Peringatan Korban 40.000 Jiwa Sulsel 11 Desember, Bukan Hari Penting Nasional

Peringatan Korban 40.000 Jiwa Sulsel 11 Desember, Bukan Hari Penting Nasional

Irmalasari - detikSulsel
Senin, 11 Des 2023 10:38 WIB
Monumen Korban 40.000 Jiwa di Makassar
Monumen Korban 40.000 Jiwa di Makassar (Foto: Urwatul Wutsqaa/detikSulsel)
Makassar - Tanggal 11 Desember menjadi hari bersejarah yang penting di Sulawesi Selatan (Sulsel). Pemerintah daerah (Pemda) setempat menyebutnya Hari Peringatan Korban 40.000 Jiwa, yang merujuk peristiwa pembantaian pasukan penjajah Belanda pimpinan Raymond Paul Pierre Westerling di Sulsel pada Desember 1946-Februari 1947. Tapi, Hari Peringatan Korban 40.000 Jiwa belum menjadi hari penting nasional hingga saat ini.

Setiap tanggal 11 Desember, di pagi hari Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar bersama Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel menggelar upacara resmi di Monumen Korban 40.000 Jiwa, Kelurahan Kalukuang, Kecamatan Tallo, Kota Makassar. Hal yang sama dilakukan Pemkot Parepare di Monumen Korban 40.000 Jiwa di Jalan Alwi Abdul Jalil Habibie atau Jalan Masjid Raya, Kota Parepare.

Gubernur Sulsel biasanya akan menjadi Inspektur Upacara Peringatan Hari Korban 40.000 yang dilakukan di Kota Makassar. Jajaran Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Makassar dan Sulsel turut diundang. Demikian halnya dengan veteran perang yang masih hidup.

Upacara peringatan korban 40.000 jiwa di Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel).Foto: Upacara peringatan korban 40.000 jiwa di Kota Makassar, Sulsel pada Senin, 11 Desember 2023. (Ahmad Nurfajri Syahidallah/detikSulsel)

Jumlah korban 40.000 jiwa pembantaian Westerling di sejumlah daerah Sulsel pada Desember 1946 hingga Februari 1947 memang masih kontroversi dan belum terbukti. Kahar Muzakkar disebut yang pertama kali mengucapkannya, saat menghadap Presiden Sukarno di Yogyakarta pada akhir 1947. Kahar protes. Ia membandingkan peristiwa Gerbong Maut Bondowoso yang terjadi pada 23 November hanya memakan 46 jiwa namun selalu dikoar-koarkan. Sementara, korban pembantaian di Sulsel yang jumlahnya mencapai 40.000 tidak dihiraukan.(1)

Peringatan Korban 40.000 Jiwa di Sulsel sebagai hari berkabung nasional memang pernah diajukan rakyat Sulsel kepada Presiden Soekarno. Momentumnya saat upacara Peringatan Korban 40.000 Jiwa yang digelar di Senayan, Jakarta, tahun 1964. Peringatan itu dikoordinir oleh Andi Mattalatta, salah satu tokoh pejuang Sulsel.

Kala itu, 50.000 orang-orang Sulawesi yang berdomisili di Jakarta hadir di Gedung Senayan. Karena kapasitas gedung yang hanya mampu menampung 16.000 orang, terpaksa ribuan orang lainnya harus menyaksikan peringatan dari luar gedung. Mereka hanya mendengarkan dari pengeras suara yang dipasang di empat penjuru mata angin.

Andi Mattalatta dalam bukunya yang berjudul Meniti Siri' dan Harga Diri mengungkapkan, sehari sebelum upacara telah terpasang gambar Westerling dan spanduk yang bertuliskan "Kami mohon kepada bapak Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia Panglima Tertinggi ABRI Dr. Ir. Soekarno agar 11 Desember dijadikan sebagai hari berkabung nasional."

Sebelum upacara peringatan, Andi Mattalatta ke Istana Merdeka. Ia mengecek kesediaan Presiden Soekarno menghadiri peringatan tersebut. Ia bertemu dengan Brigjen CPM Sabur, senior Aide de Camp (asisten pribadi) Presiden. Brigjen Sabur menyampaikan kalau Presiden akan hadir, namun permohonan untuk menjadikan 11 Desember sebagai hari berkabung nasional tidak disetujui.

Mattalatta beranggapan kalau permintaan tersebut tidak disetujui karena bisikan dari Subandrio dan Aidit. Sikap keduanya itu dinilai sebagai bentuk kekecewaan atas paham komunis yang sulit masuk di Sulawesi Selatan. Paham ini sulit masuk sebab mayoritas penduduk Sulsel memeluk ajaran Islam.

Hal yang dialami Presiden Soekarno saat berkunjung ke Makassar tahun 1961 juga menjadi alasan kenapa permintaan itu ditolak. Masyarakat Sulsel dinilai tidak bersimpati kepada Presiden. Karena waktu itu Soekarno digranat di Jl. Cendrawasih.(2)

Upacara peringatan korban 40.000 jiwa di Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel).Foto: Veteran perang hingga jajaran Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Sulsel di Upacara Peringatan Hari Korban 40.000 Jiwa di Kota Makassar, Senin, 11 Desember 2024. (Ahmad Nurfajri Syahidallah/detikSulsel)

Sumber lainnya menyebutkan soal penyebab Peringatan Korban 40.000 Jiwa Sulsel tidak menjadi hari berkabung nasional. Ada anggapan kalau peringatan Korban 40.000 Jiwa sebagai Hari Berkabung Nasional terkesan primordialistik. Ini dianggap tidak patut direalisasikan dalam negara yang menjunjung nasionalisme.

Anggapan itu lantas dinilai keliru karena yang berjuang di Sulsel saat pembantaian Westerling ialah warga dari percampuran etnik yang ada di Nusantara. Sama halnya dengan Pertempuran Surabaya yang telah ditetapkan negara sebagai Hari Pahlawan Nasional.(3)

Monumen Korban 40.000 Jiwa di MakassarArea Monumen Korban 40.000 Jiwa di Makassar. Konon, di lokasi ini rakyat Sulsel dibantai Westerling (Foto: Urwatul Wutsqaa/detikSulsel)

Sementara menurut Sejarawan Universitas Hasanuddin, Dr. Suriadi Mappangara, Peringatan Korban 40.000 Jiwa di Sulsel belum menjadi hari penting nasional karena persoalan validasi fakta dan data dari peristiwa tersebut. Dia membandingkannya dengan Peringatan Hari Pahlawan 10 November yang telah menjadi Hari Penting Nasional. Hari Pahlawan merujuk pertempuran warga Surabaya dalam melawan tentara Inggris dan Belanda pada tahun 1945.

"Ini masalahnya masalah fakta, masalah perjuangan. Kalau (Pertempuran 10 November 1945) di Surabaya orang tahu untuk apa dia angkat senjata, apa yang mau dibunuh. Tapi di sini (Korban 40.000 Jiwa Sulsel), tidak ketahuan, karena banyak orang hanya karena sentimen pribadi, "mana pahlawanmu?" dia tunjuk mi sembarangan orang," kata Suriadi dalam wawancara dengan detikSulsel, Selasa, 5 Desember 2023.

Berbeda dengan fakta sejarah pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, peristiwa pembantaian 40.000 jiwa di Sulsel oleh Westerling belum jelas fakta-faktanya. Dia turut mempertanyakan nilai perjuangan di dalamnya.

"Jadi perjuangan orang untuk sampai pada peristiwa 40.000 jiwa itu tidak jelas. Tidak jelas apa dia berjuang. Korban itu banyak bukan karena semata-mata mereka melakukan perlawanan, tapi kan banyak korban yang kita tidak tahu, dan jika kita wawancara satu per orang itu beda-beda," tambah Suriadi.

Ada beberapa versi terkait jumlah korban pembantaian Westerling di Sulsel. Menurut Kahar Muzakkar 40.000 korban jiwa. Penelitian TNI AD tahun tahun 1950an menyebut 1700 orang. Pemerintah Belanda setelah melakukan penelitian pada 1969 hanya mengakui 3.000 korban.

Westerling turut memberikan klarifikasi dan versinya sendiri terkait jumlah korban. Dalam beberapa wawancara serta di buku otobiografinya berjudul Challege to Terror halaman 110, Westerling membantah telah membantai 40.000 rakyat Sulsel. Ia menegaskan hanya bertanggung jawab tidak lebih dari 600 nyawa.

"Jumlahnya (korban Westerling di Sulsel) saja berbeda-beda kan. Sehingga bagaimana, negara juga pasti pusing," tegas Suriadi.

Suriadi sepaham jika Peringatan Hari Korban 40.000 Jiwa cukup diperingati di Sulsel. Tapi peringatan itu belum tepat masuk daftar Hari Penting Nasional di Indonesia.

"Oke lah orang-orang Sulawesi Selatan silahkan kalau kau mau memperingati itu, tapi jangan nasional. Sebelum orang Sulsel bisa membuktikan bahwa jumlah korban itu benar-benar banyak," imbuhnya.

Ternyata, menurut Suriadi, Peringatan Hari Korban 40.000 jiwa di Sulsel belum berdasarkan aturan daerah yang resmi. Dia menilai DPRD Sulsel atau DPRD kabupaten/kota setempat perlu membuat ketetapannya.

"Jadi mungkin perlu lah ketetapan dari DPRD, apakah kalau 11 Desember itu semua (orang) harus memperingati. Itu mungkin bisa dimulai dari situ. Sambil mencari benar-benar sejarahnya yang pasti, sehingga bisa dijadikan hari berkabung nasional," tuturnya.

Monumen Korban 40.000 Jiwa di MakassarMonumen Korban 40.000 Jiwa di Makassar yang menggambarkan kekejaman Westerling (Foto: Urwatul Wutsqaa/detikSulsel)

Terlepas dari kontroversi jumlah korban Westerling di Sulsel dan kontroversi hari peringatannya secara nasional, Suriadi menegaskan, peristiwa pembantaian Westerling di Sulsel membuktikan kesetiaan rakyat Sulsel dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Khsususnya mencegah terbentuknya negara federal yang memisahkan Sulawesi dengan daerah lain di Indonesia seperti Jawa dan Sumatera.

"11 Desember itu merupakan bagian dari upaya menghalangi pembentukan negara dalam negara. Kan bisa jadi alasan begitu toh. Orang Sulawesi Selatan memang terkenal dengan nasionalismenya yang tinggi, dia mengorbankan dirinya untuk tidak terbentuknya negara dalam negara. Bayangkan Negara Indonesia Timur (yang diinginkan Belanda) ini adalah negara bentukan terakhir yang dapat dibubarkan," pungkasnya.

Sumber:

1. SOB 11 Desember 1946 Sebagai Hari Korban 40.000 Sulawesi Selatan, Tim Penelitian Sejarah Perjuangan Rakyat Sulselra, kerjasama Kodam XIV Hasanuddin, Unhas, dan IKIP Ujung Pandang
2. Meniti Siri Dan Harga Diri Catatan dan Kenangan, Andi Mattalatta
3. Westerling dan Korban 40.000 Jiwa dalam buku Tiada Hari Tanpa Buku, S. Purwanda
4. Wawancara Suriadi Mappangara


(urw/nvl)

Koleksi Pilihan

Kumpulan artikel pilihan oleh redaksi detiksulsel

Hide Ads