Merantau di Kalimantan bukan hanya soal menyesuaikan diri dengan iklim dan bahasa, tapi juga memahami bagaimana menghormati unsur-unsur budaya lokal, terutama terkait makanan.
Bagi masyarakat Dayak, makanan memiliki banyak dimensi, baik dalam segi sosial, dan spiritual. Tidak memahami tata krama makan di sini bukan hanya dianggap kurang sopan, tetapi bisa menimbulkan kesalahpahaman dalam hubungan sosial, bahkan dianggap melanggar nilai-nilai adat turun-temurun.
Menurut kajian etnografi di Kalimantan Barat, hidangan seperti ayam pansuh, lemang, dan tuak secara konsisten disajikan dalam upacara Gawai Dayak, yaitu festival panen yang menandai rasa syukur atas kelimpahan hasil bumi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya itu, penelitian kolaboratif antara British Council dan komunitas Dayak Iban di Desa Sungai Utik menyebutkan bahan pangan lokal seperti jambu hutan, ikan jelawat, dan buah kepayang tidak hanya melengkapi hidangan, tetapi juga menjadi jembatan sejarah dan identitas budaya dalam bentuk pertunjukan kuliner.
Karena makanan di masyarakat Dayak diramu dengan simbol dan nilai ritual, maka menyantapnya secara sembarangan bisa punya makna fatal, tak hanya secara sosial, tetapi juga dianggap melanggar tatanan spiritual yang sejak lama dijaga. Oleh karena itu, memahami bagaimana dan kapan makanan adat boleh dikonsumsi menjadi sangat penting.
Makanan Sakral dalam Ritual Adat
Dalam masyarakat Dayak, terutama suku Iban, Bidayuh, Ngaju, dan Halong, makanan tidak sekadar pemuas rasa. Pasalnya, hidangan dalam ritual adat memiliki makna religius dan simbolik yang sangat dalam.
Sebagai contoh, pada perayaan Gawai Dayak, ritual panen tahunan masyarakat Iban dan Bidayuh, makanan seperti ayam pansuh (ayam dimasak dalam bambu), lemang (beras ketan dalam bambu), serta kue dange dan tuak (arak beras) disiapkan khusus sebagai persembahan kepada leluhur dan roh penjaga alam. Upacara ini bertujuan menegaskan kebersamaan dan rasa syukur atas hasil bumi yang melimpah.
Selain itu, penelitian etnolinguistik di Kalimantan Selatan mengenai ritual aruh baharin suku Dayak Halong mengungkap nama-nama makanan dalam ritual tersebut bukan sekadar label. Makanan tersebut memiliki makna simbolis yang menjembatani antara dunia manusia dengan makhluk gaib.
Misalnya, gula merah dianggap mewakili darah manusia, beras ketan sebagai lambang kebersamaan, dan air santan diartikan sebagai kemurnian jiwa manusia.
Karena makanan dalam upacara adat sarat simbol dan aturan, tak sembarang orang boleh mencicipinya. Hidangan disiapkan dalam urutan ritual tertentu, seperti diberkati oleh balian atau kepala adat, dan harus disajikan pada tempat dan saat yang tepat.
Menyentuh atau memakannya sebelum ada izin dapat dianggap sebagai penghinaan terhadap roh leluhur dan melanggar kesakralan ritual, bahkan bisa memancing konsekuensi spiritual dalam kepercayaan lokal.
Selain itu, dalam penelitian Eksplorasi Kekayaan Kuliner Masyarakat Dayak Ngaju di Desa Mandomai (2023), disebutkan kegiatan bersama dalam memasak dan menyajikan makanan adat menjadi bentuk konkret pelestarian budaya. Waktu, cara pengolahan, dan jenis bahan, semuanya diatur sedemikian rupa untuk menjaga nilai tradisi. Perubahan kecil dalam proses bisa membuat ritual kehilangan makna dan nilai kekhidmatannya.
Secara keseluruhan, makanan adat dalam ritual Dayak bukan sekadar pengisi perut, tetapi sarana pemelihara hubungan spiritual, sosial, dan identitas budaya. Oleh karena itu, anak rantau wajib menghormati tata cara persiapan, penyajian, dan konsumsi makanan ini.
Etika Sosial Saat Menyantap Makanan
Dalam budaya Dayak, khususnya suku Ngaju dan Halong, proses menerima dan menyantap hidangan adalah bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai sosial dan spiritual. Ada tata krama yang sangat dihormati, yang berakar pada pemahaman bahwa makanan adalah simbol kepercayaan, solidaritas, dan identitas komunitas.
Sebagai contoh, dalam penelitian Budaya dan Pola Makan Suku Dayak Ngaju, ditemukan bahwa masyarakat Ngaju sangat memegang teguh aturan tamu harus menyentuh dan mencicipi hidangan yang ditawarkan, meski hanya seujung sendok, sebagai tanda terima kasih dan penghargaan. Menolak hidangan yang dihidangkan bukan hanya dianggap tidak sopan, tetapi juga bisa menciptakan jarak sosial antara tamu dan tuan rumah.
Hal serupa terjadi saat menerima minuman tuak dalam upacara Gawai. Sebelum disantap, selalu ada ucapan tertentu dan biasanya disertai gerakan kecil, menggumam 'sapulun' atau 'puseβpuse', sebagai ungkapan terima kasih sambil sopan menolak jika tidak ingin banyak.
Hal ini tercatat dalam kajian etnolinguistik tentang ritual Aruh Baharin masyarakat Dayak Halong, di mana pemilihan kata dan tindakan menjadi perhatian simbolik dalam budaya ritual.
Anak rantau yang diberi makanan oleh tuan rumah memang tidak wajib menghabiskannya, tetapi menolak secara halus, mencicip sedikit, dan mengucapkan kata sopan akan sangat membantu menjaga keakraban sosial dan menghormati adat.
Pantangan Konsumsi Tanaman dan Hewan Tertentu
Dalam masyarakat Dayak, larangan mengonsumsi sejumlah tanaman dan hewan bukan semata soal selera, tetapi bagian dari sistem kepercayaan dan kesehatan tradisional. Terdapat jenis makanan, baik berupa tumbuhan hutan maupun hewan alam, yang dihindari dalam situasi tertentu karena diyakini dapat membawa dampak negatif secara fisik maupun spiritual.
Misalnya, ibu hamil di Dayak Ngaju cenderung menjauhi konsumsi ikan air tawar lokal seperti gourami, lele, ikan tapah, bakut, serta sayuran seperti rebung dan kacang hijau. Alasannya adalah keyakinan makanan tersebut bisa membahayakan kesehatan ibu dan janin, seperti menyebabkan alergi, bayi gatal, atau berat lahir rendah.
Ditemukan pula pantangan umum di seluruh kelompok Dayak, khususnya suku Kanayatn dan Kenyah di Kalimantan Timur. Mereka menghindari konsumsi rebung, jamur liar, durian muda, bulan kelapa muda, serta sejumlah jenis ikan sungai.
Baca juga: Jangan Menghina Patung Kayu di Kalimantan! |
Larangan tersebut menyasar pada aspek spiritual, di mana diyakini memiliki energi mistik atau radikal alami yang dapat mengganggu sistem keseimbangan tubuh atau memancing 'tulah' atau musibah. Hal ini menunjukkan pantangan Dayak mengandung aspek kearifan lingkungan sekaligus spiritual yang diturunkan secara turun-temurun.
Larangan seperti ini memang berpotensi mengurangi keragaman gizi, namun dilihat dari sudut pandang lokal, mereka lebih menghargai manfaat spiritual dan perlindungan terhadap anggota keluarga.
Untuk menjalin hubungan baik dengan masyarakat Dayak lewat makan bersama, perhatikan hal berikut:
- Hormatilah tata krama dalam menerima makanan.
- Tunjukkan sikap terbuka dan tunjukkan rasa ingin belajar jika tidak tahu aturan adat.
- Saat menghadiri ritual, ikuti aturan makanan secara penuh dan hindari mengambil bagian yang khusus untuk persembahan.
- Jika ada keraguan, tanyakan pada tuan rumah atau tokoh adat, lebih baik bertanya daripada melanggar.
Makanan dalam budaya Dayak jauh dari sekadar urusan perut. Bagi anak rantau, menghormati tata makan di Kalimantan berarti lebih dari sopan santun.
Semoga panduan ini bermanfaat agar detikers yang ingin merantau ke Kalimantan bisa bersosialisasi dan hidup nyaman bersama masyarakat Dayak, dengan makan yang benar, bertanggung jawab, dan penuh hormat.
(sun/aau)