Kepada detikKalimantan, Handrius mengaku memutuskan untuk memanjangkan daun telinganya pada 2011. Ia belajar dari kakek dan nenek di desanya, yang masih mempertahankan tradisi Dayak tersebut.
Menurut Handrius, proses dimulai dengan menusuk daun telinga menggunakan jarum dan benang, lalu menggantinya dengan batang lidi kecil. Kemudian batang lidi itu terus diganti dengan ukuran lebih besar secara bertahap.
"Awalnya benang, lalu masukkan batang lidi dari ujung yang kecil dan diganti terus sampai ke yang besar," jelas Handrius, Selasa (15/7/2025).
Setelah lubang di daun telinga cukup besar, Handrius menggunakan botol bekas yang dimasukkan ke lubang tersebut untuk menjaga kelenturannya. Proses itu memakan waktu sekitar dua tahun hingga lubang telinga mencapai ukuran yang diinginkan.
Untuk pemberat telinga, Handrius menggunakan pemberat bernama lok, yang diperoleh dari Uyau Moris. Uyau merupakan seorang seniman lokal di Yogyakarta.
"Kalau kita rajin memakai pemberat, lubangnya akan semakin besar," tambahnya.
Handrius menegaskan tradisi itu tidak melibatkan ritual khusus. Prosesnya murni urusan teknis, dengan waktu penggantian pemberat yang bisa memakan waktu lama, mulai dari yang kecil hingga besar.
Meski demikian, Handrius mengakui tradisi telinga panjang sudah jarang dilakukan, terutama oleh generasi muda. "Di desa kami, waktu itu tinggal beberapa orang saja, kakek-nenek, yang punya telinga panjang," katanya.
Handrius juga menceritakan awal mula ketertarikannya pada tradisi telinga panjang. Saat masih duduk di bangku SMK, ia merasa minder karena tidak dapat melanjutkan kuliah. Setelah menetap di kampung selama dua tahun, ia terinspirasi oleh foto-foto orang Dayak terdahulu yang memiliki telinga panjang.
"Saya tertarik melihat foto-foto orang Dayak yang punya telinga panjang. Itu membuat saya ingin memiliki telinga panjang juga," ungkap Handrius.
(sun/bai)