- Biografi Dr Sardjito Masa Muda Dr Sardjito Berkuliah Kedokteran Bekerja dan Berpolitik Memiliki Tekad Memajukan Pendidikan Menjadi Rektor UGM dan UII Menjadi Delegasi Internasional Membantu Dalam Perang Berhasil Menciptakan Obat Batu Ginjal Masa Tua Dr Sardjito Diabadikan Menjadi Nama Rumah Sakit Diberi Gelar Pahlawan
Dr Sardjito adalah salah satu tokoh yang berperan dalam bidang kedokteran, pendidikan, hingga politik. Kisah hidupnya memiliki nilai perjuangan yang penuh inspirasi hingga ia dinobatkan menjadi Pahlawan Nasional.
Prof. Dr. M. Sardjito, M.D., M.P.H. menjadi tokoh yang identik dikenal sebagai rektor di Universitas Gadjah Mada (UGM). Selain itu, nama Sardjito juga dikenal sebagai salah satu nama rumah sakit di kawasan Sekip, Kabupaten Sleman yaitu Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito.
Sardjito dikenal sebagai sosok dokter yang punya peran besar bagi Bangsa Indonesia, terlebih saat masa penjajahan Belanda tahun 1948-1949 hingga dinobatkan sebagai pahlawan nasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikut ini biografi sosok Dr. Sardjito yang punya peran besar bagi Bangsa Indonesia.
Biografi Dr Sardjito
Masa Muda Dr Sardjito
Mengutip buku Biografi Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1983), Dr. Sardjito lahir pada tanggal 13 Agustus 1889 di Desa Purwodadi, Kabupaten Magetan, Karesidenan Madiun, Jawa Timur. Ia adalah anak pertama dari lima bersaudara.
Sardjito mulai belajar mengaji Al-Quran dan belajar agama ketika berusia 6 tahun. Selain itu, ia juga sering mengikuti pendidikan umum Sekolah Rakyat di Purwodadi. Akan tetapi, karena pindah ke Kota Lumajang, Sardjito menamatkan sekolahnya di Sekolah Rakyat di Lumajang pada tahun 1901.
Sardjito kemudian melanjutkan sekolah menengahnya di Sekolah Belanda yang berlokasi di Lumajang hingga tahun 1907. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Jakarta dengan memilih sekolah Stovia yang mempelajari pendidikan dokter. Sardjito lulus dengan mendapat juara pertama pada tahun 1915.
Berkuliah Kedokteran
Sekitar tahun 1915, Sardjito aktif mengurus 'Perkoempoelan Dokter Indonesia' dan menjadi anggota kehormatan. Ia juga menjadi dokter pada Rumah Sakit Djakarta dan Instituut Pasteur Djakarta.
Menginjak tahun 1920, Sardjito melanjutkan studi ke Belanda, tepatnya di Universitas Amsterdam dengan memilih Fakultas Kedokteran. Setelah selesai di tahun 1924, ia melanjutkan mempelajari penyakit-penyakit tropis di Leiden, Belanda. Di sana ia meraih gelar doktor dalam ilmu kedokteran.
Sardjito melanjutkan juga mempelajari ilmu-ilmu tentang hygiene di Baltimore, Amerika Serikat. Ia menjadi sosok sarjana Indonesia yang pertama kali belajar di Amerika Serikat.
Bekerja dan Berpolitik
Setelah pulang dari Amerika, Sardjito menempati pos di Laboratorium Pusat Jakarta dan menjadi Asisten Kepala Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta. Sardjito juga aktif dalam pergerakan politik melalui organisasi Boedi Oetomo dengan menjabat sebagai Ketua Cabang Jakarta dan anggota pengurus pusat. Bakatnya yang terlihat dalam bidang politik dan kesehatan membuatnya diangkat menjadi anggota Dewan Haminte Jakarta dan Wakil Wethouder.
Mulai tahun 1930-1944, Sardjito bekerja pada bidang laboratorium. Ia pernah selama setahun menjadi Kepala Laboratorium Makassar, kemudian bekerja di Laboratorium Reich-Gesundheitsamt di Berlin, jerman, dan menjadi Kepala Laboratorium Semarang sampai tahun 1944.
Di samping bekerja sebagai dokter dan meneliti di laboratorium, Sardjito terlibat aktif memimpin redaksi majalah Medische Berichten yang berisi berita kedokteran. Ia juga aktif dalam organisasi sosial Mardi Waloeja sebagai ketua dan dalam organisasi Izi Hokokai sebagai anggota pusat.
Memiliki Tekad Memajukan Pendidikan
Semenjak belajar di Stovia, Sardjito menjadi prihatin dengan pendidikan yang ada di Indonesia karena fasilitas pendidikan yang hanya dapat diraih oleh orang-orang tertentu dan tenaga pendidiknya dari Belanda. Ia bercita-cita untuk cepat sukses dan mampu memajukan pendidikan bangsanya.
Setelah berkuliah dan bekerja, Sardjito kembali ingin mewujudkan tekadnya memajukan pendidikan dan kecerdasan bangsa. Pada tahun 1946, Sardjito mendirikan Sekolah Perkoempoelan Kaoem Technik Bagian Biologi dan menjadi kepalanya. Ia juga mendirikan Sekolah Medische Indonesia di Klaten.
Tak hanya itu, ia juga menjadi Kepala Instituut Pasteur Klaten dan merintis Fakultas Kedokteran Preklinik di Klaten yang merupakan cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
Menjadi Rektor UGM dan UII
Pada tanggal 20 Mei 1949, Sardjito terlibat dalam rapat persiapan berdirinya Universitas Gadjah Mada (UGM) yang diselenggarakan di Pendopo Kepatihan Yogyakarta. Peserta rapat lainnya yang hadir meliputi Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Prof. Soetopo, Prof. Dr. Prijono, Prof. Ir. Wreksodiningrat, Prof. Ir. Harjono, Prof. Soekardjo, Mr. Slamet Sutikno, dan Wakil Kementerian Pendidikan, Pengajaran & Kebudayaan.
Pada tanggal 19 Desember 1949, Pemerintah RI mendirikan UGM yang tergabung dari beberapa fakultas. Salah satunya Fakultas Kedokteran Preklinik di Klaten yang dibawa ke Yogyakarta. Pada momen pembentukan senat, Sardjito terpilih menjadi ketuanya hingga akhirnya ia menjabat sebagai Presiden UGM selama 12 tahun 9 bulan dari tahun 1949-1961.
Sardjito berhasil mewujudkan tekadnya untuk mencerdaskan bangsa dengan terlibat mendirikan perguruan tinggi. Sardjito turut memberikan bantuan untuk mendirikan Universitas Hasanuddin, Universitas Airlangga, Universitas Andalas, Universitas Brawijaya, Universitas Sudirman, dan sebagainya.
Sardjito juga berperan besar dalam perkembangan Universitas Islam Indonesia (UII) dengan menjabat sebagai Rektor UII pada tahun 1964 di usianya yang sudah 75 tahun. Sardjito berhasil membuat beberapa fakultas di UII untuk dipersamakan nilai kesarjanaannya dengan universitas negeri.
Menjadi Delegasi Internasional
Selain aktif dalam dunia pendidikan dan kedokteran, Sardjito berperan dalam dunia internasional. Ia pernah ikut berpidato pada Kongres Biologi di Heidelberg, Jerman pada tahun 1931. Ia juga dua kali menjadi delegasi Indonesia dalam kongres tingkat internasional pada kongres UNESCO di Paris tahun 1951 dan Kongres Palang Merah Internasional di Lisabon tahun 1951.
Sardjito juga menjadi ketua delegasi Pacific Science Congress di Manila dan menjadi anggota Correspondent International Commission for a Scientific and Cultural History of Mankind di bawah naungan UNESCO. Pada tahun 1954, ia menjadi wakil Indonesia dalam Kongres Ilmu Pengetahuan di Pakistan. Kemudian di tahun 1955 ia terlibat dalam East Asian Conference di Rangoon, Burma.
Pengalamannya yang banyak membuatnya ikut dalam perayaan 100 tahun Universitas Melbourne di Australia. Ia juga mengunjungi berbagai universitas di Amerika Serikat, London, dan Jerman atas undangan Ford Foundation tahun 1960. Pemerintah Uni Soviet juga mengundang Sardjito untuk mengunjungi Moskow dan Sardjito menerima Bintang Kehormatan Keilmuan dari Uni Soviet di tahun 1960.
Membantu Dalam Perang
Pada tahun 1945, Sardjito menjadi bagian dari Palang Merah Indonesia dan memegang jabatan sebagai Ketua PMI Bandung. Korban-korban yang berjatuhan ketika perang dibantu dan ditolong olehnya.
Ketika penyerbuan Belanda ke Indonesia terjadi pada tahun 1948-1949, Sardjito berada di pedesaan Klaten untuk menyusun strategi dan taktik agar berhasil mendapat obat-obatan, uang, dan bahan untuk kepentingan memelihara kesehatan rakyat dan para gerilyawan. Ia juga membantu menolong korban-korban penjajahan yang ada di Wonosari dan Piyungan.
Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan Bintang Gerilya pada tahun 1958 karena Sardjito telah berjasa dalam perjuangan gerilya membela kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1960, ia dianugerahi Bintang Mahaputera III, yaitu Bintang Satyalancana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan dan Bintang Satyalancana Karya Satya.
Berhasil Menciptakan Obat Batu Ginjal
Pada waktu Agresi Militer II tahun 1948, istri dari Sardjito, Soeko Emi, mengidap batu ginjal yang cukup parah. Saat itu, obat-obat sulit dicari dan dedaunan sukar ditemukan. Sardjito akhirnya bertemu Haji Tabib dari Sendang yang memiliki atlas Ny. Kloppenburg Versteegh berisi gambar tanaman jamu.
Obat batu ginjal yang tertulis dalam atlas menggunakan tanaman Strobilantus sp. yang berbentuk roket. Untungnya, Sardjito berhasil menemukan daunnya di halaman rumahnya dan mengambil untuk direbus. Setelah direbus, ia berikan kepada istrinya dan ternyata berhasil membaik hingga perlahan-lahan memulih. Sardjito menjadi tertarik meneliti jenis daun tersebut.
Sardjito yang sering meneliti di laboratorium akhirnya berhasil juga membuat kapsul Calcusol. Calcusol adalah obat sakit batu ginjal yang merupakan hasil penelitiannya sejak tahun 1948 dan disempurnakan dengan penelitian laboratorium di Paris pada tahun 1948.
Hasil penelitian menunjukkan daya larut calcusol lebih cepat dibanding obat lain dan mampu menghancurkan batu ginjal dengan daya 90%. Obat ini membantu penderitanya agar tidak perlu mendapatkan operasi.
Kapsul calcusol terkenal tidak hanya di Indonesia, tetapi juga sampai ke luar negeri seperti Amerika Serikat, Jerman Barat, dan Belanda. Melalui calcusol, Sardjito mempunyai nilai tinggi terhadap sumbangan kemanusiaan.
Masa Tua Dr Sardjito
Pada tahun 1967, Sardjito diangkat menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (1967) mewakili golongan cendekiawan. Ia juga diangkat menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pada tahun 1968.
Sekitar 12 hari sebelum wafat, Sardjito masih mengikuti perkembangan Indonesia dan merasa prihatin akibat banyaknya utang dengan luar negeri, maraknya korupsi, rendahnya gaji pegawai, dan lamanya turun uang Pelita.
Pada tanggal 5 Mei 1970, Sardjito wafat di RS Panti Rapih Yogyakarta pada usianya ke-80. Ia meninggalkan seorang istri dan seorang putra dengan dua orang cucu. Begitu banyak jasanya terhadap ilmu pengetahuan, kemanusiaan, dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan dengan upacara militer dengan diberangkatkan dari Balairung UGM ke Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta.
Diabadikan Menjadi Nama Rumah Sakit
Dikutip dari laman resmi RSUP Sardjito, Dr. Sardjito memiliki semangat untuk mengabdi pada kesehatan masyarakat hingga ingin membuat sebuah rumah sakit sederhana yang berfungsi melayani kesehatan sekaligus tempat pendidikan para dokter muda yang digagas olehnya pada tahun 1954. Akan tetapi, gagasan tersebut baru terwujud pada tahun 1970-1971 menggunakan biaya dari Departemen Kesehatan RI.
Awalnya rumah sakit ini dibangun di Pingit, tetapi setelah ditinjau kembali maka dipindahkan ke daerah Sekip dan dinamakan RSUP Dr. Sardjito. Penamaannya dipilih sebagai bentuk mengenang jasa-jasa Sardjito.
Diberi Gelar Pahlawan
Dilansir laman resmi Kementerian Sekretariat Negara RI, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 120/TK/Tahun 2019 yang ditandatangani pada 7 November 2019, Presiden Jokowi telah menetapkan Prof. Dr. M. Sardjito, M.D., M.P.H. yang merupakan tokoh dari Provinsi DIY sebagai Pahlawan Nasional. Penganugerahan gelar tersebut berlangsung di Istana Negara, Jakarta pada Jumat, 8 November 2019 yang dihadiri oleh ahli warisnya.
Demikianlah biografi Prof. Dr. M. Sardjito, M.D., M.P.H. yang memberikan banyak jasa dalam berbagai bidang. Semoga bermanfaat, Dab!
Artikel ini ditulis oleh Anandio Januar peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(ams/ams)
Komentar Terbanyak
Heboh Penangkapan 5 Pemain Judol Rugikan Bandar, Polda DIY Angkat Bicara
Akhir Nasib Mobil Vitara Parkir 2,5 Tahun di Jalan Tunjung Baru Jogja
Megawati Resmi Dikukuhkan Jadi Ketum PDIP 2025-2030