Asbes merupakan material yang kerap digunakan pada atap rumah. Material satu ini banyak dipilih karena dikenal tahan terhadap api dan panas.
Di balik kegunaannya yang cocok sebagai komponen rumah, Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) telah menyatakan asbes merupakan material yang bersifat karsinogen atau dapat memicu kanker. Penggunaannya sebagai bangunan berpotensi berisiko bahkan setelah bertahun-tahun atau puluhan tahun dipakai.
Menanggapi hal ini, Guru Besar Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Doni Hikmat Ramdhan, membenarkan bahwa asbes memang bersifat karsinogen. Hal ini terjadi apabila serat yang terhirup tidak dapat dimusnahkan dalam jangka waktu lama, lebih dari setahun.
Namun, mengenai klaim WHO perihal pemakaian asbes dapat memicu penyakit asbestosis, sejenis penyakit paru-paru dan kanker, Doni mengatakan dalam beberapa eksperimen yang pernah ia lakukan belum ditemukan kasus tersebut.
"Saya sebagai akademisi atau ilmuwan agak harus hati-hati juga ya bahwa itu berbahaya atau tidak. Kita terus mencari, memastikan (asbestosis). Yang saya tahu, saya mengkaji yang itu, nggak menemukan. Belum, belum. Kita wallahualam ya," kata Doni di FKM UI, beberapa waktu lalu.
Sebelumnya ia telah melakukan eksperimental pada 2019 di permukiman padat Karet Tengsin dan pekerja pabrik yang memproduksi lembar semen bergelombang (asbes). Mereka mencari tahu apakah ada efek dari paparan asbes lewat udara. Hasilnya adalah kondisi serat chrysotile di udara masih di bawah nilai ambang batas (NAB) yang ditetapkan pemerintah di RI, yakni 0,1 fiber per cc.
Jika melihat dari efek kesehatan, hasilnya menunjukkan tidak ada yang mengarah ke penyakit asbestosis. Mereka memang mendapati beberapa orang mengalami penyakit pernapasan, tetapi penyebabnya bukan dari asbes, melainkan pengaruh dari gaya hidup.
"Jadi, untuk menegakkan bahwa itu asbestosis, agak susah. Kalaupun ditemukan satu kasus, dua kasus, itu kalau dari segi riset epidemiologi, itu agak susah, ya. Kenapa? Dia kan kasusnya yang sakit cuma satu atau dua. Nah, kalau seperti itu, apakah debu asbesnya pilih-pilih? Apakah artinya faktor hanya acak saja atau memang sistematis? Kalau dari penelitiannya di masyarakat, kita harus memperhatikan antara pajangan dan efeknya apakah berkaitan atau tidak," jelasnya.
Uji Coba Kadar Konsentrasi Serat Asbes Putih dari Atap yang Dihancurkan
Pusat Kajian dan Terapan Keselamatan Kesehatan Kerja (PKTK3) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) kembali melakukan eksperimen memakai produk asbes putih atau chrysotile bernama atap fiber semen. Uji eksperimental ini dilakukan bersama dengan Fiber Cement Manufacturers Association (FICMA), kumpulan pengusaha yang memproduksi produk menggunakan asbes putih 7-8 persen sebagai bahan baku.
"(Sebelum eksperimental Agustus 2025) kita sudah lakukan uji coba oleh FKM UI dan kita menggunakan (asbes) yang aman, yang baik. Karena asbes itu banyak, ada asbes putih, asbes biru, asbes abu-abu. Tetapi yang chrysotile (asbes putih) ini aman, beda. Jadi bahan bakunya aman, diprosesnya juga aman," jelas Executive Director FICMA Jisman Hutasoit di lokasi yang sama.
Serupa, Doni menambahkan produk atap fiber semen atau yang saat ini dikenal sebagai asbes, hanya memakai 7-8 persen asbes di dalamnya. Jenis yang dipakai adalah asbes putih atau chrysotile. Jenis asbes ini masih aman dipakai sebagai atap fiber semen.
"Lembar asbes itu sebenarnya ada 2 jenis. Ada jenis asbes yang kelompok chrysotile (asbes putih), ada juga kelompok amphibole atau asbes biru. Karakteristik dari kedua asbes tersebut juga berbeda. Kalau chrysotile waktu larutnya lebih singkat 10 hari. Kalau asbes debu sekitar 500 hari, hampir 1 atau 2 tahun," jelas Doni.
Eksperimental terbaru bertujuan untuk melihat ketahanan dan keamanan atap fiber semen yang mengandung asbes putih 7-8 persen setelah dipakai lebih dari 20 tahun. Caranya dengan mengetahui jumlah paparan serat asbes di udara setelah atap fiber semen dihancurkan. Eksperimental tersebut digelar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Depok, Jawa Barat.
"Kesempatan ini kita akan coba lihat seperti apa paparannya di udara, untuk bisa mengukur tingkat paparan di udara. Tentunya ini adalah simulasi bagaimana kalau lembar asbes, lembar semen bergelombang ini pecah atau hancur di permukiman atau saat renovasi rumah dan sebagainya," jelas Doni.
Atap fiber semen tersebut dihancurkan dengan alat khusus di dalam ruang akrilik transparan yang tertutup rapat segala sisi. Atap yang hancur tersebut akan menghasilkan serat-serat halus. Dengan bantuan blower atau penghasil angin kencang, serat halus tersebut didorong agar terus berada di udara dan tidak mudah ke bawah.
"Untuk menangkap paparan debu chrysotile tadi akan ditangkap dengan alat filter yang ditempatkan dengan ketinggiannya yang sejajar saat warga (kemungkinan) terpapar dengan debu asbes tersebut, yaitu ketinggian 150 cm. Kemudian itu (filter) akan ditempatkan atau diambil 4 titik di setiap pojok. Lalu yang kedua kita juga akan ukur pada ketinggian 100 cm. Sehingga akan dilakukan 2 kali pengukuran. Sekali pengukuran mengikuti kaedah dari OSHA (Occupational Safety and Health Administration) dan SNI," lanjut Doni.
Selain mengambil sampel di dalam ruang mika transparan, filter juga dipasang di ruang terbuka lingkungan FKM UI, tidak jauh dari kotak tersebut untuk mengukur kualitas udara sekitar yang tidak terpapar serat asbes.
Hasil uji coba ada di halaman berikutnya...
(aqi/zlf)