Keraton Jogja menggelar jamasan kereta kencana di Museum Wahanarata, Jalan Rotowijayan, Kadipaten, Kemantren Kraton, Kota Jogja, hari ini. Puluhan warga berebut untuk mengambil air sisa jamasan tersebut.
Jamasan memiliki arti memandikan atau menyucikan, sekaligus bentuk memelihara benda bersejarah peninggalan nenek moyang. Jamasan juga dapat diartikan sebagai ungkapan terimakasih atas budaya adiluhung yang ditinggalkan oleh pendahulu.
Pantauan detikJogja, Jumat (28/7/2023) pukul 09.00 WIB, prosesi jamasan kereta kencana ini dimulai. Pada jamasan ini ada dua kereta kencana yang dimandikan di halaman samping Museum Wahanarata, yakni kereta bernama Kanjeng Nyai Djimat dan Kyai Harsunaba.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kanjeng Nyai Djimat memang dilakukan jamasan satu tahun sekali, tahun ini memang berbeda untuk Kanjeng Nyai Djimat, jamasan dilakukan secara tertutup," kata Wakil Penghageng Museum Wahanarata, Raden Riya Condrokusumo, saat ditemui wartawan di lokasi, Jumat (28/7/2023).
Condrokusumo menambahkan hari ini hanya digelar jamasan untuk kereta kencana. Kereta kencana Kanjeng Nyai Djimat disebutnya salah satu kereta tertua yang dimiliki oleh Keraton Jogja.
"Kanjeng Nyai Djimat ini peninggalan dari HB I, jadi salah satu yang tertua," tambahnya.
Sejak dimulai prosesi jamasan, puluhan warga sudah menunggu di depan gerbang Museum. Tak hanya warga Jogja, banyak dari mereka yang berasal dari luar DIY.
Mayoritas yang datang sudah berusia lanjut. Mereka membawa botol bekas air mineral hingga jeriken untuk meminta air sisa jamasan.
Warga biasa menyebutnya ngalap berkah atau berharap berkah kepada Tuhan dari sisa air jamasan kereta kencana.
"Istilahnya di Jawa itu ngalap berkah, ingin airnya dibawa pulang sebagai bentuk berkah dalem. Setiap tahun selalu datang warga sekitarnya ingin ngalap berkah," jelas Condrokusumo.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
Salah satu warga Indramayu, Jawa Barat, Sucipto, mengaku setiap tahun selalu hadir saat jamasan kereta kencana Keraton Jogja. Ia datang bersama rombongan teman-temannya menggunakan bus dari Indramayu.
"Rombongan naik bus, acara tahunan sudah dari 2005 sampai sekarang masih rutin, walaupun sekarang ada peraturan baru. Dulu masih bisa lihat siraman kereta Nyai Kanjeng Djimat," jelasnya kepada wartawan.
Tak hanya membawa air dengan jeriken, Sucipto bahkan sempat membasuh kepala hingga badan atas dengan menggunakan air sisa jamasan yang sudah ditempatkan pada sebuah drum berwarna biru.
"Air yang diambil untuk sehari-hari untuk minum, artinya air yang membawa berkah," ujar Sucipto.
Warga lain yang juga mengambil sebotol air, Giyono asal Wonosobo mengaku sudah rutin datang ke acara jamasan setiap tahun sejak tahun 1999. Giyono yang sehari-hari berprofesi sebagai petani, mengatakan akan menggunakan air sisa jamasan ini untuk disiram ke lahan pertaniannya.
"Sudah dari tahun 1999 menyempatkan datang. Air ini buat oleh-oleh nantinya disiramkan ke ladang," jelasnya.
Komentar Terbanyak
Mahasiswa Amikom Jogja Meninggal dengan Tubuh Penuh Luka
Mahfud Sentil Pemerintah: Ngurus Negara Tak Seperti Ngurus Warung Kopi
UGM Sampaikan Seruan Moral: Hentikan Anarkisme dan Kekerasan