Penolakan Transmigrasi di Kalimantan, Akademisi: Picu Masalah Baru

Penolakan Transmigrasi di Kalimantan, Akademisi: Picu Masalah Baru

Oktavian Balang - detikKalimantan
Kamis, 17 Jul 2025 11:29 WIB
Aliansi Masyarakat Adat Dayak gelar aksi tolak program transmigrasi.
Aliansi Masyarakat Adat Dayak gelar aksi tolak program transmigrasi. Foto: Dok. Istimewa
Tanjung Selor -

Gelombang penolakan terhadap program transmigrasi di Kalimantan terus menggema. Akademisi dan Forum Intelektual Kaltara menyoroti buruknya implementasi program dan kekhawatiran akan memicu masalah baru.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Kaltara, Irsyad Sudirman, menegaskan bahwa penolakan ini bukan bermotif diskriminasi, melainkan kewaspadaan kritis terhadap dampak politik, sosial, dan tata kelola pemerintahan.

"Masyarakat khawatir program ini tidak selaras dengan kebutuhan lokal dan justru memicu masalah baru," ujarnya saat dihubungi detikKalimantan, Rabu (17/7/2025) malam.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Irsyad membeberkan empat faktor utama penolakan transmigrasi: rendahnya kualitas SDM pemerintahan daerah, reformasi birokrasi yang mandek, kesenjangan sosial antara pribumi dan pendatang, serta otonomi daerah yang tidak berjalan maksimal.

"Faktor-faktor ini diperparah oleh sistem politik eksperimental dan ekonomi liberal-kapitalistik," katanya.

Kesenjangan sosial, misalnya, memicu kecemburuan ekonomi karena masyarakat pribumi sulit bertransisi sosial akibat budaya tradisional, keterasingan sosial, dan isolasi geografis, sementara pendatang unggul di sektor ekonomi.

Secara politik, transmigrasi hanya berdampak pada data populasi pemilu tanpa mengguncang dinamika nasional maupun lokal. Namun, secara sosial, program ini mendorong transisi budaya, meningkatkan kesadaran lingkungan, dan memfasilitasi transfer pengetahuan dari pendatang.

Dalam tata kelola pemerintahan, transmigrasi membantu mengisi jabatan yang tidak terpenuhi oleh masyarakat lokal. Sayangnya, implementasi program ini bermasalah.

"Sekitar 70% peserta transmigrasi adalah pendatang lama yang memanfaatkan program untuk bisnis tanah, bukan untuk memperbaiki nasib," ungkap Irsyad.

Irsyad menilai masalah utama terletak pada buruknya implementasi akibat birokrasi tidak profesional dan korupsi sistematis. Ia mendesak pemerintah mengevaluasi ulang program ini dengan mempertimbangkan globalisasi, kerusakan hutan hujan Kalimantan yang menyumbang 25% udara bersih dunia, dan dominasi korporasi yang mengesampingkan kepentingan lokal.

"Transmigrasi bisa bermanfaat jika dikelola dengan bersih, tapi saat ini lebih banyak jadi ladang bisnis oknum," tegasnya.

Ia menambahkan, solusi ideal sulit tercapai dalam sistem politik saat ini yang masih sarat kepentingan, sehingga pemerintah harus bertindak tegas untuk memastikan program ini mendukung kesejahteraan masyarakat lokal dan pelestarian lingkungan.

Cuma Untungkan Kapitalis

Senada dengan Irsyad, Forum Intelektual Kaltara, melalui perwakilannya Joko Supriyadi, menyatakan sikap tegas menolak program transmigrasi yang dinilai hanya menjadi kedok ekspansi modal kapitalis.

Menurut Joko, program transmigrasi yang dijalankan sejak lama hingga kini kerap kali tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat lokal maupun transmigran, melainkan justru menguntungkan pihak-pihak pemilik modal.

"Kami bukan menolak karena rasis atau tidak mendukung persatuan Indonesia, tapi karena transmigrasi ini sering kali hanya untuk kepentingan kapitalis. Masyarakat lokal dan transmigran jadi korban eksploitasi," ujar Joko.

Joko menyoroti bahwa otonomi daerah, yang seharusnya menjadi alat pemerataan dan pemberdayaan masyarakat lokal, justru semakin menyempit karena kebijakan yang terpusat.

"Transmigrasi sering dikaitkan dengan pembangunan pusat pertumbuhan ekonomi baru, tapi nyatanya, infrastruktur di Kalimantan, termasuk Kaltara, masih jauh dari memadai. Sekitar 80% keuntungan sumber daya alam, seperti minyak dan batu bara, lari ke pusat, hanya 20% untuk daerah. Ini bukan pemerataan," tegasnya.

Ia juga menyinggung banyaknya kawasan transmigrasi yang terbengkalai, seperti di Tanjung Buka, Bulungan.

"Lahan dibuka, transmigran datang, tapi kemudian ditinggalkan. Bahkan lahan dan rumah dijual. Ini menunjukkan program ini tidak direncanakan dengan matang," ungkap Joko.

Menurutnya, program transmigrasi kerap kali menjadi alat untuk menyiapkan tenaga kerja murah bagi industri tambang atau perkebunan skala besar.

"Masyarakat Jawa dicabut dari akarnya, dibawa ke Kalimantan, lalu dieksploitasi untuk kepentingan industri. Sementara masyarakat lokal juga dirugikan karena wilayah adat mereka terdampak," katanya.

Selanjutnya, masyarakat adat harus dilibatkan...

Minta Libatkan Masyarakat Adat

Joko menegaskan bahwa Forum Intelektual Kaltara tidak sepenuhnya menolak transmigrasi, tetapi menuntut pelaksanaan yang berkeadilan.

"Transmigrasi harus melibatkan masyarakat adat, tokoh masyarakat, dan perwakilan transmigran dalam perencanaannya. Harus ada evaluasi menyeluruh yang melibatkan semua pihak, bukan hanya pemerintah," ujarnya.

Ia juga menyoroti dampak lingkungan, seperti deforestasi dan degradasi hutan akibat pembukaan lahan besar-besaran untuk transmigrasi.

"Kalau pembangunan benar-benar untuk kesejahteraan masyarakat lokal dan transmigran, itu tidak masalah. Tapi kalau hanya kedok untuk eksploitasi kayu atau sumber daya alam, kami tolak," tegas Joko.

Sebagai rekomendasi, Joko mendesak pemerintah melibatkan masyarakat adat, termasuk lembaga adat dan tokoh masyarakat, dalam pengambilan kebijakan transmigrasi.

"Kaji ulang program ini bersama-sama, libatkan masyarakat adat, karena ada hutan adat, wilayah berburu, dan tanah masyarakat yang harus dilindungi," katanya.

Halaman 2 dari 2
(bai/bai)
Hide Ads