Sejarah pembantaian Raymond Paul Pierre Westerling terhadap pejuang kemerdekaan Republik Indonesia di Sulawesi Selatan (Sulsel) pada periode Desember 1946 hingga Februari 1947 meninggalkan cerita kelam. Warga Sulsel memperingatinya setiap tanggal 11 Desember dengan Peringatan Korban 40.000 Jiwa, yang merujuk jumlah korban pembunuhan massal pasukan elite Belanda Depote Speciale Troepen (DST) pimpinan Westerling.
Jumlah 40.000 jiwa korban pembantaian Westerling di Sulsel seolah telah diakui secara resmi, dengan dibangunnya Monumen Korban 40.000 Jiwa di wilayah Pongtiku, Kota Makassar. Jalan di wilayah itu juga dinamai dengan Jalan Korban 40.000 Jiwa, yang bersambungan langsung dengan Jalan Poros Urip Sumoharjo.
Tak hanya di Kota Makassar, monumen sejarah Korban 40.000 Jiwa juga ada di Kota Parepare yakni di pusat kota di dekat Masjid Raya dan di Kecamatan Bacukiki, dan di Kabupaten Bulukumba. Di Polewali Mandar yang kini menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) terdapat monumen sejarah Korban 40.000 Jiwa, tepatnya di Desa Galung Lombok, Kecamatan Tinambung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setiap tahun di tanggal 11 Desember, Pemerintah Kota Makassar dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan pasti menggelar upacara resmi Peringatan Hari Korban 40.000 Jiwa Rakyat Sulsel di Monumen Korban 40.000 Jiwa. Biasanya, Gubernur Sulsel akan menjadi inspektur upacara dan memberikan sambutan resmi yang mengenang kembali korban 40.000 jiwa pembantaian Westerling. Jajaran Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kota Makassar dan Pemprov Sulsel hadir secara resmi di acara itu, baik itu Kapolda Sulsel hingga Kapolrestabes Makassar. Para veteran perang yang masih hidup pastinya diundang hadir.
Tapi, benarkah korban pembantaian Westerling di seluruh Sulsel mencapai 40.000 jiwa? Dari mana data itu berasal? Tidak ada yang bisa membuktikannya hingga hari ini.
Westerling Akui Jumlah Korban Pembantaian di Sulsel Hanya 600 Orang
Westerling semasa hidup pernah menuliskan sendiri otobiografinya berjudul Challenge to Terror, yang dimanfaatkannya untuk membantah pembantaian 40.000 jiwa rakyat Sulsel. Di halaman 110 buku tersebut dan dalam beberapa kali wawancara, Westerling menegaskan hanya membunuh 600 orang rakyat Sulsel selama operasi yang disebut Belanda "Pembersihan Celebes".
Westerling membela diri dengan menyebut jumlah korban 40.000 jiwa sebagai propaganda Pemerintah Indonesia di masa itu untuk menyerang dirinya. "Siaran (narasi) mereka membengkak dari dua puluh (ribu), kemudian menjadi tiga puluh ribu, dan akhirnya dalam propaganda mereka mengklaim bahwa saya telah membunuh tidak kurang dari empat puluh dua ribu orang. Angka-angka fantastis ini menjadi penyebab serangan terhadap saya yang bahkan sampai ke PBB," kata Westerling dalam otobiografinya Challenge to Terror halaman 110.(5)
![]() |
Sejarah Jumlah Korban 40.000 Jiwa Rakyat Sulsel Diungkap Kahar Muzakkar
Buku berjudul SOB 11 Desember 1946 sebagai Hari Korban 40.000 Sulawesi Selatan menerangkan, angka 40.000 tersebut secara historis diucapkan Kahar Muzakkar ketika menghadap kepada Presiden Soekarno di Yogyakarta tahun 1947. Saat itu Kahar Muzakkar dengan penuh emosi mengungkapkan betapa bengisnya pasukan Belanda pimpinan Westerling membantai rakyat Sulsel. Dia membandingkan Peristiwa Gerbong Maut di Bondowoso yang menyebabkan 46 orang gugur selalu dikoar-koarkan, sementara korban 4.000 orang di Sulsel dan malah mungkin 40.000 orang tidak diributkan sama sekali.
Bung Karno yang menerima laporan tersebut dibuat terkejut hingga bercucuran air mata. Sejak saat itu, istilah korban 40.000 diambil alih oleh Soekarno dan kerap disampaikan dalam pidato-pidatonya. Istilah itu digunakan untuk mengobarkan semangat perlawanan kepada para pemuda di seluruh penjuru tanah air.(1)
![]() |
Berbagai Versi Jumlah Korban Pembantaian Westerling di Sulsel
Sementara menurut penelitian Angkatan Darat Indonesia yang dilakukan pada tahun 1950an, jumlah korban tewas akibat kekejaman Westerling hanya 1700 orang.(2) Jumlah berbeda juga dimuat dalam buku berjudul Tragedi Westerling Sang Pembantai Rakyat Indonesia, yang menyebutkan berdasarkan pemeriksaan Pemerintah Belanda di tahun 1969, diperkirakan jumlah korban tewas akibat pembantaian pasukan Westerling sekitar 3.000 orang.(3)
Versi lain turut disampaikan sejarawan asal Pinrang, Sulawesi Selatan (Sulsel) Anhar Gonggong, yang menyebut 10.000 orang tewas dalam peristiwa pembantaian Westerling di Sulsel.(2) Beberapa keluarga Anhar seperti ayah, paman, kakak, dan sepupunya turut menjadi korban pembantaian Westerling.
Makna di Balik Angka 40.000 bagi Rakyat Sulsel
Meski jumlah pasti dari korban pembantaian Westerling masih kontroversi dan menjadi perbedaan pandangan para pakar sejarah, jumlah 40.000 jiwa yang diucapkan Kahar Muzakkar ke Soekarno akhirnya cukup dipercaya dan diabadikan. Versi ini sering dikutip dalam buku pelajaran sejarah tingkat SD-SMA.(2)
Di balik kontroversi jumlah, menurut falsafah Bugis-Makassar, angka 40.000 bukan sekedar makna kuantitatif yang menerangkan jumlah korban pembantaian Westerling di Sulsel. Ada makna kualitatif yang menerangkan angka 40.000 sebagai simbol perjuangan rakyat Sulawesi Selatan dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.(1)
Hal senada disampaikan pakar sejarah Universitas Hasanuddin (Unhas) Dr. Suriadi Mappangara, M.Hum. Dalam sebuah wawancara bersama detikSulsel, ia mengatakan jumlah korban 40.000 ini tak dapat dilihat dari angka semata, melainkan menjadi simbol perjuangan bagi rakyat Sulsel.
"Ini korban 40.000 jiwa tidak pada jumlahnya, dia lebih pada pemaknaan bahwa mereka ini memang berjuang," ujar Dr. Suriadi, Senin (4/12/2023).
Suriadi pun tak menampik bahwa jumlah 40.000 jiwa dari korban pembantaian Westerling belum bisa dibuktikan kebenarannya hingga hari ini. Kendati demikian tak sepatutnya kita menutup mata atas perjuangan luar biasa rakyat Sulsel dalam peristiwa berdarah tersebut.
"Terlepas dari jumlah korban yang tidak benar, kan kita harus melihat bagaimana perjuangannya," ujarnya.
![]() |
Buku SOB 11 Desember 1946 sebagai Hari Korban 40.000 Sulawesi Selatan menerangkan, angka 40.000 jiwa erat kaitannya dengan falsafah hidup dan budaya masyarakat Sulsel. Angka 40 ini menjadi sangat sakral karena dipercaya bersifat magis-religius.
Di Sulawesi Selatan, ada istilah "Tau As-sulapa-Appaka" yang digunakan untuk menggambarkan orang yang paling sempurna dan tangguh, yang bersifat religius, dan dipandang sebagai pemberani yang memiliki kesempurnaan ketahanan fisik dan mental.(1)
Istilah Sulapa Appaka atau Sulapa Eppa' (segi empat) secara sederhana menggambarkan tentang keseimbangan yang menjadi prinsip masyarakat Bugis-Makassar. Filosofi Sulapa Eppa' juga tergambarkan dalam motif sarung tenun khas Bugis, yang mana motif kosmik empat sisi kotak-kotak dimaknai sebagai representasi harmoni manusia dengan empat unsur kehidupan, yaitu tanah, api, udara, dan air.(4)
Kemudian jika ada kematian, digunakan istilah bangi/allo patampullonatau matea. Istilah tersebut digunakan untuk peringatan malam atau hari ke-40 setelah kematian seseorang.
Tak hanya itu, dalam kepercayaan Islam masyarakat Bugis, khususnya bagi golongan Islam Patareka, ada yang disebut dengan sifat-sifat wajib dan mustahil Allah yang berjumlah 40. Demikian juga dengan istilah Nabbi Patampulona.
Selain istilah-istilah tersebut, ada banyak hal lainnya yang bersifat magis-religius yang memiliki keterkaitan dengan angka empat atau empat puluh. Jika ditarik ke masa perjuangan, angka 40.000 ini tentunya memiliki arti yang sangat penting bagi perjuangan rakyat Sulsel membela tanah air dan dalam usaha mengobarkan semangat juang dan patriotisme bangsa Indonesia.(1)
Referensi:
1. SOB 11 Desember 1946 sebagai Hari Korban 40.000 Sulawesi Selatan
2. Rihlah Jurnal Sejarah dan Kebudayaan UIN Alauddin Makassar
3. Tragedi Westerling Sang Pembantai Rakyat Indonesia oleh Agus N. Cahyo
4. Sulapa Eppa: Bissu, Kosmologi Bugis, dan Politik Ekologi Queer oleh Feby Triadi dan Petsy Jessy Ismoyo
5. Challenge to Terror oleh Raymond Westerling
(urw/nvl)