Jomblo di Usia 36 Tahun, Pria Dayak Ini Yakin Bukan karena Telinganya Panjang

Jomblo di Usia 36 Tahun, Pria Dayak Ini Yakin Bukan karena Telinganya Panjang

Oktavian Balang - detikKalimantan
Rabu, 16 Jul 2025 13:31 WIB
Potret Handrius (36) pemuda asal Desa Setulang, Kabupaten Malinau yang menjaga tradisi telinga panjang. Foto: Dokumentasi pribadi narasumber
Potret Handrius (36) pemuda asal Desa Setulang, Kabupaten Malinau yang menjaga tradisi telinga panjang. Foto: Dokumentasi pribadi narasumber
Malinau -

Di tengah pesona alam Desa Wisata Setulang, Kecamatan Malinau Selatan Hilir, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara terdapat sisa tradisi yang masih dilestarikan. Ialah tradisi Telingaan Aruu, atau bisa juga disebut Telengo Radu, atau dalam bahasa Dayak Kenyah disebut Oma Lung.

Tradisi tersebut nyatanya masih menyisakan cerita. Tradisi ini merupakan kebanggaan warga suku Dayak, yakni memanjangkan daun telinga.

Dulu tradisi ini menjadi simbol kecantikan, keberanian, dan status sosial bagi masyarakat Dayak Kenyah. Tapi kini tradisi mulai meredup di kalangan generasi muda.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di tengah era modern, Handrius (36) tetap setia melestarikan warisan budaya ini. Ia terlihat bangga dengan tradisi warisan turun temurun nenek moyangnya itu.

Saat berbincang dengan detikKalimantan, Handrius sempat bercerita bahwa dirinya belum mendapatkan tambatan hati. Tapi menurutnya menjaga tradisi dan penampilan telinga panjang, bukan jadi kendala untuk memikat hati seorang gadis.

"Kendala bukan pada telinga sih bang," ujarnya sambil tertawa.

"Saya yakin bukan karena telinga. Mungkin lebih ke kondisi ekonomi. Di desa kami, banyak perempuan yang memilih pasangan dari luar desa. Mungkin mereka mencari masa depan yang lebih menjanjikan," lanjut dia bercerita.

Bagi Handrius, tradisi Telingaan Aruu bukanlah halangan untuk menjalin hubungan. Lagi pula, apapun itu rintangannya, ia tetap percaya bahwa telingaan aruu menjadi bagian dari identitas budaya yang ia junjung tinggi.

"Perempuan yang biasa saya temui di sini ya biasa saja. Mereka suka bercanda, masukkan jari ke lubang panjang telinga saya ini. Mereka nggak takut atau merasa aneh," ceritanya.

Sebagai seorang laki-laki, ia mengaku telah mencoba menjalin hubungan berulang kali. Tapi katanya, aturan adat dan agama menjadi bagian penting dalam kehidupan, pernah sekali ia harus mengakhiri hubungan asmara dengan sang kekasih karena terbentur aturan tertentu.

"Tuhan belum izinkan, mungkin ini ujian kesabaran saya," ujarnya menambahkan.

Kisah Handrius adalah sekelumit cerminan perjuangan menjaga identitas budaya di tengah arus modernisasi. Meski belum menemukan pasangan hidup, ia tidak menyalahkan telinga panjangnya. Baginya, tradisi ini adalah kebanggaan, bukan beban.

"Saya harap anak muda lain bisa melihat nilai dari budaya kita. Bukan cuma telinga panjang, tapi semua warisan leluhur," katanya.

Bagi Handrius, cinta mungkin belum datang. Tetapi semangat untuk melestarikan budaya Dayak Kenyah akan selalu membara.

"Telinga panjang atau tidak, yang penting hati panjang untuk menjaga tradisi," tutupnya sambil tersenyum.




(aau/aau)
Hide Ads