Kerajaan Bone merupakan salah satu kerajaan besar yang pernah ada di Nusantara. Kerajaan ini memiliki pengaruh besar di kawasan Sulawesi Selatan dan wilayah Timur Nusantara.
Raja yang paling terkenal saat memerintah Kerajaan Bone adalah Latenritatta Arung Palakka Petta Torisompa'e Malempe'e Gemmena Matinroe ri Bontoala. Raja Bone ke-XV tersebut lebih dikenal dengan nama Arung Palakka.
Ada banyak hal yang terjadi selama proses pertumbuhan dan perkembangan Kerajaan Bone. Mulai dari sejarah lahirnya, proses islamisasi yang terjadi kepada raja dan seluruh masyarakatnya, hubungan dengan Belanda, hingga runtuhnya Bone sebagai sebuah Kerajaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantas, bagaimana jejak sejarah Kerajaan Bone di Bumi Sulawesi Selatan ini? Berikut ulasan selengkapnya seperti dirangkum detikSulsel dari jurnal Lensa Budaya yang berjudul "Kerajaan Bone dalam Lintasan Sejarah Sulawesi Selatan (Sebuah Pergolakan Politik dan Kekuasaan dalam Mencari, Menemukan, Menegakkan, dan Mempertahankan Nilai-nilai Entitas Budaya Bugis)".
Yuk simak!
Sejarah Kerajaan Bone
Sejarah mencatat Kerajaan Bone didirikan oleh Raja Bone I Manurunge ri Matajang pada tahun 1330 Masehi.
Sebelumnya, Wilayah Bone terdiri dari unit-unit yang disebut dengan "anang" yang dipimpin oleh seorang "matoa anang". Dari anang-anang tersebut kemudian terbentuk sebuah "wanua" (negeri).
Ada Wanua Ujung, Wanua Tibojong, Wanua T'a, Wanua Tanete Riattang, Wanua Tanete Riawa, Wanua Ponceng, dan Wanua Macege. Ketujuh wanua inilah yang kemudian disebut "ade pitu'e".
Dalam sejarah lontara' dijelaskan bahwa suatu waktu terjadilah peristiwa hujan badai dan petir selama tujuh hari tujuh malam tanpa henti. Setelah hujan reda, tiba-tiba muncullah sosok seorang manusia yang mengenakan jubah putih berdiri di tengah padang yang luas.
Tak seorang pun penduduk mengenal sosok tersebut, karena itu mereka menyebutnya dengan "tomanurung", yaitu orang yang turun dari langit.
Masyarakat Bone pun meminta "tomanurung" ini untuk menjadi raja mereka. Namun, ia pun menolak tawaran tersebut dan menawarkan seorang calon raja yang ada di daerah Matajang.
Bersama "tomanurung", rakyat Bone pun menuju lokasi calon raja tersebut. Sesampainya di sana, tampaklah seorang lelaki yang sedang duduk dengan pakaian kuning di atas batu atau "napara" bersama tiga pengikut yang mengipasi, memayungi, dan memegang nampan sirih.
Rakyat Bone meminta lelaki itu untuk menjadi raja, maka lelaki itu pun berikrar "teddua nawa-nawaoo (orang setia), temma' bello (tidang ingkar janji)." Setelah ikrar itu, maka lelaki itupun resmi diangkat menjadi Raja Bone I.
Raja itupun kemudian mendirikan istana Kerajaan Bone di tanah bangkala'e, yang sekarang menjadi lapangan Merdeka Watampone.
Ditetapkannya Manurung'e sebagai Raja Bone, kemudian disusul dengan pembentukan Dewan Penasehat Raja, yang disebut "Ade' Pitu'e" (Dewat Hadat Tujuh). Dengan bantuan Ade' Pitu'e ini, Raja Bone I membuat peraturan dan perundang-undangan bagi kerajaan.
Raja Bone I Manurung'e ri Matajang memerintah selama kurang lebih 40 tahun (1330-1370 M). Selama masa pemerintahannya, ketertiban dan keamanan rakyat pun terjamin.
Islamisasi di Kerajaan Bone
Proses Islamisasi yang terjadi di Kerajaan Bone memiliki kaitan erat dengan proses islamisasi yang sedang terjadi di Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa melakukan banyak pertempuran dengan semua kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan dalam rangka menyebarkan Islam.
Hal tersebut ditentang Kerajaan Bone, sebab dinilai memiliki motif politis agar Kerajaan Gowa dapat mengusai seluruh kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan. Alasan tersebut yang membuat Kerajaan Bone menolak masuk Islam.
Akhirnya, terjadi pertempuran sengit dalam sejarah Bone yang dikenal dengan "musu seleng'nge" atau perang pengislaman. Kerajaan Bone dikuasai oleh Kerajaan Gowa pada tahun 1611 M.
Kekuatan dan persenjataan yang tidak seimbang menyebabkan Bone dapat ditaklukkan dan telah memeluk Islam secara politik. Hal itu ditandai dengan adanya seluruh pembesar kerajaan dan seluruh raja negeri bawahan Bone (Arung Palili) untuk mengucapkan dua kalimat Syahadat.
Selepas kejadian tersebut dan di sepanjang pemerintahan Latenri Pali to Akkeppiang di tahun 1611 M hingga 1631 M, rakyat Bone menderita karena tekanan dari Gowa. Namun, semua berubah ketika Lamaddaremmeng berkuasa menggantikan pamannya di tahun 1625 M hingga 1640 M.
Raja Bone XIII tersebut sangat mengamalkan agama Islam. Beliau meneggakkan hukum Islam dengan menghukum pelaku zina, pencurian, minuman keras, penyembah berhala, dan berbagai kejahatan lain.
Gagasannya yang paling terkenal adalah penghapusan sistem perbudakan (ata') di Bone. Alasannya adalah sebab manusia dilahirkan bukan untuk perbudakan.
Gagasan ini yang membuat Kerajaan Gowa tidak senang dengan Kerajaan Bone. Kemudian melakukan serangan terhadap Kerajaan Bone dengan alasan untuk menegakkan ketertiban dan keamanan dalam negeri dan menentang penghapusan perbudakan.
Kerja Sama Arung Palakka dan VOC
Arung Palakka adalah Raja Bone yang paling terkenal dalam sejarah Sulawesi Selatan, nasional, bahkan dunia. Ia adalah raja yang bersekutu dengan Kompeni Belanda bersama Buton dalam upaya menaklukkan Gowa di masa pemerintahan Sultan Hasanuddin.
Dari sinilah, kemudian Arung Palakka dinilai pengkhianat karena bekerja sama dengan Belanda. Kerja sama tersebut dalam rangka usaha untuk membebaskan kerajaan-kerajaan Bugis dari penjajahan Gowa.
Peperangan antara Raja Bone Arung Palakka dengan Gowa di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin terjadi di tahun 1667 M. Peperangan tersebut membawa pada keruntuhan Kerajaan Gowa sebagai kerajaan yang tersohor di kawasan Timur Nusantara.
Perang Makassar di tahun 1667 M memaksa Gowa menyerah dan menandatangani isi Perjanjian Bongaya di tahun 1669 M. Latar belakang kerja sama antara Arung Palakka dan Kompeni Belanda/VOC inilah yang membuat Arung Palakka dinilai mengkhianati Indonesia.
Sementara di saat itu, Republik Indonesia belum lahir. Keberadaan kerajaan-kerajaanlah yang menjadi roda pemerintahan di seluruh penjuru Nusantara.
Runtuhnya Kerajaan Bone
Sejak runtuhnya kerajaan Gowa pasca Perjanjian Bongaya, Bone bangkit menjadi satu-satunya kerajaan yang berpengaruh besar di Sulawesi Selatan dan Timur Indonesia. Hal ini bahkan berlangsung hingga awal abad ke-20 M.
Di lain sisi, pihak Belanda yang ingin terus memperluas wilayah kekuasaannya, merasa terhalang dengan dominasi Kerajaan Bone. Akibatnya, terjadilah perang antara kedua belah pihak dari tahun 1824-1825 M.
Perang tersebut dipicu ketika Kerajaan Bone di bawah kepemimpinan I-Maneng Paduka Sri Ratu Sultanan Salima Rajiatuddin yang menggantikan Arung Palakka mencoba merevisi Perjanjian Bongaya beserta seluruh anggota persekutuan agar diberlakukan hukum yang sama. Namun hal itu, dinilai tidak memberikan keuntungan apa-apa kepada pihak Belanda.
Perang dalam usaha menaklukkan Kesultanan Bone sebagai pemimpin kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan terus dilakukan Belanda. Perang ini terus berlangsung hingga tahun 1905, yakni pada hingga masa pemerintahan Raja Bone ke-31 La Pawawoi Karaeng Sigeri.
Pada masa inilah Kerajaan Bone Runtuh. Raja La Pawawoi Karaeng Sigeri pun ditangkap dan diasingkan ke Bandung dan meninggal pada Januari 1911 M.
(urw/ata)