Jemparingan merupakan olahraga tradisional khas Kerajaan Mataram. Olahraga panahan tradisional itu masih eksis hingga saat ini. Ada banyak makna filosofi terkandung di olahraga ini.
Jemparingan merupakan olahraga panahan tradisional yang sudah ada sejak era Sri Sultan Hamengku Buwono I. Jemparingan berasal dari kata Jemparing yang berarti manah atau memanah.
"Jemparingan itu mengandung banyak filosofi jadi lebih condong ke seni budaya. Setiap gerakan di Jemparingan ada maknanya," buka pengurus Jemparingan Pura Pakualaman, Agung Susila kepada detikJogja, Minggu (2/6/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dimulai dari Jemparing atau manah, nah manah itu kan hati. Jadi Jemparingan dimulai dari hati dan ditarik dengan rasa. Jemparingan itu lebih tepatnya olah roso (olah rasa). Bagaimana kita diajarkan untuk fokus, konsentrasi, pengendalian diri, sabar, berani, ikhlas dan bertanggung jawab," beber Agung.
Jemparingan cukup berbeda dari panahan pada umumnya. Olahraga ini dilakukan dengan duduk bersila. Pemanah juga diharuskan mengenakan pakaian tradisional khas Mataraman.
"Kalau duduk di Jemparingan sama artian dengan berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Artinya siapa pun yang di Jemparingan itu sama rata, bisa juga maknanya ke arah meditasi. Kalau kita duduk itu kan lebih santai," sambung Agung.
"Ageman atau pakaian harus memakai ageman Mataraman. Yang putra aturannya atasan tidak boleh pakai motif kembang karena biasanya dipakai Raja Mataram dan keluarganya. Lalu untuk bawahan tidak boleh memakai motif parang, alasannya sama. Untuk putri harus kebaya, lalu pakai jarik nggak boleh pakai rok," ungkap dia.
Ada sedikit perbedaan dalam tata cara Jemparingan dan panahan. Dalam Jemparingan, busur disebut Gandewo sementara wong-wongan atau bandulan merupakan papan sasaran Gandewo.
Pemanah duduk bersila sambil memegang Gandewo dan anak panah diposisikan menyamping. Gandewo ditarik ke arah samping kepala lalu ditembakkan ke arah wong-wongan.
Seluruh peralatan Jemparingan juga terbuat dari kayu dan menyesuaikan postur tubuh dan tinggi pemanah. Peralatan tersebut juga bersifat pribadi dan sulit dipinjamkan.
"Gaya yang diadaptasi sekarang itu gaya Pakualaman dengan gandewo-nya (busur) miring. Dulu gayanya tangan kanan menarik ke dada. Kalau sekarang gaya tangan menarik ke muka atau Bahasa Jawanya mbidik. Dulu horizontal kalau sekarang sudah vertikal," kata Agung.
Jemparingan kini menjadi warisan budaya Kerajaaan Mataram yang terus dilestarikan. Salah satunya lewat perlombaan sayembara Jemparingan yang dimulai sejak era Pakualam VIII. Kegiatan ini rutin digelar setiap tahunnya untuk memperingati Hadeging Kadipaten Pakualaman.
"Jemparingan itu panahan tradisional Jawa gaya Mataraman asli dari Kerajaan Mataram Jawa, Jogja, dan Solo. Pusatnya di Jogja di Kadipaten Pakualaman. GK PA (Pakualam) VIII menyebarkan Jemparingan ke berbagai tempat. Salah satunya dengan menggelar gladen (kompetisi) seperti saat ini," ucap Agung.
"Supaya lebih dikenal dan menyebar setiap tahunnya, Pakualaman selalu mengadakan Sayembara Jemparingan. Salah satu upaya melestarikan kebudayaan Jawa. Diadakan setiap hari jadi Kadipaten Pakualaman. Tapi selain itu ada juga di setiap Selapan 35 hari terus Hadeging setiap tahun sekali," pungkas dia.
(apl/aku)
Komentar Terbanyak
Mahasiswa Amikom Jogja Meninggal dengan Tubuh Penuh Luka
UGM Sampaikan Seruan Moral: Hentikan Anarkisme dan Kekerasan
Siapa yang Menentukan Gaji dan Tunjangan DPR? Ini Pihak yang Berwenang