Desa Bebatu di Tarakan, Kalimantan Utara, menyimpan sejarah yang kaya. Mulai dari asal-usul namanya hingga peran sebagai tempat perlindungan pada masa Perang Dunia II.
Berdasarkan penuturan Udin, Kepala Adat Lembaga Adat Tidung Bebatu, desa ini memiliki akar budaya dan sejarah yang erat dengan suku Tidung dan peristiwa bersejarah. Berikut perjalanan tim detikKalimantan.
Asal-Usul Nama Bebatu dan Supa
Udin menjelaskan bahwa nama "Bebatu" berasal dari dua ciri khas desa ini. Pertama, keberadaan batu mapan, batu-batu besar yang masih terlihat di area pemakaman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di dalam tanah itu batu. Kalau dibor, paling 8 meter sudah tembus," ungkap Udin.
Kedua, nama Bebatu merujuk pada banyaknya pohon kayu Bebatu di wilayah ini. Nama Supa pada Sungai Supa memiliki dua versi cerita. Versi pertama menyebut Supa sebagai nama seorang warga Bugis yang tinggal digigit Buaya, dekat Sungai Supa, dan hilang di sana.
"Itu cerita Paman Amarhum, Supa itu nama orang," kata Udin.
Versi kedua berkaitan dengan Perang Dunia II, saat kapal perang Jepang bernama Supamaru tenggelam di sungai tersebut usai dibom pasukan Sekutu (Australia). Nama sungai pun diambil dari kapal itu, menjadi Sungai Supa.
![]() |
Jejak Sejarah dan Perpindahan dari Juwata
Desa Bebatu, yang terbagi menjadi Batu Kebun dan Bebatu Supa, memiliki sejarah sejak 1923. Menurut Udin, desa ini awalnya menjadi tempat pelarian warga Kota Tarakan, khususnya Juwata Laut, saat Perang Dunia II.
"Belanda menyuruh warga keluar dari Juwata supaya aman dari peluru nyasar," ujar Udin, yang berusia 65 tahun dan keturunan asli suku Tidung.
Penduduk asli Bebatu adalah suku Tidung yang hampir 100 persen beragama Islam. Warga hidup sebagai nelayan dan petani, mencerminkan kearifan lokal suku Tidung.
Kehidupan dan Kekayaan Alam Desa Bebatu
Desa Bebatu dikenal dengan sumber daya alamnya yang melimpah, terutama hasil tangkapan dari Sungai Supa. Di sepanjang jalan desa, hamparan jemuran udang ebi menjadi pemandangan khas. Udang-udang ini diolah secara tradisional mulai direbus, dikeringkan di atas terpal, lalu dikupas kulitnya sebelum didistribusikan ke wilayah seperti Tidung Pale, Sekatak, hingga Kabupaten Malinau.
"Udang dari sungai direbus sampai suhu tertentu, lalu dijemur sampai kering. Setelah itu, kulit dan kepala udang dilepas, baru siap dijual," jelas Udin.
Selain udang ebi, kehidupan nelayan di Bebatu menjadi denyut nadi desa ini. Dermaga Bebatu Supa, yang juga berfungsi sebagai pintu gerbang desa, menjadi saksi interaksi para nelayan yang pulang membawa hasil tangkapan. Di sekitar desa, pohon-pohon mangrove tumbuh subur, menambah keindahan alam sekaligus mendukung ekosistem perairan setempat.
(des/des)