Jemparingan tetap lestari. Kini, olahraga memanah gaya Mataram itu bahkan nampaknya diminati tak hanya di Indonesia.
Hal itu terlihat dari penjualan jemparingan yang diproduksi oleh Joko Triyanto. Produk jemparingan dari Dusun Ngulakan, Kalurahan Hargorejo, Kapanewon Kokap, Kulon Progo ini mampu menembus pasar internasional.
"Kemarin di bulan September itu alhamdulillah ada teman yang memandu wisata dan ada yang memesan dari Swiss. Kita mengirim ada 15 unit ke Swiss," ujarnya saat ditemui di kediamannya, Kamis (30/10/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perkenalan Joko pada dunia panahan bermula dari keprihatinannya melihat anak-anak di sekitarnya yang terlalu asyik bermain gim daring dan motoran yang membahayakan. Pada tahun 2012, ia memutuskan merintis pembuatan jemparingan sebagai sebuah "real game" dan sarana pendidikan karakter.
"Kenapa jemparingan, karena memanah merupakan olahraga tanpa emosi, tanpa mengalahkan orang lain, bahkan kita diwajibkan bisa memanejemen emosi," katanya.
Memanah, baginya, juga selaras dengan ajaran agama Islam di mana itu adalah salah satu olahraga yang dianjurkan Nabi Muhammad SAW. Inilah yang menjadi landasan kuat Joko memilih jalur ini untuk pendidikan karakter.
"Selain itu juga sesuai dengan agama saya, bahwa di memanah adalah salah satu yang digemari Rasulullah. Makanya saya mengambil panahan untuk pendidikan karakter, juga untuk sedikit mencari filosofi dari apa yang disunahkan oleh Rasul saya," terangnya.
Joko memulai semuanya secara otodidak. Namun, seiring waktu, ia aktif mencari ilmu dan menerima masukan. Ia berguru kepada maestro jemparingan.
Ada beberapa nama yang dia sebutkan yakni Kung Popop di Sriwedari, Solo, kemudian Mbah Sugeng di Wedi, dan Mbah Gendro. Berbagai ilmu tersebut kemudian ia olah menjadi gaya produksinya sendiri, sebab ia meyakini setiap perajin memiliki kekhasan tersendiri.
Proses Produksi
Dalam proses pembuatan alat jemparingan, rumah produksi ini menggunakan berbagai jenis kayu, mulai dari jenis Sono Keling, Sawo, Johor, Besi, hingga Eboni.
Tahapannya mulai dari memotong kayu sesuai tinggi pemesan, yang kemudian dirangkai dengan bambu dan tali hingga akhirnya membentuk gendewa, sebutan untuk busur panah dalam jemparingan. Menurut Joko bagian yang paling rumit adalah menyesuaikan gendewa dengan karakter si pemesan.
Suasana rumah produksi peralatan jemparingan di Ngulakan, Hargorejo, Kokap, Kulon Progo, Kamis (30/10/2025) Foto: Jalu Rahman Dewantara/detikJogja |
"Paling rumit adalah di menyesuaikan gendewa atau busur di karakter masing-masing si pemesan. Menurut orang tua dulu, untuk gendewa itu menyesuaikan dengan karakter si pembuat," jelas Joko.
Penyesuaian ini bertujuan agar pemanah belajar mengelola emosi, menjadi lebih kalem, fokus, dan rendah hati. Proses penyesuaian karakter ini dilakukan melalui kelenturan bambu yang diistilahkan sebagai embat.
Embat adalah teknik menggosok atau menipiskan bambu yang menentukan jenis laju anak panah. Laju anak panah dipengaruhi hal itu.
Embat pucuk, embat tengah, atau embat bawah, menghasilkan laju yang berbeda-beda, semuanya disesuaikan dengan kebutuhan dan karakter si pemakai.
"Misalnya kalau yang gampang marah atau tidak sabaran, kita buat (gendewa) lebih gampang dipakai. Sedangkan yang tipikal sabar kita buat lebih keras," terang Joko.
Meskipun bergelut dengan bahan alam yang seringkali tidak terduga, Joko dan timnya terus berupaya melestarikan jemparingan. Tak hanya sekadar kerajinan, jemparingan dari Ngulakan adalah wujud nyata upaya menanamkan nilai-nilai kesabaran, fokus, dan kerendahan hati, sebuah warisan yang relevan dan dibutuhkan di zaman modern ini.
Produksi di bengkel Joko tidak dihitung harian, melainkan per enam bulan. Dalam rentang waktu tersebut, rata-rata rumah produksi ini mampu memproduksi 10 hingga 20 unit gendewa dan sekitar 25 lusin anak panah.
"Per 6 bulan produksi, biasanya kita rata-rata di 10 sampai 20 unit gendewa dan sekitar 25 lusin anak panah. Itu, karena tidak setiap hari ada yang pesan dan tidak ada setiap hari yang kita bisa membuatnya karena inden semua," ucapnya.
Pemasaran dilakukan secara manual, melalui jejaring sosial seperti Facebook, dari mulut ke mulut, serta menjalin kerja sama dengan instansi dan sekolah. Meski begitu, produknya sudah dikirim hingga ke luar pulau bahkan ke luar Indonesia.
Selain Swiss, jemparingannya juga telah menjangkau Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Sumba, dan Toba. Kini bengkel itu memiliki omzat Rp 10 juta hingga Rp 15 juta per bulan.
Satu set gendewa dibanderol Rp 350.000 hingga Rp 1.200.000, tergantung jenis, bahan dan mutu. Sementara anak panah dijual per lusin dengan kisaran harga Rp 400.000 hingga Rp 800.000.
Peralatan jemparingan di Ngulakan, Hargorejo, Kokap, Kulon Progo, Kamis (30/10/2025) Foto: Jalu Rahman Dewantara/detikJogja |
Perajin yang bekerja di bawah naungan Industri Kecil Menengah (IKM) Dinas Perindustrian Kulon Progo ini memproduksi dua jenis gendewa, yaitu jenis tradisional berbahan bambu dan kayu untuk Jemparingan Gagrak Mataraman. Kedua jenis prototipe berbahan PVC untuk memfasilitasi pemanah pemula.
Upaya Menjaga Eksistensi Jemparingan
Upaya pelestarian dan pengembangan Jemparingan, panahan tradisional Gaya Mataram, terus digalakkan hingga ke seluruh penjuru Nusantara. Aktivitas budaya yang dulunya eksklusif di lingkungan keraton ini, kekinian telah menjadi kekuatan budaya dan olahraga yang berpusat di Kulon Progo.
Hal ini dibuktikan dengan Kongres Jemparingan pertama kali yang dilaksanakan di Kulon Progo pada tahun 2017. Sehingga Kulon Progo saat ini menjadi barometer kekuatan Jemparingan yang ada di seluruh Indonesia.
"Ya untuk kongres jemparingan pertama kali digelar di Kulon Progo pada 2017 lalu. Menjadi langkah awal kita untuk pelestarian dan pengembangan olahraga tradisional ini," ucapnya Joko Mursito, selaku Kepala Kundha Kabudayan (Dinas Kebudayaan) sekaligus Sekretaris Jenderal Jemparingan Bandul Nusantara.
Joko menjelaskan bahwa Jemparingan yang dianut saat ini adalah Jemparingan Gagrak Mataram. Mulanya aktivitas panahan tradisional ini hanya boleh dilakukan oleh prajurit dan keluarga keraton di Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman sebelum era 1990-an.
"Namun setelah era tahun 90-an sudah mulai boleh diakses oleh masyarakat. Jadi masyarakat boleh belajar, boleh melakukan dan bahkan boleh membuat paguyuban atau kelompok-kelompok itu," jelasnya.
Sejak saat itu, paguyuban Jemparingan tumbuh pesat di berbagai daerah dengan orientasi yang beragam, antara lain sebagai bagian dari Sunnah Rasul, pemaknaan melalui pendidikan budaya kemataraman, sebagai cabang olahraga panahan tradisional, pelestarian budaya, dan dijadikan sebagai atraksi wisata budaya yang diminati wisatawan.














































Komentar Terbanyak
Umrah Mandiri Kini Legal di RI, Biro Travel Umrah Waswas Gulung Tikar
Eks Bupati Sleman Sri Purnomo Tersangka Korupsi Hibah Pariwisata Ditahan
Hal yang Mustahil Dilakukan di Jogja: Naik Angkot