Telingaan Aruu, Tradisi Masyarakat Dayak Panjangkan Telinga

Telingaan Aruu, Tradisi Masyarakat Dayak Panjangkan Telinga

Anindyadevi Aurellia - detikKalimantan
Rabu, 04 Jun 2025 20:30 WIB
Perempuan Dayak mengenakan hisang, anting pemberat untuk tradisi telingaan aruu.
Ilustrasi Telingaan Aruu/Foto: laman Portal Informasi Indonesia
Balikpapan -

Di pedalaman Kalimantan, terdapat jejak tradisi unik yang menjadi ciri khas suku Dayak. Ialah telingaan aruu, yang dalam bahasa Indonesia disebut telinga panjang.

Guna menghasilkan telinga yang panjang, proses pemanjangan telinga perlu dilakukan secara bertahap sejak usia dini. Tujuannya, bukan cuma agar terlihat cantik atau tampan.

Lebih dari itu, masyarakat Dayak ingin menanamkan nilai-nilai kebanggaan, mensyukuri keberhasilan, sekaligus menjadikan tradisi sebagai identitas dan penghormatan terhadap adat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengenal Telingaan Aruu

Suku Dayak yang bermukim di wilayah hulu Mahakam masih sangat memegang teguh nilai-nilai adat dan tradisi leluhur. Aktivitas seperti bertani dan menangkap ikan adalah kegiatan sehari-hari yang lazim dilakukan oleh para lelaki Dayak.

Meski masih terjaga berbagai ritual adat serta tarian yang dipersembahkan untuk menghormati arwah nenek moyang, terdapat pula tradisi lama lain dari Dayak. Salah satunya Telingaan Aruu, yang sebagian kecil masyarakat masih menjaga keaslian tradisinya.

Telinga dengan lubang anting yang begitu panjang, mungkin tampak asing bagi sebagian besar masyarakat modern. Tapi bagi masyarakat Dayak, khususnya yang tinggal di wilayah pedalaman Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara, sebagai manusia justru harus punya telinga yang panjang.

Dirangkum dari laman Portal Informasi Indonesia dan jurnal Budaya Telinga Dadok Pada Suku Dayak Kenyah oleh Nadiah Fadhilah dan Andi Ima Kesuma, Telingaan Aruu disebut juga Telinga Dadok. Tradisi ini diwariskan dari generasi ke generasi sebagai bagian dari jati diri budaya mereka.

Telingaan Aruu adalah praktik pemanjangan telinga yang dilakukan oleh masyarakat Suku Dayak. Tradisi ini telah dijalankan secara turun-temurun sejak zaman nenek moyang.

Penerapan tradisi pemanjangan telinga ini umumnya hanya ditemui di kalangan masyarakat pedalaman, seperti Dayak Kenyah, Dayak Bahau, Dayak Penan, Dayak Kelabit, Dayak Sa'ban, Dayak Kayaan, Dayak Taman, dan Dayak Punan.

Proses pemanjangan telinga dimulai sejak bayi, melalui ritual penindikan awal. Praktik Telingaan Aruu dimulai sejak bayi melalui proses yang dikenal sebagai mucuk penikng, yaitu penindikan daun telinga.

Setelah luka tindik sembuh, pada awalnya benang dipasang, yang kemudian secara bergantian diganti dengan kayu. Seiring waktu, sehelai bambu yang dipasang awal hari itu menyebabkan lubang pada telinga semakin membesar.

Proses ini berlanjut, sehingga secara bertahap lubang pada telinga membesar dan memanjang. Sampai akhirnya, lubang akan digantikan dengan anting yang menambah beban untuk merangsang pertumbuhan.

Lalu dilanjutkan dengan pemasangan pemberat berupa logam berbentuk gelang dari tembaga. Dalam bahasa Kenyah, anting disebut Belaong, atau disebut juga hisang.

Pemberat telinga yang digunakan, berfungsi agar daun telinga secara perlahan memanjang hingga mencapai beberapa sentimeter. Pemasangan hisang bisa mencapai 20 pasang, namun tidak dipasang secara langsung melainkan bertahap dari jumlah sedikit ke banyak.

Jenis logamnya pun tak harus tembaga, dapat disesuaikan dengan kemampuannya. Jenis logam hisang tidak menggambarkan status sosial seseorang.

Fungsi Telingaan Aruu

Bagi masyarakat Dayak, wajah seseorang terlihat seperti manusia dengan tampang rupawan jika sudah memakai hisang. Kalau telinganya pendek, maka wajahnya akan mirip dengan monyet.

Dirangkum dari buku Pesona Indonesia karya Anita Chairul Tanjung dan The Borneo Journeys of Pastor Ding oleh Pastor A.J. Ding Ngo SMM, terdapat kepercayaan di kalangan masyarakat Dayak. Semakin panjang telinga seorang wanita, maka semakin indah pula penampilannya.

Hisang juga menjadi identitas bagi masyarakat Dayak. Hisang menjadi identitas kebangsawanan bagi pria yang mengenakannya.

Misalnya, di kalangan Dayak Kayan, praktik ini menandakan identitas bangsawan yang sangat dihormati. Di daerah hulu Sungai Mahakam, tujuan pemanjangan telinga pun berbeda, yakni sebagai indikator usia seseorang.

Ada batasan tertentu pula pada tradisi ini. Misalnya, wanita Dayak diperbolehkan memanjangkan telinga hingga mencapai dada. Lalu bagi pria, pemanjangan telinga dihitung sampai batas bahu.

Lelaki tak boleh memakai hisang terlalu berat. Telinga menjulur sampai ke dada menjadi tradisi untuk perempuan Dayak.

Dalam konteks budaya, pemanjangan telinga pada Dayak Kenyah tidak semata-mata untuk penampilan. Dari sudut pandang tradisional, praktik ini juga menandakan tingkat kedewasaan, kesabaran, dan status sosial.

Bagi mereka, telinga panjang bukan hanya tentang estetika, tetapi juga sebagai latihan dalam menahan rasa sakit melalui manik-manik yang memberikan beban. Beban inilah yang diyakini dapat melatih kesabaran, sekaligus menjadi simbol status sosial khususnya bagi wanita.

Selain itu, apabila pemberat atau hisang tidak lagi dikenakan, lubang telinga yang telah memanjang pun berpotensi kembali mengecil secara bertahap. Biasanya, hisang boleh dilepas jika sedang mengalami duka seperti suami, bapak, mamak, atau anak meninggal. Perempuan Dayak boleh melepas hisang selama sebulan.

Namun sayang, di tengah arus modernisasi dan perubahan gaya hidup, tradisi ini perlahan mulai menghilang. Kini diperkirakan jumlah pengguna hisang kurang dari 100 orang di wilayah Mahakam Ulu.

Tradisi telingaan aruu jadi bukti kebanggaan dan keunikan sebagai warisan nenek moyang yang wajib dilestarikan. Kesadaran akan nilai-nilai tradisional di era modern perlu ditingkatkan, agar warisan budaya yang kaya ini tidak lenyap dan tetap dihargai oleh generasi mendatang.




(aau/sun)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads