GAK) di Perairan Selat Sunda. (dok Ist)
Erupsi Gunung Anak Krakatau (GAK) di Perairan Selat Sunda. (dok Ist)
Lampung -

Berbicara mengenai letusan Gunung Krakatau tidak melulu soal erupsi 1883. Sebab, jika ditarik lebih jauh ke belakang, sejarah letusan Gunung Krakatau Purba tak kalah mengerikan.

Bahkan, letusan Krakatau Purba waktu itu disebut-sebut sampai membelah Pulau Jawa menjadi Pulau Sumatera dan Jawa seperti saat ini. Seperti yang ditulis Asti Musman dalam buku Asal Muasal Orang Jawa.

Menurut Asti, Purwadi dan Hari Jumanto (2006) menyebut sejak 301-400 S atau 310-412 C disebut Zaman Air. Zaman di mana terjadi banjir besar di Pulau Jawa, hingga lautan menggenangi daratan. Ketika air surut, Pulau Jawa terbelah menjadi dua.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di sebelah barat ada Pulau Sumatera. Pulau tersebut memiliki banyak tempat yang mengeluarkan air, seperti sumber mata air dan rawa. Sementara belahan timur tetap diberi nama Pulau Jawa.

Asti juga menjelaskan soal isi naskah Pustaka Raja Parwa yang diperkirakan ditulis abad kelima Masehi. Berikut ini isinya.

ADVERTISEMENT

"Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada pula guncangan Bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian, datang angin dan hujan yang mengerikan dan badai menggelapkan seluruh dunia. Banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula. Ketika air menenggelamkannya, maka Pulau Jawa terpisah menjadi dua, yang menciptakan Pulau Sumatera".

Ahli Geologi Belanda yakni Berend George Escher, lanjut Asti, menyimpulkan bahwa Gunung Batuwara yang disebut dalam naskah kuno itu yakni Gunung Krakatau Purba. Dampak dari letusan Krakatau Purba hingga berbagai penjuru dunia.

Bahkan dalam riset bertajuk Catastrophe: An Investigation Into the Origins of the Modern World (2000),David Keys menyimpulkan peristiwa vulkanik di Asia Tenggara itu terkait dengan bencana alam yang menyebabkan perubahan besar selama abad keenam dan ketujuh Masehi.

Saat itu, tinggi Gunung Krakatau Purba lebih dari 2.000 mdpl. Letusan di abad kelima itu berlangsung sekitar 10 hari. Erupsi memuntahkan 1 juta ton material per detik.

Perlu diketahui bahwa saat itu belum ada Selat Sunda. Jadi, Krakatau Purba masih berdiri di Pulau Jawa.

Letusan Krakatau Purba diyakini bertanggung jawab atas terjadinya berbagai peristiwa besar. Di mana beberapa peradaban kuno runtuh. Seperti peradaban Persia Purba di Asia Barat, Nazca di Amerika Selatan, hingga Maya di Amerika Tengah.

Selain itu, letusan Krakatau Purba juga dikaitkan dengan melemahnya Kekaisaran Romawi. Yang kemudian digantikan dengan Kerajaan Byzantium.

Belasan abad berlalu, Krakatau kembali mengguncang dunia. Bahkan letusannya pada 1883 membuat banyak orang merasa sedang melewati hari kiamat.

Letusan Krakatau pada 27 Agustus 1883

RA van Sandick menggambarkan letusan Krakatau waktu itu seperti pemandangan dari sebuah akhir zaman. Ia merupakan mantan insinyur kepala di Hindia-Belanda. Saat Krakatau meletus, Sandick berada di atas kapal Loudon yang berlayar dari Batavia (Jakarta) menuju Teluk Betung (Lampung).

Kesaksian Sandick mengenai dahsyatnya letusan Krakatau 27 Agustus 1883 dicuplik Portal Informasi Indonesia pada Selasa 8 Januari 2019, dari buku 'In het Rijk van Vulcaan: de Uitbarsting van Krakatau en Hare Gevolgen'.

Letusan tersebut melontarkan 10 kilometer kubik material, baik awan panas maupun abu vulkanik. Letusan di hari kedua memicu tsunami setinggi kurang lebih 40 meter. Gelombang material panas menghantam pesisir Lampung dan Banten. Ratusan kampung hancur.

Gelombang efek letusan Krakatau disebut-sebut mencapai Afrika. Sementara suara letusannya terdengar hingga Karachi (Pakistan) bagian barat, serta Perth dan Sydney (Australia) di bagian timur.

Kemudian dalam Jurnal Sejarah Vol (2) 2, 2019, berjudul 'Binatang-binatang di Sekitar Letusan Krakatau', Budi Gustaman menyebut Pangeran Aria Djajadingingrat mendapatkan cerita dari pamannya, seorang asisten wedana di Tadjoer (Tajur Bogor), korban selamat letusan Krakatau. Budi mengutip kisah itu dari buku Herinneringen van Pangeran Aria Achmad Djajadinigrat (1936).

"Suatu pagi paman saya mendengar dentuman keras dan melihat cahaya api besar di atas Krakatau. Kemudian hari menjadi gelap. Pikirnya, bahwa dunia (akan) kiamat,..."




(sun/trw)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads