Prosesi adat Numplak Wajik mengawali rangkaian Garebeg Mulud Keraton Jogja. Numplak Wajik berupa pembuatan tujuh gunungan hasil bumi dan makanan tradisional.
Prosesi berlangsung di Panti Pareden, Kompleks Magangan, Keraton Jogja, hari ini.
Carik Kawedanan Hageng Widyabudaya Keraton Jogja, KRT Widyacandra Ismayaningrat menjelaskan bahwa Numplak Wajik adalah prosesi awal membuat pareden atau gunungan. Berupa meletakkan adonan wajik sebagai landasan gunungan. Kemudian menata rengginang dan hasil bumi sebagai tubuh dari gunungan pareden.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tumplak wajik ini perlambang semua ini bermula dari kandungan ibu, tumplak wajik ini isi dari pareden putri. Pareden atau gunungan ada kakung, putri, gepak, darat dan pawuhan. Jadi ini dimulai dari Gunungan Putri," jelasnya ditemui di Panti Pareden, Senin (25/9/2023).
Prosesi juga diiringi permainan gejog lesung oleh abdi dalem Keparak. Terdiri dari sejumlah abdi dalem perempuan berusia sepuh.
"Prosesi rutin setiap garebeg, di mana gunungan ini dikeluarkan pada saat garebeg syawal, kemudian garebeg besar, terakhir garebeg mulud, setahun ada tiga kali," ujarnya.
![]() |
Selanjutnya digelar doa bersama yang dipimpin abdi dalem kaji. Setelahnya para abdi dalem konco abang memapah wajik menuju kerangka gunungan putri. Pada landasan dioleskan dinglo bengle atau singgul yang terbuat dari rempah-rempah herbal.
"Total ada tujuh gunungan, terus yang dua Gunungan Kakung nanti kita kirim Kepatihan satu dan Puro Pakulaman satu. Lima lainnya ke Masjid Gedhe. Garebeg Mulud diawali dari Miyos Gongso sudah ada di pelataran Masjid Gedhe, besok hari Rabu ada Kondhur Gongso," ujarnya.
Numplak Wajik juga menjadi daya tarik bagi masyarakat. Terutama untuk mendapatkan dinglo bengle. Parutan empon-empon berwarna kuning ini dioleskan ke belakang telinga dan sejumlah bagian tubuh lainnya.
KRT Widyacandra menceritakan singgul sejatinya adalah lulur. Namun masyarakat percaya ramuan herbal ini wujud permohonan untuk keselamatan dan kesehatan. Kerap dioleskan kepada bayi atau balita.
"Kalau zaman dulu waktu kecil mengalami untuk pereda demam terutama untuk bayi dan balita, dioleskan di belakang telinga. Dari tepung beras, kunir sama kencur, dioleskan zaman dulu untuk turun panas kalau bayi demam," ujarnya.
Selengkapnya di halaman selanjutnya
Salah satu warga Suryoputran, Suyanto (40) menuturkan mengoleskan singgul sudah menjadi tradisi di keluarganya, sejak dia masih anak-anak.
"Ngikuti tradisi saja, Maulud, setiap gini hadir dan kebetulan rumah dekat sini. Pas adat istiadat setahun sekali, yang dirasakan segar, insyaallah tolak bala, dibalur di belakang telinga dan bagian yang sakit bisa dilulurin," ceritanya.
Komentar Terbanyak
Kebijakan Blokir Rekening Nganggur Ramai Dikritik, Begini Penjelasan PPATK
Akhir Nasib Mobil Vitara Parkir 2,5 Tahun di Jalan Tunjung Baru Jogja
Megawati Resmi Dikukuhkan Jadi Ketum PDIP 2025-2030