Ritual adat Rambu Solo yang pertama kalinya diselenggarakan warga Muslim di Kelurahan Tarongko, Kecamatan Makale, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan (Sulsel) menuai kontroversi. Ada silang pendapat soal kearifan lokal dan syariat agama Islam.
Keluarga almarhum, Fatimah Rantelino mengatakan Rambu Solo untuk warga Muslim ini sudah mendapat persetujuan dari tokoh adat di Toraja. Pelaksanaannya pun dilakukan menyesuaikan dengan kaidah agama Islam yang tujuannya sebagai bentuk penghargaan terhadap almarhum keluarga.
"Ini sebagai bentuk penghargaan atau penghormatan kami kepada almarhum Ahmad Dalle Salubi, yang selama ini telah mendidik dan membesarkan kami," kata Fatimah Rantelino, Jumat (10/6/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fatimah menjelaskan, pada umumnya mayat atau jenazah disimpan hingga pelaksanaan Rambu Solo. Namun ritual pada Rambu Solo warga Muslim ini justru telah memakamkan jenazah lebih dahulu.
"Jenazah telah dikuburkan lebih dulu sesuai ajaran Islam pada Februari 2021 lalu. Ini cuma acara adat untuk penghormatan saja," jelas Fatimah.
Rambu Solo terdiri atas beberapa ritual adat yang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat suku Toraja. Pada Rambu Solo yang digelar warga Muslim di Tarongko, ada beberapa bagian ritual yang disesuaikan hingga ditiadakan.
Ritual yang disesuaikan mulai dari jenis hewan yang disembelih hanya hewan yang halal untuk dimakan. Termasuk ritual Mappasilaga Tedong atau mepertarungkan kerbau juga ditiadakan.
Selain itu, peti mayat yang digunakan oleh warga Muslim di Tarongko berbeda dari peti pada umumnya. Jika pada proses Rambu Solo umumnya menggunakan peti polos, maka pada pesta Rambu Solo warga Muslim ini peti yang digunakan tampak ada ukiran kaligrafi.
Fatimah mengungkapkan, bagi masyarakat suku Toraja, Rambu Solo merupakan ritual yang dilaksanakan untuk menyempurnakan kematian seseorang. Sementara bagi warga Muslim di Tarongko, ritual Rambu Solo digelar sebagai bentuk penghargaan atau penghormatan kepada almarhum serta ajang sedekah dan dakwah.
"Ini bukan sebagai bentuk untuk menghambur-hamburkan uang. Melainkan untuk sedekah dan dakwah, sesuai ajaran dalam agama Muslim," jelas Fatimah.
MUI Toraja Ungkap Rambu Solo Buruk Bagi Dakwah Islam
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tana Toraja kemudian mengecam kegiatan Rambu Solo yang diselenggarakan warga Musilm di Kelurahan Tangko, Kecamatan Makale, Tana Toraja. Tindakan ini dilarang MUI karena dinilai justru berefek buruk bagi dakwah Islam.
"Saya sudah panggil keluarganya sebelum melakukan acara itu. Itu kami tegas dan melarang, karena itu nanti menjadi hal yang buruk bagi dakwah Islam," ungkap Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tana Toraja Zainal Muttaqin kepada detikSulsel, Minggu (12/6).
Menurutnya ritual Rambu Solo yang digelar warga Muslim di Toraja ini tak lazim. Hal ini karena dalam ritual tersebut terdapat juga ritual agama lain.
"Seperti Ma'badong (lagu puji-pujian kepada orang yang meninggal). Mereka kan campur adukkan. Mereka Ma'badong juga takziah," jelasnya.
Sementara, kata Zainal, jelas dalam Islam ditegaskan orang yang mengikuti agama orang lain berarti termasuk golongannya. Sehingga toleransi di bidang akidah menurutnya tidak bisa dibenarkan.
"Kami betul melarang, tapi kalau masih melakukan itu saya suruh tangkap saja," tegasnya.
Islam disebut Zainal memang agama yang penuh toleransi terutama soal kemanusiaan, sosial, pembangunan, dan aspek lainnya. Namun tidak bisa untuk akidah. Justru menurutnya ritual Rambu Solo yang digelar warga Muslim merusak toleransi.
"Kami sepakat waktu itu untuk menolak, tapi keluarga mereka mengada-ada kalau dia sudah diizinkan. Nanti kami akan rapat kalau memang hasil rapat untuk dilapor polisi ya kita akan lapor," tukasnya.
PCNU Tana Toraja Melarang, Singgung Syirik
Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Tana Toraja ikut melarang keras ritual Rambu Solo yang pertama kali digelar warga Muslim. Ritual ini dinilai menyimpang dari ajaran Islam karena mengarah ke syirik.
"Iya. Sudah (kita larang). Ada patung (di acara) berarti sudah mengarah ke syirik," ujar Ketua Pengurus Cabang NU (PCNU) Tana Toraja Ahmad Toago kepada detikSulsel, Senin (13/6).
Ahmad menuturkan selama ini memang ada kegiatan warga Muslim memperingati kematian yang disebut Ma'Tambun. Ini juga dilakukan warga NU. Namun ini jauh berbeda dengan ritual Rambu Solo yang dilakukan warga di Kelurahan Tangko.
"Karena ada patung, ada batu nisan, ada peti. Itu kan sangat bertentangan sekali dengan ajaran Islam. Makanya tidak bisa ditolerir itu. Makanya saya sudah imbau semua warga NU jangan ada ikut (hadiri) acara itu," tuturnya.
Ahmad mengungkapkan, sikap NU akan sama dengan sikap Muhammadiyah. Hal ini karena Ketua Muhammadiyah Tana Toraja Zainal Muttaqin juga merupakan Ketua MUI Tana Toraja, sehingga mewakili sikap semua ormas Islam.
"Itu sejak bulan 1 (Januari) sudah disampaikan. Ada pertemuan dengan MUI, Muhammadiyah, NU dan ormas lain. Saat acara Rambu Solo itu baru direncanakan, sudah dilarang tapi dia (keluarga) tidak diterima saat disampaikan itu pelanggaran dalam Islam," jelasnya.
Pemkab Tak Masalah Warga Muslim Gelar Rambu Solo
Pemkab Tana Toraja tidak mempermasalahkan warga Muslim melaksanakan ritual adat Rambu Solo. Ritual ini dinilai sebagai adat Toraja untuk semua angama sehingga tak perlu dipermasalahkan.
"Tidak ada masalah, selagi sudah melalui musyawarah dalam keluarga, masyarakat, dan adat," kata Kepala Dinas Kebudayaan Tana Toraja Eric Crystal Ranteallo kepada detikSulsel, Senin (13/6).
Dia menuturkan untuk prosesi ritual adat Toraja menurutnya tergantung kesepakatan. Apalagi adat ini menurutnya tak dibatasi agama yang dianut warga Toraja yang ingin menjalankan adat istiadatnya.
"Adat Toraja ini untuk semua agama, dan selalu ada jalan. Apa yang disepakati dalam wilayah adat itu bisa," bebernya.
Eric menambahkan, warga Muslim yang melakukan ritual adat pesta kematian Toraja disebut Ma'Tambun. Ini berarti mengenang kepergian orang yang sudah meninggal dunia. Namun ritual ini tetap dianggap sebagai ritual Rambu Solo.
"Jadi ada rangkaian seperti bikin pondok dan terima tamu. Namun ada yang perlu diperhatikan seperti tidak menyembelih hewan seperti babi. Jadi hanya hewan yang dianggap halal saja. Sapi dan kerbau misalnya," jelas Eric.
Sementara, adanya peti yang berisi nisan dan Tau-tau (patung menyerupai orang meninggal) bisa diadakan ketika pihak keluarga ingin mengenang kembali jenazah. Jadi bergantung kesepakatan.
"Selama ini orang Ma'Tambun itu tidak ada peti dan Tau-tau. Tapi mungkin karena keluarga juga mau begitu yah. Itu hanya simbol saja, karena budaya Toraja ini kan penuh dengan simbol," ucapnya.

Koleksi Pilihan
Kumpulan artikel pilihan oleh redaksi detiksulsel