Baru-baru ini warga Muslim di Tana Toraja, Sulawesi Selatan (Sulsel) menggelar ritual Rambu Solo, sebuah ritual sakral yang sudah dilakukan nenek moyang suku Toraja Aluk Tadolo sejak zaman dulu. Ini pertama kalinya warga Muslim menggelar ritual tersebut, sebab selama ini Rambu Solo hanya dilakukan warga non-Muslim.
Pelaksanaan ritual Rambu Solo bermakna sebagai penyempurna kematian seseorang. Pasalnya, kepercayaan masyarakat suku Toraja, orang yang meninggal tanpa diberikan ritual Rambu Solo maka hanya akan dianggap sakit.
Kepercayaan Aluk Tadolo yang masih diwarisi hingga kini meyakini bahwa kematian adalah suatu proses perubahan status dari manusia fisik di dunia menjadi roh di alam gaib. Sehingga, selama rangkaian ritual Rambu Solo belum dirampungkan, maka sang mayat akan diperlakukan sebagaimana orang sakit.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sang mayat tetap dibaringkan di tempat tidur, juga tetap disediakan makan dan minum yang diletakkan di sampingnya.
"Bagi suku Toraja, orang yang sudah meninggal dikatakan telah benar-benar meninggal ketika seluruh prosesi upacara Rambu Solo telah terpenuhi. Jika belum, orang tersebut hanya dianggap makula (sakit), dan diperlakukan layaknya orang sakit, sehingga masih harus disediakan minuman, makanan, dan dibaringkan di tempat tidur," jelas Dewan Masyarakat Adat Nusantara, Eric Crystal Ranteallo kepada detikSulsel, Jumat (10/6/2022)
Perlakuan menganggap sang mayat sebagai orang sakit berakhir ketika dilaksanakannya Rambu Solo bagi yang bersangkutan, oleh keluarga atau keturunannya. Hal ini yang melatarbelakangi suku Toraja kerap menyimpan mayat di dalam rumahnya hingga dilaksanakannya Rambu Solo.
Ritual adat Rambu Solo ini banyak yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sehingga masyarakat Toraja yang menganut agama Islam tidak menggelar Rambu Solo.
Namun, hal ini diubah oleh salah satu warga Muslim di Kelurahan Tarongko, Kecamatan Makale, Kabupaten Tana Toraja, yang menggelar ritual Rambu Solo untuk keluarganya yang telah meninggal. Adapun ritual adat yang dilakukan diklaim telah menyesuaikan syariat Islam dan berbeda dengan Rambu Solo berdasarkan ajaran Aluk Todolo suku Toraja.
Meskipun telah mengklaim telah menyesuaikan dengan ajaran Islam, pelaksanaan Rambu Solo bagi warga Muslim mendapat pertentangan. Termasuk diantaranya MUI Toraja dan PCNU Toraja yang tidak setuju warga Muslim menggelar ritual Rambu Solo.
Secara pelaksanaan, Rambu Solo yang dilakukan warga Muslim di Kelurahan Torongko memang memiliki sejumlah perbedaan. Berikut sederet perbedaan Rambu Solo yang dilakukan warga muslim dan ajaran Aluk Todolo suku Toraja:
1. Rambu Solo Warga Muslim Tidak Mengorbankan Babi
Ritual Rambu Solo dilakukan oleh suku Toraja dengan mengorbankan sesembahan puluhan hingga ratusan babi, kerbau dan kuda putih. Hewan ini merupakan kelengkapan dalam pelaksanaan rangkaian ritual rambu solo.
Pada Rambu Solo yang digelar oleh warga Muslim tidak menyertakan babi sebagai perlengkapan ritual. Seperti diketahui, dalam ajaran Islam babi merupakan binatang yang haram hukumnya dikonsumsi.
Sehingga warga Muslim yang menggelar ritual Rambu Solo hanya mengorbankan hewan halal, yakni kerbau, sapi, kambing dan kuda.
Cara pemotongan hewan yang dikurbankan juga dilakukan secara berbeda. Jika dalam adat Toraja yang menjadi tradisi turun menurun, hewan ditebas oleh seseorang yang memiliki keahlian dalam membunuh hewan dengan satu kali tebas.
Sementara pada Rambu Solo Muslim, hewan disembelih. Selain itu juga mengedepankan tata cara penyembelihan hewan sesuai ajaran Islam.
2. Pelaksanaan Ritual Ma'badong yang Berbeda
Foto: Rachmat Ariadi
|
Ma'badong dalam adat suku Toraja sesuai dengan ajaran Aluk Todolo dilakukan secara berkelompok. Para penari atau pa'badong membentuk lingkaran dan saling mengaitkan jari kelingking.
Dalam ritual Ma'badong tokoh adat dan para warga yang ikut menari menyanyikan badong, syair yang dilagukan disebut kadong-badong. Isi dari syair tersebut tidak lain adalah pengagungan terhadap orang yang mati.
Berbeda dengan ritual Ma'badong yang berasal dari Aluk Todolo. Warga Muslim yang melakukan Rambu Solo mengubahnya dengan menyesuaikan ajaran Islam.
Pada Rambu Solo warga Muslim, nyanyian badong adat diganti dengan lantunan dan mengkhatam Al-Quran.
3. Rambu Solo Muslim Tidak Mengadakan Mangiru'
Foto: Rambu Solo Suku Toraja. (dok. detikcom)
|
Ballo atau tuak adalah minuman beralkohol khas Sulawesi Selatan yang terbuat dari getah pohon lontar, enau, nira dan sejenisnya.
Minuman beralkohol atau yang memabukkan dan haram hukumnya dalam Islam. Sehingga ritual Rambu Solo yang dilakukan warga Muslim tidak mengadakan rangkaian acara Mangiru'.
4. Rambu Solo Muslim Tidak Menyimpan Jenazah
Foto: Rambu Solo Toraja. ( ANTARA FOTO/Zabur Karuru)
|
Jenazah ini disimpan dalam kurung waktu yang tidak ditentukan, bisa mencapai bulan hingga tahunan, sembari menunggu Ritual Rambu Solo digelar. Jenazah ini kemudian akan disertakan dalam rangkaian Rambu Solo, hingga diarak ke pemakaman.
Tradisi ini tentunya bertentangan dengan ajaran agama Islam yang mengharuskan menyegerakan pemakaman. Sehingga jenazah tidak disimpan di rumah melainkan langsung dimakamkan sesuai syariat Islam.
Sehingga dalam Rambu Solo Muslim, jenazah diganti dengan batu nisan. Batu nisan inilah nantinya yang dimasukkan ke dalam peti untuk diikutkan dalam ritual Rambu Solo.
Dalam ritual Rambu Solo ajaran Aluk Todolo, jenazah dipindahkan ke sebuah lumbung untuk disemayamkan. Sementara Rambu Solo Muslim, batu nisan sebagai pengganti jenazah hanya diarak oleh warga berkeliling di sekitar tempat acara rambu solo.
5. Rambu Solo Muslim Tiadakan Mappasilaga Tedong
Foto: Rachmat Ariadi
|
Sejatinya prosesi Mapasilaga Tedong merupakan rangkaian acara hiburan pada Rambu Solo. Rangkaian ritual ini biasanya dilakukan sore hari setelah proses penerimaan tamu selesai.
Ritual dalam Mappasilaga Tedong dilakukan oleh ahlinya yang disebut dengan Pa'tingoro. Adu kerbau ini biasanya jadi momen yang paling ditunggu saat Rambu Solo.
Setelah diadu, dalam Rambu Solo ajaran Aluk Todolo, kerbau-kerbau tersebut kemudian diikutkan dalam ritual Mantunu. Pada ritual tersebut kerbau-kerbau dibunuh dengan satu kali tebas.
Namun karena bertentangan dengan ajaran Islam, maka Mappasilaga Tedong ini ditiadakan. Kerbau hanya dijejer secara rapi di tempat yang telah disediakan kemudian disembelih sesuai syariat Islam.