Sudah Jarang Anak Muda Dayak Bertelinga Panjang, Mengapa Handrius Mau?

Sudah Jarang Anak Muda Dayak Bertelinga Panjang, Mengapa Handrius Mau?

Oktavian Balang - detikKalimantan
Senin, 14 Jul 2025 11:00 WIB
Tradisi memanjangkan daun telinga yang menjadi ciri khas masyarakat Dayak Kenyah di masa lalu, kini mulai ditinggalkan, terutama oleh generasi muda. Namun, ada beberapa individu yang berupaya melestarikan warisan budaya ini, salah satunya adalah Handrius (36), seorang warga Desa Setulang.
Handrius, anak muda Dayak Kenyah yang bertelinga panjang/Foto: Istimewa
Malinau -

Selain pesona alam dan budaya Desa Wisata Setulang, Kecamatan Malinau Selatan Hilir, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, tradisi telinga panjang atau Telengo Radu dalam bahasa Dayak Kenyah Oma Lung, juga selalu menarik untuk dibahas.

Tradisi memanjangkan daun telinga yang menjadi ciri khas masyarakat Dayak Kenyah di masa lalu, kini mulai ditinggalkan, terutama oleh generasi muda. Namun, ada beberapa individu yang berupaya melestarikan warisan budaya ini, salah satunya adalah Handrius (36), seorang warga Desa Setulang.

Awal Ketertarikan pada Telinga Panjang

Handrius yang kini tinggal di Desa Setulang menceritakan awal mula ketertarikannya pada tradisi telinga panjang. Saat masih duduk di bangku SMK, ia merasa minder karena tidak dapat melanjutkan kuliah. Setelah menetap di kampung selama dua tahun, ia terinspirasi oleh foto-foto orang Dayak terdahulu yang memiliki telinga panjang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya tertarik melihat foto-foto orang Dayak yang punya telinga panjang. Itu membuat saya ingin memiliki telinga panjang juga," ungkap Handrius kepada detikKalimantan, Senin (14/7/2025).

Pada 2011, Handrius memutuskan untuk memanjangkan daun telinganya. Ia belajar cara melakukannya dari kakek dan nenek di desanya, yang masih mempertahankan tradisi tersebut.

Tantangan Mempertahankan Tradisi

Handrius bangga dengan telinga panjangnya. Ia menghadapi berbagai tanggapan dari masyarakat. Ada yang memuji usahanya melestarikan budaya leluhur, ada pula yang menyayangkan.

"Sebagian bilang bagus karena melanjutkan budaya orang dulu. Tapi ada juga yang tanya, 'apa kamu tidak menyesal nanti?" ujarnya.

Handrius menegaskan tradisi ini tidak melibatkan ritual khusus. Prosesnya murni teknis, dengan waktu penggantian pemberat yang bisa memakan waktu lama, mulai dari yang kecil hingga besar. Meski demikian, ia mengakui tradisi ini mulai jarang dilakukan, terutama oleh generasi muda.

"Di desa kami, waktu itu tinggal beberapa orang saja, kakek-nenek, yang punya telinga panjang," katanya.

Masih Adakah Generasi Penerus?

Handrius bukan satu-satunya yang masih mempertahankan tradisi telinga panjang di Desa Setulang. Menurutnya, ada sekitar empat orang lain, termasuk dua orang bapak-bapak, yang baru memulai tradisi ini. Namun, ia tidak mengetahui alasan pasti mereka melakukannya.

"Saya senang karena ada teman yang sevisi. Anak muda yang pertama buat dulu itu Uyau Moris, seorang seniman," ungkap Handrius.

Ia berharap generasi muda di masa kini tidak merasa gengsi untuk melestarikan tradisi telinga panjang. Menurutnya, kemajuan zaman membuat banyak anak muda malu dengan penampilan tradisional ini.

"Jelas anak-anak zaman sekarang tahu dengan kemajuan, mungkin mereka malu berpenampilan seperti itu," ujarnya.

Handriu juga menekankan pentingnya menjaga identitas budaya Dayak, termasuk tradisi ini. Harapannya, tradisi tersebut tidak hilang ditelan zaman.




(sun/des)
Hide Ads