Letusan Gunung Krakatau pada 27 Agustus 1883 merupakan salah satu letusan dahsyat dalam sejarah. Namun jauh sebelum itu, letusan Krakatau Purba diprediksi menghasilkan kaldera hingga membelah Pulau Jawa dan Sumatera.
Dikutip situs resmi Institut Teknologi Bandung (ITB), serba-serbi tentang Gunung Krakatau pernah disampaikan Volkanolog ITB Dr. Eng. Mirzam Abdurrachman, S.T., M.T., dalam Geoseminar 2020. Geoseminar tersebut digelar Pusat Survei Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 3 Juni 2020) secara daring. Tema yang diusung yakni Gunung Api (Past, Present & Future).
Dr. Mirzam mengulas soal Gunung Krakatau dengan judul presentasi 'Dinasti Krakatau: Era Kegelapan, Hindia Belanda, dan Indonesia'. Untuk diketahui, leluhur gunung tersebut sering disebut Proto Krakatau atau Krakatau Purba.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Era kegelapan yang dimaksud Dr. Mirzam sekitar 600.000 tahun yang lalu. Menurut hipotesis beberapa ilmuwan, terjadi letusan gunung api pada daerah ekuator bumi sekitar 100.000 tahun yang lalu. Sebanyak 27 titik di antaranya berada di Indonesia. Sehingga letusan Krakatau Purba diprediksi menghasilkan kaldera dan membelah Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.
Pada masa Hindia-Belanda mulai dilakukan penyusunan peta topografi dan vulkanologi oleh seorang geolog Franz Wilhelm Junghuhn, selama dua periode hingga 1855. Sedangkan untuk mempelajari waktu letusan Gunung Krakatau Purba yang lebih akurat, digunakan catatan sejarah dengan judul Catatan Pustaka Raja Purwa yang disusun Ranggawarsita.
Dalam catatan itu disebutkan ada gunung yang meletus di Selat Sunda. Lalu disusul gunung-gunung lain yang berada di baratnya.
Namun terjadi ketidakpastian waktu antara tahun 416 atau 535 Masehi yang membutuhkan analisis lebih mendalam agar dapat diketahui lebih tepat.
Berdasarkan analisis ilmiah, terjadi beberapa peristiwa perlambatan yang mempengaruhi pencatatan sejarah pada abad keenam. Di antaranya data lingkaran tahun pada pohon yang melambat. Kemudian terjadi penurunan temperatur kutub secara signifikan, peningkatan asam sulfat di daerah Greenland, serta berakhirnya beberapa peradaban.
"Hasil analisis adanya anomali pada abad keenam menjadi dasar yang menguatkan jika Gunung Proto Krakatau meletus pada tahun 535," ucap Dr. Mirzam dalam Geoseminar.
Letusan Krakatau pada 27 Agustus 1883
RA van Sandick menggambarkan letusan Krakatau waktu itu seperti pemandangan dari sebuah akhir zaman. Ia merupakan mantan insinyur kepala di Hindia-Belanda. Saat Krakatau meletus, Sandick berada di atas kapal Loudon yang berlayar dari Batavia (Jakarta) menuju Teluk Betung (Lampung).
Kesaksian Sandick mengenai dahsyatnya letusan Krakatau 27 Agustus 1883 dicuplik Portal Informasi Indonesia pada Selasa 8 Januari 2019, dari buku 'In het Rijk van Vulcaan: de Uitbarsting van Krakatau en Hare Gevolgen'.
Letusan tersebut melontarkan 10 kilometer kubik material, baik awan panas maupun abu vulkanik. Letusan di hari kedua memicu tsunami setinggi kurang lebih 40 meter. Gelombang material panas menghantam pesisir Lampung dan Banten. Ratusan kampung hancur.
Gelombang efek letusan Krakatau disebut-sebut mencapai Afrika. Sementara suara letusannya terdengar hingga Karachi (Pakistan) bagian barat, serta Perth dan Sydney (Australia) di bagian timur.
Kemudian dalam Jurnal Sejarah Vol (2) 2, 2019, berjudul 'Binatang-binatang di Sekitar Letusan Krakatau', Budi Gustaman menyebut Pangeran Aria Djajadingingrat mendapatkan cerita dari pamannya, seorang asisten wedana di Tadjoer (Tajur Bogor), korban selamat letusan Krakatau. Budi mengutip kisah itu dari buku Herinneringen van Pangeran Aria Achmad Djajadinigrat (1936).
"Suatu pagi paman saya mendengar dentuman keras dan melihat cahaya api besar di atas Krakatau. Kemudian hari menjadi gelap. Pikirnya, bahwa dunia (akan) kiamat,..."
(sun/trw)