Mengenal Kutai, Suku Asli Bumi Borneo

Mengenal Kutai, Suku Asli Bumi Borneo

Tim detikKalimantan - detikKalimantan
Kamis, 05 Jun 2025 12:31 WIB
Suku Kutai dan Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur.
Foto: (dok. istimewa)
Samarinda -

Selain Suku Dayak, di Tanah Kalimantan juga punya Suku Kutai, suku yang mungkin lebih dikenal sebagai nama kerajaan Hindu paling tua di Indonesia. Istilah Kutai tidak hanya merujuk pada kerajaan atau wilayah geografis, melainkan juga diakui sebagai salah satu identitas etnis penting di Kalimantan, terutama Kalimantan Timur.

Di samping suku Dayak yang identitasnya lebih dikenal luas, Suku Kutai juga memiliki adat istiadat dan norma sosial yang masih dianut oleh 'urang Kutai' hingga kini. Masyarakat Kutai kini tersebar di beberapa daerah Kalimantan Timur dengan pusat komunitasnya berada di Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara.

Jejak historis berdirinya Kutai cukup banyak ditemukan di Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur (Kaltim). Selain dikenal sebagai impresi Kerajaan Hindu tertua di Indonesia, Kutai juga menjadi saksi alur perkembangan melayu, yang kini masyarakatnya banyak memeluk kepercayaan Islam.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Disadur dari arsip detikSulsel, dijelaskan oleh Raden Dedy Hartono, kerabat Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura bahwa selama terbentuk sebagai wilayah kesultanan, Kutai Kartanegara belum dikenal sebagai suku. Pada saat itu mereka menyebut orang Kutai sebagai Puak. Sebutan Puak sendiri akhirnya berubah menjadi sebutan Urang Kutai, dan akhirnya menjadi suku.

Setelah beberapa abad berada pada masa pemerintahan kerajaan, akhirnya Kesultanan Kutai Kartanegara bergabung dalam wilayah Republik Indonesia pada tahun 1959, di bawah pimpinan sultan terakhir Aji Muhammad Parikesit.

"Jadi Kutai itu terakhir di 1954, kemudian bergabung dengan Indonesia di tahun 1959 sebagai Daerah kabupaten Kutai," kata Raden Dedy.

Dalam kesehariannya, suku Kutai merupakan majemuk bekerja berdasarkan tempat tinggal atau wilayah. Penduduk suku Kutai di hulu biasanya berprofesi sebagai nelayan, sementara mereka yang di darat biasanya berkebun.

Masa pemerintahan kesultanan Kutai Kartanegara yang dipertahankan hingga kini, merupakan lanjutan sebagai bentuk peringatan dalam melestarikan tradisi dan budaya Kutai.

Kabupaten Kutai dulunya sebagai wilayah terluas di tanah Borneo. Hingga pada tahun 2000 terjadi pemekaran, di mana Kutai Barat, Kutai Timur, dan Kota Bontang menjadi wilayah tersendiri. Sejak saat itu suku Kutai terbagi di beberapa wilayah di Borneo dari hulu sungai Mahakam, daratan, dan pinggir laut.

Suku Kutai pada dasarnya memiliki banyak bahasa sehari-hari yang digunakan. Namun bahasa Kutai merupakan bahasa yang hampir punah. Lantaran di zaman sekarang Suku Kutai lebih kerap menggunakan bahasa Indonesia.

Tradisi Suku Kutai

Terdapat beberapa tradisi urang Kutai. Salah satu yang paling terkenal ialah perayaan bernama Erau. Berasal dari kata 'eroh' dalam bahasa Kutai yang berarti suasana ramai, meriah, dan penuh suka cita. Istilah ini menggambarkan situasi yang diwarnai dengan berbagai aktivitas kelompok dalam suasana sakral, ritual, ataupun hiburan.

Pesta adat Erau pertama kali diselenggarakan ketika Aji Batara Agung Dewa Sakti-saat berusia lima tahun-mengikuti upacara tidak tanah dan mandi ke tepian. Ketika ia dewasa dan diangkat menjadi raja pertama Kutai Kartanegara (1300-1325), upacara Erau kembali digelar.

Tradisi ini kemudian dilanjutkan setiap kali terjadi pergantian kekuasaan atau penobatan raja-raja Kutai Kartanegara. Dalam perkembangannya, Erau juga menjadi momen pemberian gelar oleh raja kepada tokoh masyarakat yang dianggap berjasa.

Selain itu perkawinan urang Kutai juga tak kalah unik. Para perempuan bertugas menyelesaikan persiapan makanan pesta yang telah dimulai dua hari sebelumnya.

Sementara itu, Dukun Memang bersama para asistennya serta warga lainnya menyiapkan perlengkapan upacara, seperti pemasangan daun madam dan daun muru di pintu rumah sanggrahan untuk menghalau roh jahat. Kedua calon pengantin dimandikan secara terpisah menggunakan air bunga (Ranam Bunga) dan air ritual (Ranam Pemaden) agar mereka tampak menarik dan bersih secara lahir batin.

Setelah selesai dimandikan, kedua mempelai dipakaikan busana terbaik. Pengantin pria wajib mengenakan songkok hitam. Sekitar pukul 13.00, pengantin perempuan lebih dulu dibawa ke rumah sanggrahan, disusul oleh pengantin laki-laki. Setelah dipertemukan, keduanya diarak mengelilingi rumah sebanyak tiga kali sembari menabur uang logam, yang disambut gembira oleh anak-anak.

Arak-arakan ini bertujuan agar pasangan tersebut kelak hidup sejahtera dan mampu membawa kebahagiaan bagi anak-anak mereka. Usai prosesi, pasangan pengantin duduk di hadapan tetua adat dan para saksi yang telah menanti di dalam rumah.

Hubungan Suku Kutai dan Suku Dayak

Identitas budaya Suku Kutai tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang interaksinya dengan Suku Dayak. Secara geografis maupun historis, masyarakat Kutai hidup berdampingan dengan kelompok-kelompok Dayak, terutama Dayak Kenyah dan Dayak Bahau.

Berdasarkan sejarah, kedua suku tersebut dulunya adalah serumpun, namun memisahkan diri sebagai kesukuan masing-masing.

Sejarawan Kalimantan Timur, Muhammad Sarip dalam arsip detikSulsel menyebut Dayak adalah antitesis dari Melayu. Dayak diidentifikasi sebagai penduduk Kalimantan di pedalaman dan menganut religi tradisional non-Islam.

"Sedangkan Melayu, yang di dalamnya termasuk Kutai, diidentifikasikan sebagai penduduk Kalimantan di kawasan pesisir dan beragama Islam," terangnya.

"Bukan hanya Kutai dan Dayak. Bahkan seluruh penduduk awal Kalimantan itu berasal dari rumpun yang sama, yaitu Melayu klasik. Definisi Melayu versi awal adalah masyarakat yang berbudaya Melayu dengan aspek pemersatunya berupa bahasa Melayu. Melayu zaman kuno tidak terbatas pada satu agama tertentu," lanjutnya.

Raden Dedy Hartono juga membenarkan hal tersebut. Katanya, suku Kutai dan Dayak dulunya adalah serumpun. Namun dengan masuknya Islam di Indonesia khususnya di Kalimantan, Raja Kutai saat itu memilih masuk Islam dan menyebut dirinya urang Kutai atau yang saat ini dikenal Suku Kutai.

Meskipun Suku Kutai telah memiliki ciri khas budaya tersendiri yang membedakan mereka dari kelompok Dayak lain, banyak elemen kehidupan masyarakat Kutai yang masih mencerminkan warisan adat Dayak. Baik suku Kutai dan Dayak, hingga kini masih terus hidup berdampingan di pulau Borneo.




(aau/aau)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads