Raymond Paul Pierre Westerling, sosok kejam yang menoreh lembar kelam dalam sejarah Sulawesi Selatan (Sulsel). Ia merupakan tokoh utama dalam tragedi Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan pada periode Desember 1946 hingga Februari 1947.
Aksi kekejaman Westerling ini dilatarbelakangi oleh niat Belanda yang ingin kembali berkuasa di tanah Sulawesi, dengan membentuk Negara Indonesia Timur (NIT). Niat itu kemudian diwujudkan dengan menggelar Konferensi Malino pada 15-25 Juli 1946 kemudian dilanjutkan dengan Konferensi Denpasar pada 7-24 Desember 1946.
Konferensi tersebut diselenggarakan untuk membahas pembentukan negara-negara bagian yang berbentuk federasi di Indonesia serta rencana pembentukan NIT. Berbagai upaya dilakukan Belanda untuk mewujudkan berdirinya NIT dengan bernaung di bawah Kroon Ratu Belanda serta Perjanjian Linggarjati yang telah disetujui pada 15 November 1946. Yang mana dalam perjanjian tersebut, wilayah Sulawesi tidak diakui secara de facto sebagai bagian dari Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rencana pembentukan NIT saat itu ditentang oleh rakyat Sulsel. Mereka terima jika harus kembali berada di bawah kekuasaan Belanda dengan dibentuknya negara federal. Para warga di berbagai penjuru wilayah pun melakukan perlawanan. Perlawanan tersebut terjadi di hampir seluruh wilayah Sulsel dan pergerakannya kian gencar dari hari ke hari.(1)
Besarnya perlawanan rakyat di Sulsel membuat pihak Belanda yang bertugas kewalahan. Bahkan, Belanda menyebut kekacauan di Sulsel kala itu sebagai masa "Bersiap", yang merupakan masa dimulainya Perang Dekolonisasi Belanda.(2)
Westerling pun ditugaskan bersama 123 pasukannya ke Sulawesi untuk mengatasi situasi tersebut. Ia membawa misi untuk "Mengakhiri teror Partai Republik di Sulawesi Selatan dan memulihkan perdamaian". Teror yang dimaksud adalah gerakan dari para pejuang-pejuang kemerdekaan di Sulawesi Selatan.(3)
Langkah pertama Westerling adalah "Pembersihan Makassar". Ia dalam operasinya menggunakan metode menebar teror untuk menciptakan rasa takut di masyarakat. Ia bahkan menciptakan metode standrecht dalam menjalankan misinya.
Metode standrecht adalah mengumpulkan rakyat di tanah lapang, kemudian menyuruh mereka menunjuk pemuda yang merupakan pejuang. Tak ada pilihan "nyaman" bagi mereka yang dikumpulkan. Pasalnya, saat menjawab tidak tahu, Westerling dan pasukannya akan menembak mati mereka secara acak. Jika menunjuk, maka orang yang ditunjuk itulah yang akan ditembak mati.(4)
Meskipun kerap disebut korban Westerling di Sulsel mencapai 40.000 jiwa, hingga kini jumlah pastinya masih kontroversi. Ada banyak versi.
Yang paling terkenal adalah angka 40.000 jiwa. Ini angka yang diucapkan Kahar Muzakkar ketika menghadap presiden Soekarno di Yogyakarta tahun 1947.(5)
Jumlah ini dibantah sendiri oleh Westerling. Dalam buku autobiografinya, ia mengaku hanya membunuh 600 orang.(6) Sementara, menurut penelitian Angkatan Darat yang dilakukan pada 1950-an, jumlah korban sebanyak 1.700 orang.
Tahun 1969, Pemerintah Belanda juga melakukan pemeriksaan. Diperkirakan angka kematian akibat pembantaian sebanyak 3.000 orang. Data ini disebutkan dalam buku yang berjudul Tragedi Westerling Sang Pembantai Rakyat Indonesia.
Versi terakhir berasal dari Anhar Gonggong, sejarawan yang ayahnya juga turut menjadi korban pembantaian. Ia menyebut angka 10.000 sebagai jumlah korban dari pembantaian yang dilakukan Westerling bersama pasukannya.(7)
Meski begitu, angka 40.000 lah yang kini terpatri sebagai simbol kekejaman Westerling di Sulsel. Angka tersebut dicantumkan dalam nama peringatan yakni Hari Korban 40.000 Jiwa, yang diperingati pada 11 Desember setiap tahunnya di Sulsel.
Tak hanya hari peringatan, jumlah ini juga abadi tercantum dalam nama monumen. Konon kelima monumen itu dibangun di atas tanah bekas lokasi pembantaian pasukan Westerling. Monumen itu diberi nama Monumen Korban 40.000 Jiwa.
Ada 5 monumen yang tersebar di Sulsel. Yakni di Makassar, Bulukumba, Mandar (dulu bagian Sulsel), dan dua monumen di Parepare.
Nah untuk mengetahui lebih lengkap jejak kekejaman Westerling di Sulawesi Selatan, berikut beberapa artikel terkait:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Sumber:
1. Buku Sulawesi Selatan Berdarah
2. Jurnal Universitas Indonesia berjudul "Raymond Westerling's Representation of De Turk Character in The Film "De Oost""
3. Situs resmi Resources Huygens Instituut
4. Monumen Sejarah Perjuangan Bangsa di Daerah Sulawesi Selatan yang Diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1995.
5. SOB 11 Desember sebagai Hari Korban 40.000 Sulawesi Selatan, Tim Penelitian Sejarah Perjoangan Rakyat Sulsel Kerjasama Kodam XIV Hasanuddin, Unhas dan IKIP U.P
6. Buku Autobiografi Raymond Westerling berjudul "Challenge to Terror"
7. Tragedi Westerling Sang Pembantai Rakyat Indonesia oleh Agus N. Cahyo
(urw/urw)