Napak Tilas Pembantaian Raymond Westerling di Sulsel-Ditangkap di Singapura

Liputan Khusus

Napak Tilas Pembantaian Raymond Westerling di Sulsel-Ditangkap di Singapura

Urwatul Wutsqaa - detikSulsel
Selasa, 12 Des 2023 11:59 WIB
Monumen Korban 40.000 Jiwa di Makassar
Monumen Korban 40.000 Jiwa di Makassar (Foto: Siar/detikSulsel)
Makassar -

Desember 1946, setahun lebih pascaproklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, rakyat di Sulawesi Selatan (Sulsel) masih tertatih-tatih mempertahankan kemerdekaan yang berusaha direnggut Belanda. Pasukan khusus Belanda pimpinan Raymond Paul Pierre Westerling membantai secara brutal rakyat dan pejuang Sulsel. Korbannya disebut mencapai 40.000 orang.

Tragedi berdarah tersebut bermula ketika rakyat Sulsel menolak keinginan Belanda membentuk Negara Indonesia Timur (NIT). Dalam misi mempertahankan kemerdekaan, para pejuang di Sulawesi Selatan membentuk sejumlah organisasi perjuangan seperti Kebangkitan Rakyat Sulawesi (KRIS), Harimau Indonesia (HI), Lipang Bajeng, Laptur (Laskar Pemberontak Turatea), PPNI, dan berbagai organisasi lainnya dengan tujuan yang sama.

Dengan keberaniannya, para pejuang yang tergabung dalam organisasi kelaskaran berhasil merampas sebanyak 160 pucuk senjata dari Jepang. Mereka berpencar ke beberapa perkampungan seperti Binamu, Tinggimoncong, Lombasang, Limbung, Palekko, Pattallassang, Bangkala, dan perkampungan lainnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pasukan Lipang Bajeng, salah satu organisasi kelaskaran yang melakukan perlawanan terhadap Belanda.Pasukan Lipang Bajeng, salah satu organisasi kelaskaran yang melakukan perlawanan terhadap Belanda. (Foto: Repro buku 'Sulawesi Selatan Berdarah')

Demi memperkuat pertahanan, pada Juni 1946 semua organisasi kelaskaran pejuang Sulsel berkumpul untuk melaksanakan sidang di Polongbangkeng Takalar. Mereka sepakat menyatukan seluruh organisasi kelaskaran dengan nama LAPRIS (Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi).

LAPRIS diketuai Ranggong Daeng Romo, wakil ketua R. Endang, dan kepala staf Wolter Monginsidi. Ketiganya membawahi 3.500 pasukan. Perlahan-lahan, jumlah senjata Lapris terus bertambah.

ADVERTISEMENT

Di sisi lain, Belanda yang ingin membentuk Negara Indonesia Timur mengadakan Konferensi Malino pada 15-25 Juli 1946. Tujuannya membahas rencana pembentukan negara-negara bagian yang berbentuk federasi di Indonesia serta rencana pembentukan Negara Indonesia Timur.

Tak hanya sampai di situ, Belanda kembali menggelar Konferensi Denpasar pada 7-24 Desember 1946 yang merupakan lanjutan dari Konferensi Malino. Tujuannya masih sama, persiapan pembentukan Negara Indonesia Timur.

Dalam mewujudkan ambisinya mendirikan negara federasi, Belanda bernaung di bawah Kroon Ratu Belanda dengan naskah Linggarjati yang telah disetujui pada 15 November 1946. Perjanjian itu mengakui secara de facto bahwa wilayah Republik Indonesia hanya Jawa, Madura, dan Sumatera. Sementara sisanya termasuk Sulawesi adalah de facto Belanda.

Wilayah Sulawesi yang tidak diakui secara de facto sebagai bagian dari Indonesia membuat rakyat Sulawesi semakin gencar melakukan perlawanan. Mereka tidak terima jika harus kembali berada di bawah kekuasaan Belanda.

Akhirnya, perlawanan rakyat di Sulawesi Selatan akan berdirinya Negara Indonesia Timur mendapat reaksi keras dari Belanda. Mereka yang pro Republik Indonesia dianggap sebagai pemberontak dan dicap sebagai ekstrimis.(1)

Awal Mula Westerling Dikirim ke Makassar

Perlawanan oleh rakyat Sulsel yang begitu gencar membuat para pejabat Belanda mulai merasa kewalahan. Mereka meminta bantuan kepada pimpinan militer Belanda di Jakarta. Belanda memutuskan mengirim pasukan khusus dari DST (Depot Speciale Troepen) pimpinan Raymond Westerling.

5 Desember 1946, Raymond Westerling mendarat di Makassar. Tapi sebelumnya sudah ada anak buah Westerling yang tiba lebih dulu dan melaksanakan tugas intelijen melacak keberadaan pimpinan perjuangan republik serta para pendukung mereka.(2)

Sulsel Dinyatakan Darurat Perang

Eman hari berselang sejak kedatangan Westerling di Makassar tepatnya pada tanggal 11 Desember 1946, Afdeling Makassar, Adeling Bonthain (sekaranng Bantaeng), Afdeling Parepare dan Afdeling Mandar dinyatakan dalam keadaan darurat perang atau SOB (Staat van Oorlog en Beleg). Dengan demikian, wilayah-wilayah yang masuk dalam 4 afdeling tersebut berlaku Stand Retch (tentara dan polisi Belanda berhak menembak setiap orang yang dicurigai di tempat, tanpa suatu proses hukum).

Karena dilindungi status SOB tadi, sang algojo negeri Kincir Angin semakin leluasa menjalankan aksinya. Bersamaan dengan dikeluarkannya SOB, Westerling dengan kekuatan 123 serdadu baret hijau memulai Dooden Mars-nya di wilayah Makassar dan sekitarnya.

Aksi berdarah Westerling dan pasukannya sebenarnya sudah dimulai lebih dulu saat ia mulai melaksanakan tugasnya pada tanggal 7 Desember 1946. Hanya saja, tindakan Dooden Mars-nya baru dimulai pada 11 Desember setelah Sulsel dinyatakan dalam keadaan SOB.(3)

Satu-satunya daerah yang selamat dari pembantaian Westerling di Sulsel adalah Afdeling Bone. Hal ini karena Andi Pabbenteng yang diangkat CONICA (Commanding Officer Netherlands Indies Civil Administration) menjadi Raja Bone pada 19 Juni 1946 mengusir orang-orang pro republik dan pemuda keluar dari Afdeeling Bone.(1)

Operasi Militer Pertama Westerling di Makassar

Pasukan Westerling menggiring saat warga menuju tempat eksekusi.Pasukan Westerling yang membantai warga di Sulsel (Foto: Repro buku 'Sulawesi Selatan Berdarah')

Di wilayah Makassar, aksi pembantaian Westerling bersama pasukannya berlangsung dalam beberapa operasi militer. Peristiwa berdarah itu dimulai sejak dikeluarkannya status SOB pada Desember 1946 hingga Februari 1947.(1)

Desa Batua serta beberapa desa kecil di sebelah timur Makassar menjadi sasaran pertama operasi pasukan DST. Pembantaian di lokasi tersebut berlangsung pada tanggal 11 menjelang 12 Desember 1946 dengan dipimpin langsung Westerling.

Fase Pertama

Dimulai pada fase pertama sekitar pukul 4 pagi, Westerling bersama pasukannya mengepung wilayah-wilayah tersebut. Pukul 05.45 pagi rumah-rumah penduduk digeledah, mereka digiring ke Desa Batua. Pada fase tersebut, 9 orang warga yang mencoba melarikan diri langsung ditembak mati.

Setelah berjalan kaki beberapa kilometer, sekitar pukul 08.45 pagi, seluruh penduduk telah terkumpul di Desa Batua. Menurut laporan Westerling, jumlahnya antara 3.000-4.000. Perempuan dan anak-anak dipisahkan dari pria.

Fase Kedua

Aksi pembantaian terus berlanjut, di fase kedua Westerling dan pasukannya mencari kaum ekstremis, perampok, penjahat, dan pembunuh. Westerling telah memegang nama-nama pemberontak yang sebelumnya disusun oleh Vermeulen, anak buahnya yang telah tiba di Makassar lebih dulu dan langsung melakukan tugas intelijen.

Kepala adat dan kepala desa diminta membantu mengidentifikasi nama-nama yang dikantongi Westerling. Sebanyak 35 orang yang dituduh sebagai kaum pemberontak langsung dieksekusi di tempat. Westerling menyebutkan bahwa 35 orang yang dihukum itu terdiri dari 11 ekstremis, 23 perampok, dan seorang pembunuh.

Fase Ketiga

Di fase ketiga, Westerling dan pasukannya menjalankan aksinya dengan menyebar ancaman kepada rakyat untuk tindakan di masa depan. Sang algojo Belanda melakukan penggantian kepala desa serta membentuk polisi desa untuk melawan kelompok-kelompok yang disebutnya pemberontak, teroris, dan perampok. Aksi ini berlangsung dari pukul 04.00 hingga pukul 12.30 dengan total 44 orang tewas.

Tak berhenti di sampai di situ, dengan pola yang sama, pembantaian kembali dilanjutkan oleh Westerling dan pasukannya. Pada malam tanggal 12 menjelang 13 Desember 1946, Westerling memimpin langsung operasi di Desa Tanjung Bunga. 61 Orang ditembak mati dalam operasi tersebut.

Beberapa kampung kecil di sekitar Desa Tanjung Bunga juga dibakar oleh Westerling. Korban tewas seluruhnya dalam operasi tersebut berjumlah 81 orang.

Selanjutnya pada malam tanggal 14 menjelang 15 Desember, operasi kembali dilanjutkan di Kalukuang, sebuah kampung yang terletak di pinggiran Kota Makassar. 23 Warga meregang nyawa dalam pembantaian tersebut.

Wilayah tersebut menjadi sasaran karena menurut laporan intelijen mereka, Wolter Monginsidi dan Ali Malaka yang diburu oleh tentara Belanda berada di wilayah ini. Namun keduanya tidak ditemukan dalam operasi tersebut.

Versi lainnya yang tercatat dalam Sejarah Perjuangan Angkatan 45 di Sulsel menyebutkan bahwa operasi Westerling di kampung Kalukuang (sekarang lokasi Monumen Peristiwa Korban 40.000 Jiwa dan sekitarnya) terjadi pada 11 Desember 1946. Semua penduduk dewasa pria dikumpulkan di lapangan.

Dalam operasi yang dipimpin langsung oleh Westerling, semua korban ditembak mati tanpa terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan. Pada malam tanggal 16 menjelang tanggal 17 Desember, giliran Desa Jongaya yang terletak di sebelah tenggara Makassar yang menjadi sasaran. Di tempat ini, sebanyak 33 orang dieksekusi.

Operasi Militer Kedua, Westerling Keluar Makassar

Monumen Korban 40.000 Jiwa di MakassarMonumen Korban 40.000 Jiwa di Makassar yang meggambarkan kekejaman westerling membantai 40.000 jiwa di Sulsel (Foto: Urwatul Wutsqaa/detikSulsel)

Setelah menyelesaikan misi pembersihan di wilayah Makassar, Westerling bersama pasukannya melanjutkan aksi tahap kedua ke luar wilayah Makassar. Operasi militer lanjutan ini dimulai tanggal 19 Desember 1946.

Kali ini wilayah Polobangkeng (Takalar) yang terletak di selatan Makassar yang menjadi sasarannya. Selain pasukan DST pimpinan Westerling, 11 peleton tentara KNIL dari Pasukan Infanteri XVII turut terlibat dalam operasi tersebut.

Letkol KNIL Veenendaal memimpin penyerbuan. Satu pasukan DST di bawah pimpinan Vermeulen menyerbu desa Renaja dan Komara, sementara pasukan lain mengurung Polobangkeng. Dalam penyerbuan ini Westerling menerapkan pola yang sama dengan gelombang sebelumnya. Total 330 orang rakyat tewas dibunuh.

Operasi Militer Tahap Ketiga

Wilayah Gowa menjadi sasaran operasi militer tahap ketiga Westerling. Dalam aksi yang berlangsung mulai 26 Desember 1946, Westerling melakukan penyerangan dalam tiga gelombang, yakni tanggal 26 dan 29 Desember, serta 3 Januari 1947.

Demi melancarkan aksinya, pasukan khusus DST kembali bekerja sama dengan pasukan KNIL. Sebanyak 257 penduduk dilaporkan tewas dalam aksi tersebut. Tak hanya itu, sejumlah tokoh masyarakat juga tercatat menjadi korban dalam operasi tahap ketiga ini.

Februari 1947, aksi pembantaian Westerling kembali dilanjutkan ke wilayah lainnya seperti Parepare hingga Pinrang. Salah satu tokoh pejuang, Andi Abdullah Bau Masseppe yang merupakan Pendiri Badan Perjuangan Rakyat Republik Indonesia (BPRI) Parepare tahun 1945 turut menjadi korban pembantaian Westerling.

Monumen Korban 40.000 Jiwa di ParepareNama-nama pejuang yang gugur dalam pembantaian Westerling tercatat di Monumen Korban 40.000 Jiwa Parepare. (Foto: Muhclis Abduh/detikSulsel)

Bau Massepe bersama sejumlah pejuang ditembak mati pasukan Westerling pada 2 Februari 1947 di Pinrang, termasuk Pimpinan Gerakan Pemuda Tanete (GPT) di Barru Andi Abdul Muis La Tenridolong. Sebelum menyerang ke wilayah Parepare, Westerling bersama pasukannya terlebih dahulu membakar rumah dan menembak banyak rakyat di Suppa, Pinrang.

Pembantaian di Mandar Menelan Korban Paling Banyak

Taman Makam Pahlawan Korban 40.000 Jiwa di Polman, Sulbar.Taman Makam Pahlawan Korban 40.000 Jiwa di Polman, Sulbar. (Foto: Abdy Febriady/detikcom)

Ribuan nyawa yang dihabisi di Sulsel tak lantas membuat Westerling berhenti begitu saja. Bersama pasukannya, Westerling kembali melakukan pembantaian di wilayah Polewali Mandar Sulawesi Barat yang dikenal dengan peristiwa maut Gulung Lombok. Mandar saat itu masih menjadi bagian dari Sulawesi Selatan.

Peristiwa berdarah ini terjadi pada tanggal 2 Februari 1947. Peristiwa maut Galung Lombok disebut-sebut menjadi peristiwa pembantaian Westerling yang menelan korban jiwa terbesar dari semua daerah lain yang telah dibantai.

Selain menimbulkan korban jiwa paling banyak, orang-orang yang menjadi korban juga merupakan tokoh-tokoh penting perjuangan, di antaranya adalah M. Joesoef Pabitjara Baroe (anggota Dewan Penasihat PRI) bersama dengan H. Ma'roef Imam Baroega, Soelaiman Kapala Baroega, Daaming Kapala Segeri, H. Nuhung Imam Segeri, H. Sanoesi, H. Dunda, H. Hadang, dan Muhamad Saleh.

Seluruh korban yang dibantai secara massal belum termasuk korban yang dibantai habis di tempat lain. Beberapa korban ada yang diambil dari tangsi Majene lalu dibawa ke Galung Lombok untuk dieksekusi.(2)

Westerling Mendirikan dan Memimpin Pemberontakan APRA

Usai menuntaskan misinya di Sulawesi, Westerling keluar dari dinas militer Belanda. Ia kemudian mendirikan pasukan lain di Jawa Barat yang dikenal dengan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil). Kelompok yang terdiri dari orang-orang yang setia dengan Westerling ini dibentuk untuk melakukan pemberontakan terhadap Republik Indonesia dan mendukung terbentuknya Negara Pasundan, salah satu negara federal Belanda.

Pasukan APRA yang dibentuk Westerling melakukan pemberontakan dengan menyerang markas TNI dan mengadakan keonaran di Kota Bandung dan sekitarnya. Akan tetapi, aksi Westerling bersama APRA tidak berlangsung lama karena pemberontakan tersebut langsung berupaya dibubarkan oleh Pemerintah Indonesia dengan mengerahkan kekuatan TNI dari wilayah Jawa Barat dan Sekitarnya.

Kaburnya Westerling Dibantu Pemerintah Belanda

Raymond Paul Pierre Weterling, saat ditemui wartawan Sinar Harapan Panda Nababan pada November 1979.Raymond Paul Pierre Weterling, saat ditemui wartawan Sinar Harapan Panda Nababan pada November 1979. (Foto: Repro buku 'Panda Nababan Lahir Sebagai Petarung' jilid 1)

Setelah upayanya melakukan pemberontakan di Jawa Barat gagal, Westerling berupaya melarikan diri ke Belanda. Dia tidak ingin ditangkap pasukan TNI yang mencarinya. Di sisi lain, pemerintah Indonesia yang mengetahui apa yang terjadi di Sulawesi Selatan juga berupaya melakukan tindakan penangkapan terhadap Westerling dan tentara Belanda yang terlibat dalam pembantaian sadis tersebut.

Pemerintah Belanda berupaya menyembunyikan Westerling dan pasukannya agar tidak tertangkap dan diadili oleh Indonesia. Pasalnya, hal itu akan mengganggu hubungan diplomasi antara Indonesia-Belanda dan dunia Internasional akan sangat mengecam Pemerintah Belanda.

Dalam misi penyelamatan, Pemerintah Belanda lalu memecat Westerling dari satuan militer Belanda dan mengubah komposisi pasukan DST serta merubah nama pasukan Depot Speciale Troepen menjadi Korps Speciale Troepen (KST), lalu diubah lagi menjadi Regiment Speciale Tropen (RST). Cara ini dilakukan agar Westerling dan pasukan yang setia tidak ditangkap dan diadili.

Pasukan khusus yang setia dipindahkan ke Papua Barat untuk selanjutnya dipulangkan ke Belanda. Selanjutnya militer Belanda berusaha untuk mengeluarkan Westerling dari Indonesia. Proses ini dilakukan dengan bantuan militer, sebab dikhawatirkan tidak akan berhasil jika menggunakan operasi biasa.

22 FebruarI 1950, Westerling diterbangkan ke Singapura menggunakan Pesawat Catalina milik Marine Luchtvaart Dienst (Dinas Militer Angkatan Laut Belanda) berkat upaya Mayor Jenderal Van Langen dan Jenderal Buurman Van Vreeden. Setibanya di Singapura, Westerling langsung ditangkap oleh Tentara Inggris.

Pemerintah Indonesia yang mengetahui hal tersebut lantas mengajukan permintaan agar Westerling diekstradisi ke Indonesia. Akan tetapi, permintaan tersebut ditolak oleh Pengadilan Tinggi Singapura dan Westerling pun dibebaskan.(4)

Referensi:

1. Sulawesi Selatan Berdarah
2. Tragedi Westerling
3. Meniti Siri' dan Harga Diri oleh Andi Mattalatta
4. Raymond Paul Pierre Westerling Slaughter In South Sulawesi Effort As a Starting The Dutch State Indonesia East (1946-1947) oleh Rafi Zain Yusuf, dkk




(urw/nvl)

Koleksi Pilihan

Kumpulan artikel pilihan oleh redaksi detiksulsel

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads