Beragam tradisi dilakukan masyarakat untuk menyambut bulan suci Ramadan, salah satunya masyarakat Kauman, Gilangharjo, Pandak, Bantul yang bersama-sama membersihkan batu di Petilasan Gilanglipuro. Batu tersebut sebelumnya digunakan oleh Panembahan Senopati untuk bertapa.
Pantauan detikJogja, tampak beberapa orang, baik mengenakan pakaian adat Jawa dan pakaian bebas memadati petilasan Gilanglipuro. Selanjutnya, iring-iringan bregada yang membawa jodang memasuki area petilasan tersebut.
Jodang berisi ubo rampe itu selanjutnya dibawa ke dekat batu yang disebut masyarakat sekitar Watu Gilang. Setelah berdoa bersama, Bupati Bantul, Abdul Halim Muslih bersama masyarakat silih berganti membersihkan batu tersebut menggunakan air yang tertuang melalui kendi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Juru Kunci Petilasan Gilanglipuro, Untoro mengatakan, membersihkan Watu Gilang sebelum memasuki bulan Ramadan merupakan tradisi turun-temurun. Di mana tradisi tersebut mengikuti perintah dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
"Sudah bertahun-tahun. Jadi masyarakat sekitar sini setiap menjelang puasa bulan Ramadan, nderek dhawuh Dalem (Keraton) mensucikan batu tersebut," katanya kepada wartawan di Kauman, Gilangharjo, Pandak, Bantul, Minggu (10/3/2024).
![]() |
Untoro melanjutkan, rangkaian membersihkan Watu Gilang diawali dengan doa bersama yang dipimpin dirinya. Setelah itu, secara bersama-sama masyarakat membersihkan batu tersebut dengan cara mengguyur menggunakan air sumur bergantian.
"Dibersihkan karena banyak tamu yang keluar masuk di situ. Sehingga kotoran-kotoran di dalam (lokasi watu gilang) setahun sekali kita bersihkan dan menjadi tradisi budaya di sini," ujarnya.
Sejarah Watu Gilang di Gilanglipuro
Untoro lalu menceritakan sejarah Watu Gilang. Menurut Untoro, berdirinya petilasan Gilanglipuro berawal dari Danang Sutawijaya yang kala itu mendapatkan wahyu Mataram Islam di Kauman, Gilangharjo.
"Lalu Danang Sutawijaya disuruh Ki Ageng Pemanahan mengembara di alas Mentaok," ujarnya.
Ketika mengembara itu, Danang Sutawijaya atau yang dikenal Panembahan Senopati menemukan belik atau sumber air. Uniknya, di tengah belik itu terdapat batu
"Dan batu itu dipergunakan Danang Sutawijaya untuk bermunajat atau bertapa, memohon doa kepada Allah SWT dan mendapatkan wahyu, masyarakat sini menyebutnya wahyu Lintang Johar," ucapnya.
Watu Gilang Petilasan Gilanglipuro terbuat dari batu andesit masif yang dipahat berbentuk persegi panjang dengan profil berbentuk takikan pada satu sisinya. Watu gilang ditempatkan di atas landasan yang terbuat dari plesteran semen berukuran 205 cm x 106 serta tingginya 44 cm.
Landasan tersebut diberi selubung dari kain berwarna putih. Watu Gilang Petilasan Gilanglipuro juga diberi struktur penutup berupa kerodong kayu dan kelambu dari kain yang juga berwarna putih.
Watu Gilang juga berada di dalam bilik bangunan berdenah persegi dengan emper pada bagian depannya. Bangunan menghadap arah timur. Bilik bangunan berukuran 4,5 m x 4,5 m dengan tinggi dinding 3,3 m serta tinggi atapnya 3,91 m.
![]() |
Pada tahun 1568 di tempat Watu Gilang dan belik di mana Danang Sutawijaya pernah bersemedi didirikan bangunan petilasan. Pembangunan petilasan ini diprakarsai oleh Pakubuwono II.
Kemudian pada tahun 1746 belik ditimbun tanah lalu di atas tanah tersebut didirikan bangunan petilasan yang baru.
"Seiring berjalannya waktu, Pakubuwono II ditimbun diuruk, lalu dibuat bangunan seperti sekarang ini. Sehingga menjadi petilasan eyang Panembahan Senopati," katanya.
(apl/apl)
Komentar Terbanyak
Ternyata Ini Sumber Suara Tak Senonoh yang Viral Keluar dari Speaker di GBK
Komcad SPPI Itu Apa? Ini Penjelasan Tugas, Pangkat, dan Gajinya
Pengakuan Lurah Srimulyo Tersangka Korupsi Tanah Kas Desa