Pembantaian 40.000 Jiwa Westerling, Sejarawan Ungkap Banyak Korban di Mandar

Sulawesi Barat

Pembantaian 40.000 Jiwa Westerling, Sejarawan Ungkap Banyak Korban di Mandar

Abdy Febriady - detikSulsel
Senin, 11 Des 2023 20:00 WIB
Taman Makam Pahlawan Korban 40.000 Jiwa di Polman, Sulbar.
Foto: Taman Makam Pahlawan Korban 40.000 Jiwa di Polman, Sulbar. (Abdy Febriady/detikcom)
Polewali Mandar -

Hari Peringatan Korban 40.000 Jiwa yang diperingati tiap 11 Desember merupakan peristiwa pembantaian pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Raymond Paul Pierre Westerling di Sulawesi Selatan (Sulsel). Korban disebut-sebut paling banyak di daerah Mandar, Sulawesi Barat (Sulbar). Kala itu Mandar masih menjadi bagian dari Sulsel.

Sejarawan Mandar Ahmad Asdi mengungkapkan, korban pembantaian Westerling masih kontroversial lantaran banyak versi yang menceritakan jumlah dan sebarannya. Namun dua tokoh pejuang wanita dari Sulbar, yakni Maemunah dan Andi Depu menyebut korban terbanyak dari berada berada Galung Lombok, Kecamatan Tinambung, Polewali Mandar (Polman). Kini lokasi itu menjadi Monumen Korban 40.000 Jiwa di luar Sulsel.

"Itu data korban pembantaian kurang lebih dua versi, menurut catatan Maemunah lebih 600 (korban) tapi catatan Ibu Depu (Andi Depu) lebih 1.000 (korban). Itu yang dibantai di sana (Galung Lombok), paling banyak orang Tinambung, kemudian dari Banggae Majene itu banyak sekali," kata Ahmad saat dikonfirmasi wartawan, Senin (11/12/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Atas hal itulah, wilayah Galung Lombok menjadi pusat pemakaman korban Westerling yang kini dikenal Taman Makam Pahlawan Korban 40.000 Jiwa Galung Lombok. Ahmad mengatakan kebanyakan korban pembantaian tidak dikubur dengan layak.

"Memang di situlah letak lokasi pembantaiannya, orang itu di tanam di kubangan kerbau. Digali-gali sedikit saja menggunakan peralatan apa adanya, kemudian ditimbun lah mereka. Tidak dikebumikan selayaknya," ujar Dosen Institut Agama Islam (IAI) Darul Da'wah Wal Irsyad (DDI) Polman ini.

ADVERTISEMENT

Ahmad mengungkapkan, Galung Lombok mulanya menjadi sasaran Belanda karena dianggap menjadi tempat persembunyian para pejuang kemerdekaan. Penjajah mencoba melancarkan tipu daya dengan maksud memancing pejuang menyerahkan diri.

"Sebenarnya tujuan Belanda untuk memancing para pejuang keluar dari sarangnya, karena disangka di sana ada sarangnya," ujarnya.

Dalam operasi di Mandar antara Desember 1946-Februari 1947, pasukan elite Depote Speciale Troepen (DST) di bawah komando Westerling membunuh warga secara bertahap. Para tawanan diancam untuk mengungkap keberadaan para pejuang sebelum dibunuh satu per satu.

"Tidak ditembak sekaligus, bertahap, ada yang ditembak 45 orang dulu, 7 orang bahkan ada yang tiga orang. Dipaksa mengaku keberadaan pejuang yang disebut perampok, tapi dijawab mereka bukan perampok sehingga mereka langsung dibunuh," ungkap Ahmad.

Belakangan pasukan Westerling menyadari jika upayanya mengejar pejuang di Mandar telah sia-sia. Ternyata mereka salah menerima informasi terkait keberadaan para pejuang kemerdekaan.

"Memang salah informasi Belanda, menurut laporan mata-mata para pejuang sedang mengadakan pertemuan di Galung, tapi bukan di sana (Galung Lombok). Ada di tempat lain yang menjadi markas perjuangan," beber Ahmad.

Ahmad kembali menjelaskan soal jumlah korban 40.000 jiwa yang dianggapnya hanya perkiraan saja. Belum ada data valid terkait totalnya lantaran hanya dikisahkan dari mulut ke mulut tanpa ada data identitas korban yang pasti.

"Korban 40.000 jiwa itu hanya perkiraan saja. Tapi memang yang sangat banyak itu di Galung Lombok sampai dikatakan lebih 1.000 (jiwa), hanya identitasnya tidak diketahui," ungkap Ahmad.

Ahmad tetap menegaskan jika korban terbanyak berasal dari Galung Lombok, Kecamatan Tinambung, Polman. Wilayah geografis Sulawesi Barat yang pada masa pembantaian Westerling masih tergabung menjadi bagian Sulsel.

"Cuman kadang salah persepsi orang, korban 40.000 jiwa itu tidak semua di Galung Lombok, tapi itu di seluruh Sulawesi Selatan karena waktu itu kita masih di Selatan," bebernya.

Ahmad berharap agar Peringatan Korban 40.000 Jiwa bisa ditetapkan menjadi salah satu hari penting nasional oleh pemerintah. Menurut dia, peringatan peristiwa bersejarah itu perlu ditetapkan lewat peraturan daerah (Perda).

"Ya begitulah kita tidak tau pemerintah, saya punya harapan agar mereka dihargai, karena mereka itu adalah pejuang yang memperjuangkan Negara sampai menjadi korban. Jadi seharusnya ini bisa diperingati secara nasional," ujarnya.

Dia berharap ada kajian akademik untuk kemudian mendokumentasikan histori pembantaian Westerling, khususnya di Galung Lombok dalam bentuk fisik, semisal lewat buku. Hal ini agar kisah perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia bisa diajarkan di sekolah.

"Percuma kalau sejarawan yang semua bercerita, karena hanya kita yang tau. Oleh sebab itu, kita harus berusaha bagaimana caranya sejarah dan budaya lokal itu menjadi mulok, muatan lokal," tutur Ahmad.

"Tapi apa yang terjadi kemarin, kita rapat di DPRD dijanjikan ada Perda, tapi sampai sekarang belum diputuskan, ini ada apa. Jangan kita bercerita terus, kita harus memberi pemahaman agar ini bisa berlanjut dari generasi ke generasi," imbuhnya.

Sejumlah Versi Terkait Korban Pembantaian Westerling

Dari berbagai literatur menyebutkan sejumlah versi terkait jumlah korban pembantaian Westerling di Sulsel. Angka korban 40.000 jiwa bermula dari mulut Kahar Muzakkar sebagaimana yang dituturkan dalam buku berjudul, SOB 11 Desember 1946 sebagai Hari Korban 40.000 Sulawesi Selatan.

Kala itu, Kahar Muzakkar datang menyampaikan kebengisan penjajahan Belanda dengan korban jiwa mencapai 40.000 jiwa ke Presiden Soekarno di Yogyakarta tahun 1947. Bung Karno pun terkejut hingga angka itu kerap disinggung dalam tiap pidatonya.

Sementara berdasarkan penelitian TNI AD tahun tahun 1950-an menyebut 1.700 orang, sedangkan Pemerintah Belanda setelah melakukan penelitian pada 1969 hanya mengakui 3.000 korban. Westerling turut memberikan klarifikasi dan versinya sendiri terkait jumlah korban.

Dalam beberapa wawancara serta di buku otobiografinya berjudul Challege to Terror halaman 110, Westerling membantah telah membantai 40.000 rakyat Sulsel. Westerling menyebutkan jika hanya bertanggung jawab tidak lebih dari 600 nyawa.

"Jumlahnya (korban Westerling di Sulsel) saja berbeda-beda kan. Sehingga bagaimana, negara juga pasti pusing," tegas Sejarawan Universitas Hasanuddin (Unhas) Suriadi saat diwawancarai, Sabtu (5/12).

Suriadi beranggapan adanya perbedaan terkait jumlah korban tersebut karena persoalan validasi fakta di lapangan. Dia bahkan mempertanyakan nilai perjuangan di balik peristiwa yang menelan banyak korban jiwa itu.

"Jadi perjuangan orang untuk sampai pada peristiwa 40.000 jiwa itu tidak jelas. Tidak jelas apa dia berjuang. Korban itu banyak bukan karena semata-mata mereka melakukan perlawanan, tapi kan banyak korban yang kita tidak tahu, dan jika kita wawancara satu per orang itu beda-beda," pungkasnya.




(sar/nvl)

Koleksi Pilihan

Kumpulan artikel pilihan oleh redaksi detiksulsel

Hide Ads