Nama Sultan Aji Muhammad Idris tercatat dalam sejarah panjang tanah Kutai, memiliki peran penting dalam kemerdekaan. Sosok ini bukan hanya menjadi penguasa Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura di abad ke-18, tapi juga seorang pemimpin yang berani mengangkat senjata dan meninggalkan tahta demi membela tanah air dari cengkeraman penjajahan.
Pada 10 November 2021, pengabdian dan perjuangannya akhirnya diakui secara resmi oleh negara. Ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Ke-7 RI Joko Widodo dan menjadi pahlawan nasional pertama dari Kalimantan Timur.
Dikutip dari buku berjudul Perjuangan Sultan Aji Muhammad Idris karya Suriadi dkk., simak kisah pahlawan nasional pertama Kaltim ini dalam kemerdekaan Indonesia.
Dari Pangeran ke Sultan
Sultan Aji Muhammad Idris lahir sekitar tahun 1667 di Jembayan, Kutai Kartanegara. Ia adalah putra dari Adji Dipati Anom Panji Mendapa dan Adji Datu Pangiang Penggih. Latar belakang keluarganya sangat kental dengan tradisi kerajaan, namun Idris tumbuh bukan hanya sebagai pewaris tahta, tapi juga sebagai pemikir dan pejuang.
Ketika ia diangkat menjadi Sultan ke-14 Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura pada tahun 1735, ia mengambil nama Sultan Aji Muhammad Idris dan menjadi sultan pertama yang menggunakan nama Islami di Kesultanan Kutai.
Peristiwa tersebut kemudian mencerminkan perubahan besar dalam sistem pemerintahan Kutai menuju bentuk kesultanan yang lebih modern, baik dalam struktur hukum dan tata kelola negara.
Langkah ini menandai peralihan dari sistem kerajaan bercorak Hindu menjadi kesultanan Islam yang terstruktur dengan pembentukan lembaga keagamaan formal seperti para kadi (hakim agama) yang mengatur kehidupan sosial dan hukum masyarakat.
Undang-undang seperti Panji Selaten dan Baraja Niti menjadi contoh bagaimana nilai-nilai agama disatukan dengan tradisi lokal dalam bentuk aturan tertulis. Hal ini mencerminkan kemampuan Sultan Idris dalam menyelaraskan nilai spiritual dan politik dalam pemerintahannya.
Berjuang Lawan VOC
Sultan Idris tidak puas hanya memerintah dari istana. Ia menyadari bahwa ancaman terbesar saat itu bukan datang dari dalam, melainkan dari kekuatan asing yang makin mencengkeram, yaitu VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).
Tahun-tahun menjelang pertengahan abad ke-18 menjadi saksi pilihan besar yang ia ambil. Sultan Idris menjalin hubungan politik dan militer dengan La Maddukelleng, bangsawan Wajo dari Sulawesi Selatan. Ia menikahi cucu La Maddukelleng pada tahun 1732, yang kemudian menjadi titik awal aliansi penting dalam menghadapi penjajahan.
Ketika melihat kekejaman dan keserakahan VOC di wilayah Sulawesi Selatan, Sultan Idris memilih untuk turun langsung membantu mertuanya, La Maddukelleng dalam perjuangan bersenjata. Ia mengorbankan kenyamanan singgasananya dan memimpin langsung ekspedisi militer melawan Belanda.
Di bawah komandonya, pasukan Kutai, Pasir, Sambaliung, dan Pangatan dipersiapkan untuk bertempur. Ia juga aktif mengoordinasikan pengadaan senjata dan mesiu dari berbagai wilayah seperti Brunei dan Mindanao.
Bahkan pada tahun 1736 dan 1737, Sultan Idris memimpin serangan langsung ke benteng VOC di Makassar, termasuk Fort Rotterdam. Peristiwa ini merupakan bentuk tindakan yang sangat berani dari Sultan Idris mengingat kekuatan VOC saat itu sangat dominan di kawasan maritim.
Sayangnya, nasib berkata lain. Pada tahun 1739, Sultan Idris dilaporkan gugur di tanah Wajo, wilayah kerajaan mertuanya, dalam sebuah pertempuran atau kemungkinan besar saat memimpin gerakan terakhir melawan VOC bersama rakyat Bugis.
Hingga kini, jasad beliau tidak diketahui secara pasti keberadaannya, namun masyarakat Wajo meyakini bahwa ia dimakamkan di sana. Kegugurannya menandai akhir dari babak penting perlawanan anti-kolonial yang melibatkan aliansi kerajaan-kerajaan Nusantara.
Warisan Nilai-nilai Kepahlawanan
Tak banyak penguasa yang berani mengambil langkah seperti Sultan Idris. Ia meletakkan kekuasaan dan kenyamanan demi prinsip kemerdekaan rakyat dan martabat negeri. Inilah yang membuatnya dikenang dan akhirnya dihormati sebagai pahlawan nasional.
Beberapa nilai luhur yang melekat dalam perjuangannya antara lain:
- Keberanian melawan penjajah, meski harus kehilangan tahta dan nyawa.
- Diplomasi dan persatuan, ditunjukkan lewat aliansi antarkerajaan.
- Semangat pengorbanan, menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau dinasti.
Anugerah Gelar Pahlawan Nasional
Setelah melalui proses panjang dan pengusulan dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur serta sejarawan lokal, akhirnya gelar Pahlawan Nasional diberikan kepada Sultan Aji Muhammad Idris melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 109/TK/2021, bersamaan dengan momen Hari Pahlawan 10 November 2021.
Gelar ini merupakan bentuk pengakuan atas:
- Peran pentingnya dalam sejarah perjuangan melawan kolonialisme di Nusantara.
- Kepemimpinannya yang melampaui batas-batas daerah, membentuk koalisi luas antarkerajaan.
- Warisan nilai-nilai perjuangan yang masih relevan hingga kini.
Warisan di Tanah Kaltim
Sebagai pahlawan nasional dari Kaltim, Sultan Aji Muhammad Idris mulai diabadikan melalui sejumlah rencana penghormatan, antara lain:
Nama Jalan
Pemkab Kutai Kartanegara (Kukar) berencana menamai salah satu jalan di Tenggarong atau kecamatan lainnya dengan nama Jalan Sultan Aji Muhammad Idris.
Monumen/Patung Pahlawan
Patung atau monumen pahlawan direncanakan dibangun di ruang publik, seperti bundaran kota Tenggarong. Salah satu ide adalah memanfaatkan lokasi eks patung naga.
Ornamen Meriam Kuno
Meriam peninggalan Belanda yang kini tersimpan di halaman Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kukar diusulkan sebagai bagian dari ornamen patung pahlawan.
Rehabilitasi Makam
Makam Sultan Aji Muhammad Idris yang berada di Taman Makam Pahlawan La Maddukelleng, Wajo, Sulawesi Selatan, direncanakan akan direnovasi agar lebih layak sebagai makam seorang pahlawan nasional.
Semua itu bertujuan agar generasi muda tak melupakan bahwa perjuangan melawan penjajahan juga hadir dari timur Nusantara, bukan hanya dari Jawa atau Sumatra.
Kisah Sultan Aji Muhammad Idris adalah pengingat bahwa sejarah Indonesia dibentuk oleh banyak orang dengan dari banyak arah. Dari Jembayan hingga medan perang di Sulawesi, dari ruang istana hingga benteng perlawanan, nama Sultan Aji Muhammad Idris menjadi simbol perlawanan, persatuan, dan pengorbanan.
Simak Video "Video Fadli Zon: Soeharto Sangat Layak Diberi Gelar Pahlawan Nasional"
(des/des)