Pengamat politik Sumatera Selatan, M Haekal Al Haffa Haekal menyebut peluang penjabat (Pj) kepala daerah maju Pilkada sangat terbuka. Panggung birokrasi dinilai sebagai sumber daya yang besar dan bisa dijadikan celah bagi Pj untuk menaikkan popularitas dan dipilih Parpol sebagai calon.
"Panggung birokrasi dengan sumber daya besar itu bisa dimainkan dengan mudah. Terutama jika panggung itu digunakan untuk mendapatkan angka-angka akseptabilitas dan popularitas dalam kerangka elektoral. Hal problematis yang menjadi sorotan adalah potensi penyalahgunaan APBD dan politisasi ASN," ujar Haekal saat dikonfirmasi, Kamis (23/5/2024).
Penyalahgunaan itu, menurutnya, merupakan ruang gelap bagi mereka yang berstatus Pj. Namun, hal itu pastinya akan menjadi perhatian dan terus dilihat publik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kinerja Pj yang akan maju itu terus diperiksa manakala kerja kebijakan itu tumpang tindih dengan kerja politik elektoral," kata Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sriwijaya ini.
Menurutnya, dalam skema Pilkada ada dua yang minimal akan dikerjakan Pj. Pertama memastikan target minimum survei dan angka-angka elektabilitas. Kemudian menyangkut rekomendasi partai karena dianggap punya elektabilitas yang baik dan kemudian berimbas pada survei calon kepala daerah.
"Juga dapat memastikan bahwa rekomendasi parpol bisa didapat Pj. Kalau bicara peluang, angka-angka survei tertinggi itu tentu hari ini Pj di atas angin, sehingga sebetulnya harus ada kerangka regulasi yang mengatur calon kepala daerah yang berlatar birokrat, agar tidak ada abuse of power," ungkapnya.
Haekal menyebut, prinsip dalam demokrasi ada jujur, adil dan equal (kesetaraan). Dalam konteks ini, ia menilai equal hilang jika salah satu kandidat mendapat manfaat lebih dari berkah jabatan melalui APBD dan mesin politik ASN.
Ia menilai, komunikasi Pj dengan Parpol juga dianggap tidak etis. Bahkan disebutnya sebagai bentuk lain dari ancaman demokrasi. Bahwa demokrasi lokal dalam konteks Pilkada saat ini membuat mekanisme demokrasi mudah tergelincir menjadi tirani.
"Karena demokrasi hanya menghasilkan panggung bagi orang yang berkepentingan sempit dan pemain-pemain politik partisan," tambahnya.
Haekal juga mengkritisi batas waktu mundur Pj hanya 40 hari sebelum pendaftaran oleh KPU dibuka. Ia menilai itu sebagai karpet merah bagi para birokrat oportunis.
"Waktu 40 hari tidak ideal, seolah-olah negara memberikan karpet merah bagi para birokrat oportunis. Saya mengusulkan dua opsi, paling tidak kerangka regulasi mengatur 2 tahun sebelum pilkada harus mundur atau yang kedua perlu ada wacana judicial review terhadap hak politiknya ASN," tukasnya.
(dai/dai)