Banyak wisata di Jogja yang menawarkan edukasi dan pengalaman lebih kepada pengunjung, tidak terkecuali wisata kuliner. Salah satu wisata kuliner yang memberikan pengalaman dan edukasi yaitu Museum Chocolate Monggo.
Museum Chocolate Monggo berada di Jalan Tugu Gentong, Sribitan, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul. Museum ini merupakan sarana edukasi sekaligus rumah produksi dari cokelat legendaris di Jogja, Chocolate Monggo.
Pantauan tim detikJogja pada Senin (13/11/2023), Museum Chocolate Monggo ramai dikunjungi oleh rombongan anak-anak sekolah yang datang sambil belajar tentang pembuatan cokelat di Museum Chocolate Monggo. Terlihat juga beberapa keluarga yang mencicipi sekaligus membeli aneka cokelat yang ada di Chocolate Monggo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Konsep Museum Chocolate Monggo menggunakan arsitektur Jawa seperti rumah Joglo. Iringan musik gamelan di museum dan toko oleh-olehnya bersenandung merdu. Banyak ditemui aksen-aksen budaya Jawa di dalam Museum Chocolate Monggo, seperti ilustrasi wayang dan kain batik di setiap ujung toko dan museum.
|
Awal Mula Berdiri dan Perjalanan Chocolate Monggo
Perjalanan Chocolate Monggo dimulai pada 2001 oleh Thierry Detournay, seorang warga Belgia yang ingin meningkatkan kualitas cokelat lokal di Nusantara. Hal ini dikarenakan kualitas rasa cokelat yang ada di Indonesia waktu itu berbeda dengan rasa cokelat sebenarnya yang sering ia rasakan di kampung halamannya, Belgia. Sehingga Thierry memutuskan untuk mencoba membuat cokelat dengan cita rasa sebenarnya yang khas.
"Beliau (Thierry Detournay) datang tahun 2001 dan mencoba cokelat-cokelat yg ada di market Indonesia rasanya manis semua tidak seperti cokelat di tempat asalnya beliau. Nah, dengan kekacauan itu beliau mencoba memulai membuat cokelat yang dalam skala kecil hingga tahun 2005 berdirilah Chocolate Monggo ini sampai sekarang." ujar Store Koordinator Chocolate Monggo, Andrew saat ditemui detikJogja, Senin (13/11/2023).
Disampaikan juga oleh Andrew, alasan lain Thierry mendirikan Chocolate Monggo adalah untuk memberikan kualitas cokelat yang baik yang dihasilkan dari buah kakao yang banyak dijumpai dan tumbuh di Indonesia. Berbekal teknik pembuatan cokelat ala Eropa, Thierry mencoba menghasilkan cokelat berkualitas yang dihasilkan dari buah kakao yang banyak tumbuh di Indonesia.
"Kakao idealnya tumbuh di daerah tropis, terutama di Indonesia. Namun, tidak ada produk cokelat lokal yang berkualitas sehingga menjadi salah satu alasan juga mengapa beliau (Thierry) membuat cokelat monggo ini." ujar Andrew.
Thierry mulai memperkenalkan cokelat Monggo buatannya berupa cokelat truffle dan cokelat tradisional dengan cara berkeliling menggunakan vespa berwarna pink sebagai salah satu teknik marketingnya. Thierry menjual cokelat-cokelat tersebut setiap hari Minggu di SunMor Market dekat UGM hingga Gereja Kotabaru. Produk cokelat yang paling laku dulunya adalah Kulit Cokelat dan Cacaomania.
"Ini vespa yang dipakai Pak Thierry untuk berjualan. Beliau berjualan cokelat dengan vespa ini di tahun 2005 yang berkeliling di area SunMor ugm terus ke Malioboro terus di Gereja Kotabaru. Nah, dipilih warna pink oleh beliau karena warna pink ini mencolok, kalau lewat orang pasti nengok gitu," tutur Andrew.
Setelah berjualan menggunakan Vespa di 2005, Thierry membuka store pertama di Kotagede pada 2010 dan sudah memiliki kurang lebih 80 pekerja yang memproduksi 150 kg cokelat per harinya. Memasuki tahun 2015, Chocolate Monggo semakin berkembang dengan membuka 4 cabang, juga mengalami penambahan pekerja dan produksi cokelat.
Memasuki masa pandemi, Chocolate Monggo terpaksa menutup beberapa cabangnya dan hanya mempertahankan 3 cabang sampai sekarang, yaitu di Kotagede; Tirtodipuran Mantrijeron; dan di Kasihan, Bantul sebagai pusat dan rumah produksinya. Pekerja dan produksi cokelat juga menurun karena cokelat bukanlah makanan pokok saat pandemi 2020 lalu.
Konsep Budaya Belgia-Jawa dalam Chocolate Monggo
Thierry selaku pendiri Chocolate Monggo dikenal sangat menyukai budaya Jawa. Inilah salah satu alasan penamaan produknya 'monggo' yang berarti 'silakan' dari Bahasa Jawa. Hal ini dikarenakan Thierry saat pertama kali datang ke Jogja mendapati orang-orang ramah dan mengatakan 'monggo' kepadanya.
Istri Thierry juga ternyata merupakan seorang asli Jawa, maka dari itu Thierry menggunakan dan melestarikan budaya asli di mana istrinya lahir dan dibesarkan di produk cokelatnya.
"Pak Thierry memang mencintai budaya Jawa, jadi apapun dari bangunan ini masih mempertahankan nuansa Jawa, terus kayak ukiran-ukiran, itu seneng banget beliau budaya Jawa. Beliau juga menamai Cokelat Monggo ini terinspirasi dari pengalaman beliau saat datang ke sini, tepatnya ke Jogja, banyak yang bilang 'monggo' ke dia yang dijelaskan oleh temennya itu artinya 'silakan' makanya dipake di produknya," ujar Andrew.
"Tanda arah jempol itu juga dipakai sebagai pelambangan kata monggo dan merupakan optimisme, seakan-akan harapan Chocolate Monggo itu dapat berkembang naik dan semakin berkembang pesat," tambah Andrew.
Museum Chocolate Monggo
Museum Chocolate Monggo dibangun pada 2017. Museum ini dibangun atas permintaan Thierry yang tidak hanya sekadar menjual cokelat saja, tetapi juga memberikan edukasi kepada masyarakat untuk mengenali cokelat.
"Monggo membuat museum ini atas keinginan kita memberikan edukasi informasi kepada semua customer dan tamu kita, mulai dari sejarah awal cokelat sampai kemudian berpindah dan booming di seluruh Eropa, dan bagaimana para petani kakao mengolah bahan dasar cokelat tersebut yang berkualitas. Kita juga menunjukkan proses pengolahan yang ada di pabrik kita sehingga lengkap informasinya tidak hanya menjual cokelat saja tapi kita memperkenalkannya juga." ujar Andrew lagi.
"Bapak yo gak pengen kan kita cuma makan dan produksi cokelat aja, tapi kita juga harus tau apa yang masuk ke dalam tubuh kita," tambahnya.
Di museum ini, pengunjung dijelaskan mulai dari sejarah cokelat, metode perkebunan kakao dan pembuatan cokelat pada umumnya, sejarah Chocolate Monggo, hingga proses pembuatan produk Chocolate Monggo.
Museum Chocolate Monggo buka setiap hari dari Senin-Kamis pukul 09.00-17.00 WIB, Jumat-Minggu di pukul 09.00-18.00 WIB. Bagi detikers yang ingin berkunjung ke Museum Chocolate Monggo tidak hanya diberikan edukasi saja, tetapi dapat juga merasakan experience mencetak cokelat sendiri.
Harga tiket masuk sendiri cukup terjangkau, yakni dengan Rp 40.000 sudah bisa mengelilingi museum dan factory Chocolate Monggo. Sementara, untuk aktivitas cetak cokelat hanya dikenakan Rp 15.000.
Selain berkeliling museum dan factory, detikers juga dapat membawa pulang buah tangan produk Chocolate Monggo di toko, dan juga menghabiskan waktu dengan bersantai di kedai yang disediakan. Di kedai Museum Chocolate Monggo, dijual gelato dengan berbagai rasa, sehingga dapat dinikmati di cuaca panas Jogja.
![]() |
Produk Chocolate Monggo
Produk cokelat Chocolate Monggo yang membedakan dari cokelat lain adalah komposisinya. Chocolate Monggo menggunakan 100% cokelat murni. Jenis cokelat yang ada di Chocolate Monggo adalah white chocolate (33%), milk chocolate (41%), dan dark chocolate (77%). Komposisi yang digunakan juga alami, seperti mentega kakao dan kakao massa.
Cokelat di Chocolate Monggo juga diproduksi setiap hari mulai pukul 09.00-15.00 WIB, kemudian nantinya akan dikirim ke cabang dan retail.
"Semua isian juga kita produksi sendiri, mulai dari kacang-kacangan, manisan, atau potongan pasta buahnya. Kita juga produksi prodak lain kayak biskuit semua kita buat disini," jelas Andrew.
Produk Chocolate Monggo terus mempertahankan cita rasanya sampai sekarang, tentunya dengan terus menambah variasi rasa. Sekarang, sudah ada lebih dari 40 rasa isian cokelat yang diproduksi di Chocolate Monggo.
Produk best seller Chocolate Monggo yang sering diincar pembeli tahun ini adalah cokelat varian cashew, parline, dan hazelnut. Ada juga beberapa varian unik seperti jahe, chili, dan rendang.
"Kita satu-satunya di Jogja yang dengan kakao basah atau cacao butter 100%, jadi tidak ada komparasinya. Untuk pertahaninnya sendiri kita tetap jaga konsistensi output produk, mulai dari rasa, warna, packaging, penampilan itu kita gak berubah. Kita juga inovasi keluarin produk baru gitu," tutur Andrew.
Pada masa pandemi 2020 lalu, banyak peminat Chocolate Monggo yang membeli produk dark chocolate secara online. Hal ini dikarenakan semua ingin berlomba-lomba tetap sehat dikarenakan pandemi sedang terjadi, dan dark chocolate sangat bagus untuk kesehatan.
"Pasar kita itu terbagi. Kalau di offline, rata-rata kebanyakan pilih yang masih manis, kalau dark chocolate ya paling 58% atau 69% karena kadar gulanya masih ada. Beda kalau pasar online, dia lebih senengnya yang pahit, mungkin karena lebih aware sama kesehatan," jelas Andrew.
Produk Chocolate Monggo dijual dengan harga mulai Rp25.000 sampai Rp200.000 tergantung ukuran dan variannya. Pengunjung juga dapat membeli dan menikmati varian cokelat sesuai season, contohnya akan ada cokelat special edition pada saat hari Natal, Valentine, dan Halloween.
Sebelum membeli, pengunjung juga dapat mencoba kadar manis pahit cokelat di Chocolate Monggo, mulai dari 58%, 69%, dan 77%.
"Ini bisa dicoba dulu, jadi biar tau nanti tingkat manis pahit nya baru bisa tentuin mau beli yang mana," tutur Andrew.
Artikel ini ditulis oleh Fiesta Inka Purwoko dan Steffy Gracia peserta magang bersertifikat di detikcom.
Komentar Terbanyak
Jokowi Berkelakar soal Ijazah di Reuni Fakultas Kehutanan UGM
Blak-blakan Jokowi Ngaku Paksakan Ikut Reuni buat Redam Isu Ijazah Palsu
Tiba di Reuni Fakultas Kehutanan, Jokowi Disambut Sekretaris UGM