Di hari itu, pukul 05.00 Wita, Atmadja yang tengah tertidur dikagetkan suara massa yang bergemuruh di luar rumahnya. Ia lantas melompat dari tempat tidur dan menuju serambi untuk memastikan apa yang terjadi. Pemandangan yang mengejutkan pun menyapa mata Atmadja yang baru saja terjaga. Seluruh penduduk kampung digiring oleh serdadu-serdadu Belanda dan Indonesia (Inlander) ke sebuah tanah lapang yang letaknya tidak jauh dari kediamannya.
Belum reda kaget yang dirasakan Atmadja, beberapa serdadu Belanda dengan bayonet terhunus memasuki rumahnya. Mereka memerintahkan seisi rumah termasuk Atmadja untuk keluar.
"Tidak seorang dari kami mendapat kesempatan untuk berpakaian baik sarung ataupun lainnya, sebab jika kami tidak segera meninggalkan rumah akan mungkin kami ditembak di tempat itu juga," ucap Atmadjaya mengenang situasi saat itu.
Kenangan kelam Atmadjaya tentang peristiwa pembantaian Westerling pertama kali dimuat oleh surat kabar Vrije Nederlands pada 5 Juli 1947. Pernyataan Atmadjaya ini kemudian dilampirkan dalam buku "Sejarah Perjuangan di Daerah Sulawesi Selatan" halaman 18-19, yang diterbitkan Departeman Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1995.
Di pagi itu, warga yang tengah sembahyang atau sedang berada di jamban sekalipun dipaksa untuk segera ikut oleh para serdadu. Tidak ada yang berani membantah. Jangankan membersihkan diri, sebagian besar dari warga yang digiring bahkan dalam kondisi setengah telanjang.
![]() |
Atmadja yang ikut digiring melihat telah berkumpul 500 orang yang tergabung dari laki-laki, perempuan dan anak-anak di tanah lapang. Mereka diperintahkan untuk berjongkok. Sebuah senjata mitraliur dihadapkan kepada Atmadjaya dan warga lainnya. Tidak ada yang boleh bergerak ataupun berbicara.
Beberapa serdadu yang dilengkapi dengan bayonet berjaga mengelilingi para warga yang berjongkok. Sekitar pukul 07.00 pagi, Atmadjaya dan seluruh warga diarahkan untuk ke tanah lapang lainnya, lokasinya sekitar 500 meter dari tempat awal. Tetapi, perempuan dan anak-anak diarahkan ke tempat yang berbeda. Khusus anak-anak piatu, mereka ikut dengan rombongan laki-laki dewasa. Di tanah lapang yang kedua, Atmadja memperkirakan ada 1.000 orang yang terkumpul.
"Maka dengan begitu pada rombongan saya terdapat anak-anak laki umur 10 tahun dengan harus ikut mengerjakan semuanya di tanah lapang yang kurang lebih 1.000 orang," terang Atmadja.
![]() |
Atmadja dan para warga lainnya kemudian diperintahkan untuk membentuk barisan setengah lingkaran. Di tanah lapang yang kedua ini, ia melihat banyak pula warga yang masih mengenakan celana pendek. Seperti sebelumnya, mereka tetap dijaga para serdadu bersenjata mitraliur.
Ternyata tempat kedua ini bukanlah tujuan akhir. Sepuluh menit kemudian ia dan seluruh warga dipindahkan ke tempat lapang lainnya, kurang lebih 1 km jaraknya dari tempat kedua.
"Tempat kedua ini terletak di antara kampung Tamadjene dan Malimongan Baru, ketika kami tiba di tempat ini, saya melihat mayat seorang dan macam-macam orang yang diikat, yang tidak seorangpun yang saya kenal," ujarnya.
Di tempat ketiga ini orang-orang yang dikumpulkan berasal dari kampung Rappokaling, Rappodjawa, Tamajene, Kalukuang, Kalubodoa, dan Malimongan Baru. Menurut taksiran Atmadja, kurang lebih 7.000 orang yang ada di tanah lapang tersebut. Kumpulan warga ini diamati oleh kurang lebih 50 serdadu Belanda dan Inlander. Wajah para serdadu dibikin hitam kecuali 3 orang.
Lanjut Atmadja, seorang opsir Belanda berjalan di antara kumpulan warga dan berteriak menyuruh siapapun di antara mereka untuk menunjuk yang merupakan pejuang kemerdekaan. Namun, baik Atmadja maupun warga lainnya tidak ada yang menjawab.
Mereka lantas memerintahkan Atmadja dan warga lainnya melihat menengadah. Atmadja melihat beberapa serdadu membawa orang-orang yang diikat berjalan mengelilingi mereka. Kemudian salah seorang dari serdadu Belanda kembali berteriak "Siapa mengenal Ali Malaka dan Mustafa (Anggota Pimpinan Gerilya H.I dari W. Monginsidi)?". Lagi-lagi semua terdiam dan tak ada jawaban memuaskan yang didapat oleh serdadu Belanda.
"Sebab memang yang dicari itu tidak kami kenal," kata Atmadja.
![]() |
Kemudian si serdadu melanjutkan dengan ancaman, jika tidak ada yang mengenal Ali Malaka dan Mustafa maka tiga orang di antara mereka akan ditembak mati. Tak hanya menggertak, ancaman itu pun segera dilakukan.
"Memang benar tiga orang dari gerombolan kami itu yang ketiganya tidak kami kenal, ditarik keluar dan dua di antaranya ditembak di depan mata kami, yang ketiganya ini dikembalikan lagi dalam gerombolan kami," kenang Atmadja.
Tak sampai di situ, serdadu-serdadu kemudian menembak mati satu persatu dari orang-orang yang berkumpul di tanah lapang itu. Atmadja melihat dengan mata kepalanya sendiri 6 orang ditembak mati.
Tak lama, para warga harus membuka barisan untuk memberi jalan kepada seorang anak 13 tahun. Anak itu lantas berjalan dan menunjuk orang-orang di dalam barisan. Mereka yang ditunjuk oleh anak itu ditarik keluar dari barisannya, kemudian ditembak mati.
"Begitu berjalan seterusnya sehingga di depan kita kurang lebih 100 orang ditembak mati," tutupnya.
![]() |
Dalam buku Sulawesi Selatan Berdarah yang disusun oleh Lembaga Kajian Sejarah Budaya Sulawesi Selatan, disebut bahwa dari sekian banyak orang yang digiring Westerling ke tanah lapang dan disapu bersih dengan senjata, Atmadja menjadi salah satu yang selamat dari maut. Ia selamat lantaran tubuhnya basah kuyup terkena cipratan darah orang-orang yang tertembak di sekitarnya.
Atmadja lantas berpura-pura mati. Ia lolos dari sasaran peluru Westerling dan pasukannya kala itu.
Setelah Westerling meninggalkan lokasi, Atmadja bangun dan meminta tolong pada sang ibu untuk disembunyikan ke tempat aman. Dari persembunyiannya yang aman, Atmadja mengirim surat rahasia kepada Ratu Belanda kala itu, judulnya "Massacre Macassar" yang artinya "Pembantaian di Negeri Makassar". Ia menceritakan pengalamannya saat digiring Westerling dan pasukannya untuk ditembak secara massal.
Tragedi Pembantaian Westerling dan Peringatan Hari 40.000 Jiwa di Sulsel
![]() |
Tragedi Pembantaian Westerling menjadi catatan sejarah kelam bagi Sulawesi Selatan. Kini tragedi tersebut diperingati sebagai Hari Korban 40.000 Jiwa setiap 11 Desember di Sulsel.
Dirangkum dari buku "Sejarah Perjuangan di Daerah Sulawesi Selatan", tragedi berdarah ini bermula ketika rakyat Sulsel menolak keinginan Belanda untuk berkuasa kembali di tanah Sulawesi. Dalam upaya mempertahankan kemerdekaan para pejuang di Sulsel membentuk sejumlah organisasi kelaskaran.
Besarnya perlawanan di Sulawesi Selatan membuat pihak Belanda di Makassar kewalahan dan akhirnya meminta bantuan militer kepada pemerintah Belanda di Batavia (saat ini Jakarta). Pasukan khusus Depot Speciale Troepen (DST) dengan komandan Raymond Westerling dikirim.
Westerling dan 123 pasukannya tiba di Makassar pada 5 Desember 1946. Tugas dari Belanda, mereka wajib membinasakan dan membersihkan para pejuang di Makassar dan sekitarnya. Westerling yang punya kuasa penuh menggunakan kekerasan militer. Ia berlasan, kekuatan Belanda akan semakin lemah jika tidak menggunakan kekerasan Militer. Alasan itu mendapat lampu hijau dari Pemerintah Belanda di Batavia.
Pada 11 Desember 1946, Pemerintah Belanda mengumumkan "Keadaan Perang dan Darurat" atau "Staat van Oorlog en van Beleg (SOB)" untuk wilayah Makassar, Bantaeng, Parepare, dan Mandar. Tapi dalam pratiknya, status ini diberlakukan untuk semua wiulayah di Sulawesi Selatan.
Westerling pun kian gencar melakukan aksi pembantaian, bukan hanya kepada para pejuang tetapi juga rakyat biasa yang ikut "tutup mulut". Ia juga menerapkan metode standrecht yang diciptakannya. Yakni mengumpulkan rakyat di tanah lapang, kemudian menyuruh mereka menunjuk pemuda yang merupakan pejuang. Saat menjawab tidak tahu, Westerling dan pasukannya akan menembak mati rakyat secara acak. Jika menunjuk, maka orang yang ditunjuk itulah yang akan ditembak mati.
Jumlah korban kekejaman Westerling disebut sebanyak 40.000 jiwa. Namun angka ini masih kontroversi hingga kini. Kendati demikian, Westerling membantah telah membantai 40.000 jiwa di Sulsel. Dalam buku otobiografinya "Challenge to Terror", Westerling menegaskan dalam aksi "pembersihan" di Sulsel ia hanya bertanggung jawab tidak lebih dari 600 nyawa.
Namun, angka 40.000 diabadikan sebagai simbol kekejaman Westerling di Sulsel. Angka ini terpatri sebagai nama hari peringatan, yakni "Hari Korban 40.000 Jiwa, juga menjadi nama monumen, hingga nama jalan di Makassar.
(alk/nvl)